43. After (Bonus Chapter)

"Darka!!! HP kamu bunyi terus, tuh!" Suara Mama Jane begitu menggelegar dari lantai bawah, membuatku terkejut hingga nyaris terjatuh dari ranjang saat baru saja akan tertidur melepas lelah. 

Masih dengan mata setengah terpejam, tanganku mulai meraba-raba nakas samping tempat tidur kemudian meja komputer dan terakhir kembali ke kasur, demi mencari benda yang berperan sebagai alat komunikasi sekaligus kamera. Namun, beberapa kali diraba aku tidak menemukan apa-apa selain debu yang membuat kulit wajah terasa di gerayangi semut. Janji, setelah ini, harus banget bersih-bersih karena kamar sudah enggak terurus selama seminggu akibat sidang akhir paling menegangkan.

"Darka!!!" panggil Mama Jane lagi hingga membuatku kembali pada kesadaran seutuhnya.

"Iya aku turun!" teriakku sambil segera bangkit menuju lemari dan mengambil Tshirt sebelum turun ke lantai satu menghampiri Mama Jane yang mungkin saja berada di jarak terdekat dengan HP-ku sebab seketika aku pun lupa di mana meletakkan benda tersebut.

Di bawah sana, lebih tepatnya di bagian dapur kulihat Mama Jane membuka dan menutup lemari bersamaan dengan aroma memanjakan perut. Aku menoleh ke segala arah, mencari keberadaan nenek. Namun, tidak ditemukan sehingga ketika baru saja ingin bertanya, ucapanku terpotong oleh dering ponsel memekakkan telinga.

Kecebong jungkir balik, aku kaget banget waktu dengar suaranya yang tiba-tiba berubah jadi lagu dangdut di acara nikahan kampung. 

"HP kamu dari tadi bunyi terus, coba diangkat kalik aja penting," kata Mama Jane mengabaikan kebingunganku saat berpikir keras sejak kapan aku mengubah ringtone menjadi lagu dangdut. Ini pasti kerjaannya Jin waktu tiga hari yang lalu main-main ke Toko Bunga Dahlia buat minta bantuan nyari bingkisan buat dosen.

"Nenek di mana, Ma?" tanyaku sambil mengambil ponsel yang tergeletak di atas tempat beras kemudian melihat layar berisi panggilan video dari Kirana. Bebek kucel, ada apaan ini cewek tiba-tiba ngajak video call? Mau pamer ketemu bule-bule, ya?

"Katanya ke tempat tetangga sebentar mau ngantar kue brownis. Kamu belum makan, 'kan? Mumpung Demiral lagi di Singapore, hari ini mama masak rendang buat party kelulusan kamu," kata Mama Jane sambil terus mengaduk-aduk rendang di wajan, tanpa repot menatap ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan lalu mengucapkan terima kasih dan pergi meninggalkan dapur, sembari menerima panggilan video.

Oh, grup video call rupanya.

Jin bareng Putri di Toko Bunga Dahlia, Kirana di suatu tempat di California, dan Fariz masih saja jomblo selama di Jakarta. Aku tersenyum saat melihat mereka semua, di mana saat detik pertama wajahku nongol di layar ponsel mereka masing-masing secara kompak empat orang sableng itu mengatakan kata halo serta ucapa selamat karena sudah selesai masa sidang akhir.

"Kamu yakin enggak salah dengar apa kata dosen, 'kan?" Jin bertanya duluan mengenai hasil sidang tadi pagi, setelah kami berbas-basi mengucapkan kalimat kerinduan berulang kali, sambil mengomentari perubahan diri masing-masing. Yaa, meski sebenarnya yang paling mendominasi obrolan dua topik tersebut hanyalah Kirana dan Putri, tapi dua suara mereka sudah sangat cukup menghebohkan video call kami.

"Yakin enggak salah karena sudah korek kuping sampai bersih sesuai anjuran Dokter THT Fariz," kataku yang disambut tawa cekikikan Fariz.

"Lo sidang enggak ajak-ajak gue, ah! Mentang-mentang sekarang gue kuliah online di Jakarta, lo kayak lupa sama gue." Fariz menegak segelas minumannya dan setelah ia selesai mengucapkan kalimatnya, saat itu pula video call kami diserang kesenyapan. 

Oke, Fariz sepertinya belum sadar bahwa satu perubahannya barusan sukses membuat kami terdiam, sambil saling beradu pandang dengan tatapan jenaka. 

"Seriously, Fariz," kata Kirana sambil tertawa kecil dan menjadi yang pertama kali sadar dari kesenyapan sesaat. "Just because you say 'Gue Lo' we are quiet for a moment like a demon is passing by."

"Ah, lu mah kebanyakan gaya pake speak English segala. Mantep banget lagi aksennya!" Fariz ikutan protes kemudian disusul Putri yang mengambil alih kamera Jin dan hanya memfokuskan pada dirinya, sedangkan Jin terpaksa harus berdiri di belakang Putri.

"Kak Kira, gimana rasanya tinggal Mamarika? Banyak cowok bule cakep, enggak? Setahun lebih sudah mejeng di sana, Kak Kira feel-nya beda banget." Suara Putri terdengar antusias. Bahkan mengalahkan ocehan Fariz yang karena gangguan signal jadi terdengar rancu dan enggak jelas.

"Cowok bule jelas banyak, cuma kalau ditanya rasanya ya ... lebih enak di Bandung. Air melimpah, suhu enggak ekstrim, makanannya enak-enak dan cowok-cowoknya meskipun ngeselin, tapi perhatian."

