6. Crazy For Longing
Aku tertawa sepuas-puasnya, bahkan sampai menitikkan air mata. "Kamu ngapain? Masa kecil kurang bahagia atau mau berubah jadi putri duyung?!" Nada mengejek pun aku keluarkan secara terang-terangan, setelah melihat apa yang terjadi pada Annora.
Annora diam saja, sambil mengusap wajah yang basah kemudian melipat tangan di bawah dada. Ekspresinya memberengut. Membuatku semakin menjadi-jadi untuk menertawakan keadaan cewek itu.
Haruskah mengulurkan tangan, menampilkan ekspresi khawatir, dan mengucapkan 'apakah kau baik-baik saja?' seperti subtittle pada drama romansa? Aku rasa itu akan sangat menyulitkan jika yang menjadi tokoh utama adalah diriku sendiri, apalagi dengan pemandangan paling lucu di depan sana, membuatku tidak bisa menghentikan tawa hingga harus berlutut sambil memegang perut.
Tepat di depanku, di parit besar, Annora terjerembap, berenang bersama para ikan koi, dan masih dengan mengenakan seragam. Oh, sedikit informasi biar kuberitahu, biasanya kampus membebaskan mahasiswanya dalam hal berpakaian asalkan sopan, tapi tidak dengan Universitas Dananjaya. Setiap hari senin dan selasa pihak kampus mengharuskan kami untuk mengenakan seragam, di mana setiap masing-masing program studi memiliki ciri khasnya tersendiri. Seperti program studi Ilmu Hubungan Internasional, kami mengenakan seragam semi formal berupa; jas, dasi, serta celana panjang atau rok, dan kemeja putih.
Kembali ke peristiwa Annora yang patut ditertawakan, aku tidak bisa melakukan apa pun selain tertawa terbahak-bahak, bahkan untuk menolong terasa begitu sulit. Hal itu terjadi secara tiba-tiba, di luar rencana ketika Annora berlari ke arahku kemudian tersandung kakinya sendiri. Mungkin bakalan jadi drama kalau aku merentangkan kedua tangan lalu memeluk Annora agar tidak jatuh, tapi ini kenyataan jadi ... bukan Darka banget!
"Bisa berhenti ketawa, gak, sih?! Harusnya kamu itu nangkep aku, bukan malah ngejauh!" Annora semakin menekuk wajahnya lalu buang muka, tidak ingin melihatku.
Bodo amat yang penting sekarang adalah ketawa dulu puas-puas. Annora pasti lagi kena karma, karena terus-menerus menggangguku dan sekarang adalah saat untuk menikmati momen tersebut.
Tuhan itu maha adil dan sekarang, Dia telah membalaskannya untukku.
Melihat beberapa daun tersangkut di rambut basah Annora kemudian wajah bete-nya yang semakin menjadi-jadi, akhirnya membuatku berusaha berhenti tertawa lalu membuka jas dan memberikan benda tersebut kepada Annora. "Buruan naik, terus pake ini, tapi jangan lupa dicuciin dan pake pengharum Downy," kataku, sambil menatap Annora datar dengan nada memerintah. Niatnya, sih supaya enggak ketawa lagi karena belajar dari pengalaman, Nenek dan Tante Lisa kalau ngamuk beneran bakalan bahaya. Anggapannya kalian pun bisa dibakar hidup-hidup kalau bermasalah dengan mereka.
... tapi seketika mataku tertuju pada satu titik fokus, di balik kemeja putih, di bawah dasi pita warna magenta berleres biru navy, sesuatu yang memiliki warna berbeda dan jauh lebih terang. Wajahku lagi-lagi memanas dan seolah menyadari hal itu, Annora langsung menutupi bagian dadanya dengan menggunakan kedua lengan.
"Jangan lihat!" pekik Annora. Membuatku terkejut dan langsung membalikkan tubuh. Kuharap telingaku tidak memerah, seperti yang selalu nenek bilang kalau aku merasa malu dengan sesuatu. "Kak Darka, siniin jasnya!"
"Gimana mau dikasih kalau aku enggak liat. Kamu naik terus ambil sendiri jasnya, nih." Masih dengan posisi serupa, aku mengulurkan tangan kananku yang memegang jas ke arah belakang, mengambil satu langkah mundur agar memudahkan Annora mencapai benda tersebut. Bisa bahaya kalau dilihat anak-anak lain, apalagi penggemar cewek satu ini lumayan banyak.
"Makasih," kata Annora. Terdengar lembut, tapi mencurigakan karena saat itu pula dengan gerakan cepat dan kuat, dia langsung menarik tanganku, menceburkanku ke dalam parit besar hingga ia tertawa terbahak-bahak.
Hasilnya, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kami berdua basah kuyup. Annora memukul-mukul pundakku, sambil sesekali menyipratkan air lalu mengambil salah satu ikan koi dan menempelkannya di pipiku.
Sedikit, aku menikmatinya. Sudah lama enggak berenang atau main di sungai. Terutama setelah bapak dan nenek memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih dekat dengan sekolah tempat beliau mengajar hingga akhirnya pensiun.
Kulihat Annora sibuk bermain dengan ikan-ikan koi yang berenang di antara kami. Tangannya tak pernah berhenti untuk berusaha menangkap hewan tersebut, hingga tanpa sadar aku pun ikut melakukan hal serupa.
Mudah ketika dilihat, tetapi sulit ketika diterapkan. Annora yang melihatku kesulitan pun malah menertawaiku lalu memberikan satu ikan hasil tangkapannya untukku. Di waktu bersamaan aku jadi merasa cemen dan menganggap Annora akan mampu bertahan hidup lebih lama, jika melakukan survive di wilayah antah berantah.
"Payah banget! Ya kalik begini doang enggak bisa," celetuk Annora, saat melihatku susah payah menangkap ikan koi yang memang begitu licin di tanganku.
Aku mendengkus. "Mungkin di kehidupan sebelumnya kamu nelayan dan aku petani."
"Boo!! Cari alasan. Kamu percaya reinkarnasi? Oh ya, gimana kalau kita taruhan? Yang bisa nangkep ikan paling banyak, bakal ditraktir pas makan siang." Annora menarik tangan kananku lalu menjabatnya. "Deal! Siap ... tiga!" serunya lantang, membuatku jadi ikutan kalang kabut.
Kuda nil kebelet kawin! Hitungan macam apa itu? Tanpa melewati angka satu dan dua, tiba-tiba menjadi tiga. Anak itu memang sesukanya.
"Kalian punya baju seragam cadangan di loker, 'kan?"
Suara bass dari arah jembatan yang terdengar tidak asing seketika menghentikan aktivitas kami. Aku menoleh, begitu pula dengan Annora. Saat kulirik sesaat, anak itu mengambil jasku yang terhampar di atas air kemudian buru-buru mengenakannya. Keheningan seketika menyergap di antara kami bertiga, hingga Pak Nizar memecahkan kesunyian dengan dehaman kecil.
"Sudah puas mainan sama ikan? Jangan terlalu lama, bisa-bisa ikannya stress lebih parah lagi kalau Pak Jaya ngeliat kalian."
"Sebenarnya masih belum puas, Pak. Ikan-ikannya lucu, apalagi kalau pas diangkat begini." Annora mengangkat salah satu ikan yang sejak tadi berada di tangannya, memperlihatkan hewan malang itu ke arah Pak Nizar lalu tertawa kecil. "Mulutnya imut banget buka tutup- buka tutup."
"Eh, gila! Balikin ikannya. Dia begitu karena enggak bisa napas. Buruan naik, kamu mau buat kita dalam masalah?!"
"Apaan, sih? Kamu juga tadi seneng banget mainan sama ikan sampai matanya berbinar-binar gitu."
Rasanya jengkel, kulit wajahku mengerut penuh tekanan kayak orang lagi nahan kentut. Bisa-bisanya Annora berlagak santai bahkan ngejawab pertanyaan sarkastis Pak Nizar dengan enteng. Wah, gila, sih, aku bakalan dalam masalah besar. Jangan sampai Pak Nizar mengundurkan diri buat jadi tutor gratisanku lagi.
Kuda jongkok! Masalahnya dari kapan Pak Nizar berdiri di sana? Sambil menyandarkan kedua siku di pagar jembatan, memergoki bahkan menonton kami melakukan pelanggaran, dan mungkin mengira bahwa kita sedang bermain air di parit besar—melupakan tugas utama, yaitu memberi makan para ikan koi, serta membersihkan daun-daun di parit besar.
"Naik sekarang lalu bersihkan diri kalian. Kita bicara di ruang dosen." Itulah yang dikatakan Pak Nizar, kemudian meninggalkan kami menuju gedung kafetaria.