"Memang pacar yang pernah kamu bangga-banggain di Toko kenapa?" Akhirnya aku angkat suara karena penasaran. "Bukannya karena itu, kamu bela-belain pergi ke Amrik."

Kirana tampak cemberut. "Kalau yang kamu maksud itu Harry, sudah, deh enggak usah dibalas. He's really bad. Now I have Walter, but he also sucks."

"Walter?" Kami berempat kompak menyebutkan nama itu dengan nada bertanya.

Kirana menggeleng. "Enggak usah dipikirin. Sekarang kita ngobrolin tentang Darka aja, deh. Bukannya kita bikin video call rame-rame buat ngomongin Darka dan gimana kesuksesannya move on dari kesedihan setelah ...." Menggantungkan kalimatnya, kurasa cewek itu meragu untuk menyebutkan nama tersebut karena saat terakhir kami melakukan video call bareng, aku masih di dalam masa berduka dengan air mata yang tak kunjung berhenti jika teringat dengan keberadaan Annora.

Sudah hampir setahun setelah kepergian Annora dan baru dua bulan yang lalu akhirnya aku bisa benar-benar berlapang dada. Bebek kutilan, kalau memang kesedihan itu ada obatnya lalu dijual di apotek maka pastilah aku sudah beli duluan, supaya enggak ketinggalan setahun sama Fariz yang hanya dengan kuliah online dari Jakarta-Bandung malah sukses ujian duluan.

"Annora," kataku sambil menaikkan kedua alis. "Aku seratus persen sudah berlapang dada, kok. Lagian sedih lama-lama juga enggak ada hasilnya yang ada malah ketinggalan setahun sama Fariz."

"Betul! Jangan ikutin aku yang saking setianya sampai sekarang pun masih jomblo." Jin akhirnya bersuara setelah dari tadi hanya menjadi seorang pendengar perbincangan absurd kami. 

"Loh, bukannya Kakak kemarin posting di Instagram foto bayangan bareng cewek, ya?" Putri menengadah ke atas agar bisa melihat wajah Jin secara langsung. "Ini buktinya, bentar aku buka Instagram dulu," kata Kirana sambil menyerahkan HP tersebut kepada pemiliknya, menyisakan wajah Jin seorang. 

"Loh, kok, enggak ada fotonya!" Kirana berteriak dari arah yang entah dari mana lalu mengajukan protes ini-itu hingga terjadi perdebatan antara Jin dan Putri di mana aku terlalu malas untuk mendengarkannya. Putri memang tidak berubah, terlalu kepo dengan urusan orang lain seperti para wartawan yang kepo dengan kehidupan para seleberiti.

"Udah, deh, Put. Kamu jangan terlalu kepo sama kehidupan asmaranya Jin. Nanti kalau dia sudah mau publish siapa ceweknya, ya dia tinggal sebar undangan aja," kataku sambil menunduk ke kolong meja dan mengambil Journal of Memory milik Annora. Sudah mulai berdebu karena terlalu lama tidak tersentuh dan sepertinya hari ini akan menjadi hari pertama, aku melanjutkannya lagi.

Yaitu menuliskan kenangan bersama Mama Jane dan keempat teman yang kini berbeda tempat, membina hubungan yang baik seperti keinginan Annora. Lalu ....

... enggak tahu kapan cewek itu ngambil fotonya, di halaman terakhir Journal of Memory aku bisa lihat tawa kami di bawah kolong jembatan parit besar saat bakar ikan koi.

Serius. Aku rindu momen itu dan ingat banget betapa kenyangnya perut kami gara-gara makan ikan bakar koi dan betapa galaunya aku gara-gara Annora nyuapin Fariz serta kehadiran cowok bule yang ternyata adalah Amber sepupu Annora. Kecoa mimisan, untung saja keburu tahu kalau Annora adikku kalau tidak, tahu atau belum tahu mungkin semua bakalan makin rumit karena ada adegan cinta sedarah. 

Jadi kalau dipikir-pikir sebenarnya Tuhan telah menyelamatkanku dari perbuatan dosa tersebut, sehingga meski terasa sakit sampai harus ngelewati drama kabur dari rumah dan perang dingin tak bermanfaat, semuanya memang telah memiliki hikmah. Aku enggak meragukan hal tersebut. Nenek benar jangan hanya berpikir atau melihat satu arah, tapi carilah sisi lain supaya tidak terfokus pada amarah serta kesedihan.

"Untuk Annora yang sudah enggak sama-sama kita lagi, hari ini bakalan kutulis kenanangan bersama orang-orang yang juga kamu kenal. Dari video call rame-rame, sampai Mama Jane yang sedang masak rendang di dapur," kataku berbicara pada diri sendiri kemudian melirik ke arah ponsel yang sedari tadi memanggil namaku tiada henti. "Siap-siap gaya, aku mau screenshoot kalian. Itung-itung foto bareng supaya keliatan kalau aku punya teman pas selesai sidang."

"Tunggu-tunggu! Aku bawain karangan bunga pesanan pelanggan dulu. Anggap aja ini buat kamu," kata Jin kemudian mengambil rangkain bunga mawar merah dan mengambil pose untuk berfoto, Putri pun tak mau ketinggalan dengan duduk di samping Jin--nyaris berdempetan. Sedangkan Kirana dan Fariz mereka hanya tersenyum sambil memberikan gaya masing-masing.

"Siap, ya. Satu, dua, ti ...." Dan screenshoot foto kami berlima pun selesai dengan ucapan selamat dari mereka.



TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top