Tawa Annora pecah. Membuatku terperangah melihat reaksinya dan dia memberiku hadiah sebuah cipratan air yang banyak banget, sumpah. "Mukamu, tegang pake banget, kayak kue bantat!" kata Annora lalu segera naik ke daratan, sambil menyenandungkan lagu yang sering kudengar di ponsel Kirana. "Tapi aku suka. Kamu juga 'kan? Gimana kalau nanti kita balap renang di sini? Lompat dari jembatan itu sampai terasa lelah."
Tanpa menoleh ke mana arah yang ditunjuk Annora. Sebelumnya aku sudah menduga, pasti dia mau lompat dari jembatan. Enggak mungkin dari ranting pohon seri karena dia nunjuk ke tengah parit besar, bukan di pinggir. Seriusan deh, main-main di parit besar saja dilarang apalagi terjun dari jembatan. Bukannya happy yang ada bikin stress karena mikirin hukuman sudah bunuh ikan-ikan koi peliharaan Dananjaya.
"Dalam mimpi!" kataku ketus, sambil menyusul Annora dan memanjat semen bidang miring untuk kembali ke kampus. Namun, tiba-tiba Annora menarik kemeja putihku, untung bukan celana. "Apa lagi?"
Annora melepaskan tangannya lalu tersenyum sambil menaikkan kedua alis. Aku enggak ngerti maksudnya apa, jadi kuabaikan dan lanjut memanjat. Sesampainya di dataran, demi bersikap gentle, aku mengulurkan tangan sekadar ingin membantu Annora berdiri. Namun, tanganku tidak menerima apa pun kayak tangan monyet di badan koala. Aneh. Enggak ada yang mau pegang.
Aku dicuekin. Dasar nasi padang kurang sambel! Sambil memicingkan mata, kupertajam tatapanku ke arah Annora. Kalau mata punya kekuatan super, pasti punggung Annora sudah bolong. "Ann, sepeda kamu masih di toko. HP kamu juga mau aku balikin, semalam kamu nelepon pake nomor—"
"Iya, balikin HP-nya." Annora memutar tubuh lalu berjalan mundur. "Tapi setelah kita foto bareng dan kamu ngakuin kalau kita temenan. Ah, satu lagi, jangan jauh-jauh dariku." Annora mengedipkan sebelah mata kemudian kembali bernyanyi.
Kayak punya suara emas aja, dari tadi nyanyi mulu.
Annora berjalan mundur, senyum-senyum sendiri dan memberikan bombardir wink. Kalau dilihat-lihat anak ini secara enggak langsung sudah menjadikanku sebagai petunjuk arahnya. Ngeselin? Memang!
Aku mengernyit. Merinding disko dengan kedipan itu. Selama dua puluh satu tahun belum pernah diginiin sama cewek, rasanya kayak ditelanjangi. Namun, buru-buru kubuang pikiran tersebut, karena ... seriusan! Keliatan banget enggak lakunya. "Kamu segitu ngebetnya atau emang enggak punya teman karena banyak fans, ya?"
"Hmm ... lebih tepatnya ngebet pengen dekat sama kamu, bareng kamu terus, sampai kalau aku enggak ada kamu bakalan gila karena kangen," kata Annora sambil ketawa-ketiwi dan enggak tau kalau sebentar lagi dia bakal nabrak pohon markisa.
Bodo amat, malas buat ngomong, 'Annora ada pohon markisa di belakang kamu, hati-hati.' Idih, bukan Darka banget! Dia punya mata, 'kan? Jadi diam-diam, aku sudah siap buat ketawa dan ... bingo!
Tawaku pecah, waktu melihat ekspresi Annora yang lagi-lagi terjatuh dalam posisi duduk, di antara pepohonan markisa sambil meringis. Namun, entah kenapa setelah melihatku tertawa dia malah ikutan ketawa. Mungkin benar kata orang kalau tawa itu menular.
"Darka, eh ... Kak Darka, bantuin, dong!" seru Annora, sambil mengulurkan tangannya berharap supaya aku menyambut. Namun, ini kesempatan buat balas dendam jadi pilihan kabur adalah yang terbaik. Annora mengejar, seperti tidak terima karena kuabaikan.
Sayup-sayup kudengar Annora akan memberikan seribu pukulan jika berhasil menangkapku. Dia kesal sekali rupanya. Alhasil, aku menambahkan kecepatan lari, hingga kami berakhir di pintu utama kafetaria dan dia segera memberikan pukulan bertubi-tubi saat langkah kakiku memelan akibat harus berdesak-desakan dengan mahasiswa lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top