41. Without The Last Words
Say something nice.
Mendengar kalimat itu, ekspektasiku jadi terlalu tinggi.
Lima menit, setelah Amber meninggalkan kami berdua di kamar ICU lantai dua dan perbincangan antar manusia pun masih belum terdengar, yang ada hanyalah suara alat pendeteksi detak jantung serta gelembung air di tabung oksigen.
Annora tertidur di atas kasur dengan berbagai macam selang, memasuki beberapa bagian tubuhnya. Kuharap ini adalah tidur yang memiliki arti secara harfiah. Namun, pada nyatanya Annora dalam masa koma dan kritis karena mengalami cidera pada otak akibat terkena hantaman palu sebanyak tiga kali.
Begitulah yang dikatakan Amber dan di saat dia menceritakan hal tersebut di perjalanan menuju ICU, otakku terasa diaduk-aduk hingga akhirnya puzzle-puzzle tentang peristiwa itu pun tersusun dengan baik.
Sebuah kisah singkat yang menyiksa, sekaligus memaksaku untuk mencari hal-hal yang terjadi sebelum peristiwa penyerangan tersebut dan kuyakin semuanya ada di halaman Journal of Memory.
Beruntung, aku bisa memahami isi Journal of Memory dengan baik, meski ujung-ujungnya otakku dipaksa untuk berkerja keras demi mendapatkan ingatan tersebut.
"Maaf. Enggak banyak yang bisa kuingat tentang kita atau apa pun yang telah terjadi akhir-akhir ini, tapi aku yakin bahwa kamu, Amber, dan wanita bule itu pasti memiliki arti penting dalam hidupku." Sambil membuka Journal of Memory demi memahami kenangan di halaman selanjutnya, kuputuskan untuk menggenggam tangan kanan Annora.
"Semua gambar dan tulisanmu di Journal of Memory menunjukkan kalau kamu orang yang optimis, enggak mau membuat orang lain khawatir, dan kamu bilang aku membenci sifat terakhir itu. Benar, kah?"
Senyum kering terpaksa mengembang di kedua sudut bibirku karena tidak menerima respon apa pun.
Annora masih terdiam, tapi aku yakin dia mendengarnya.
Kembali kupahami gambaran dan tulisan Annora di Journal of Memory.
Halaman enam puluhan awal hingga mencapai akhir halaman yang telah terisi, selama memahaminya tanpa kusadar serangan bombardir senantiasa menghantam kepalaku. Ini menyakitkan sekaligus menunjukkan bahwa Tuhan maha kuasa, Dia punya rencana dengan memudahkanku untuk mengembalikan ingatan ini. Namun, ketika baru ingin memulai obrolan pandanganku tiba-tiba bergoyang hebat dan ....
... kepalaku ambruk terbaring di atas kasur dekat dengan tangan Annora.
Posisi ini ... aku mengingatnya.
Terakhir kali aku melihat Annora tersenyum dan akhirnya bersimbah darah.
Bapak selalu bilang, kalau Tuhan berkehendak, maka apa pun bisa terjadi bahkan jika hal itu berada di luar nalar manusia.
Tadi pagi, dokter wanita itu mengatakan bahwa ingatan-ingatan tersebut bisa kembali tergantung dengan seberapa kuat keinginanku untuk mengingat, serta seberapa kuat pemicunya.
Dan jika Journal of Memory memiliki pemicu sekuat ini berarti ....
"Annora." Akhirnya suaraku sukses kembali terdengar, meski terdengar kering. "Maafkan aku ...."
Masih kusembunyikan wajahku di atas kasur. Sambil menggenggam tangan kanan Annora, air mata ini mengalir deras seiring dengan rasa sakit kepala beserta kilasan-kilasan kenangan saling bertubrukkan. Semuanya terlihat acak, tapi aku memahaminya.
"Bangunlah. Please, stay alive." Aku masih belum berani mengangkat wajahku, sekadar ingin melihat Annora. "Ann ....," panggilku lemah.
Sudah terlalu lama untuk berada di ruang ICU dan sebentar lagi para suster itu pasti akan mengusirku, jadi ... akan kuceritakan apa yang kurasa dan apa yang kucerna dari buku ini.
"Waktu itu, kamu bilang pengen melompat dari jembatan di parit besar, 'kan?" Sambil mengangkat kembali kepalaku, kuusap rambut Annora.
Baru kusadar wajah Annora benar-benar pucat dan suhu tubuhnya terasa dingin. Apa ini baik-baik saja?
Aku menoleh ke mesin pendeteksi jantung. Masih ada pergerakan di sana, berarti ini hanya pengaruh AC.
"Bangunlah ... setelah itu kita bisa diam-diam melompat dan berenang lagi. Omelanku selama ini hanya sekadar menutupi rasa maluku dan ... kamu pasti tau itu, 'kan? Dua jamur yang memerah ... kamu menyukainya." Lagi-lagi air mataku menetes.
Seluruh kepalaku berdenyut-denyut di saat tangan kananku membuka lembaran Journal of Memory, berisi kisah hidup Annora dan kenangan kami berdua. Hari ini, setelah membaca serta berusaha memahami, baru kusadari bahwa kenangan tersebut terasa spesial hingga selalu sukses mendominasi sisi melankolisku.
"Annora ... bukalah matamu dan mintalah kehidupan pada Tuhan, kita buat kenangan lebih banyak lagi di sini lalu ... ya, Tuhan ...." Rasanya semakin frustrasi, hingga tidak mampu melanjutkan kalimat. Saat ini aku hanya menghabiskan banyak waktu untuk menangis.
Aku mencintaimu, Ann. Melebihi dari apa yang kamu pikir. Yang kuingat adalah bahwa kamu ... adikku dan ....
"Bangunlah sebab kamu begitu berharga dalam hidupku ... lebih dari yang—"
"Maaf, waktu berkunjung sudah habis. Kamu sebaiknya kembali ke kamar dan ... ya, Tuhan, kamu baik-baik aja, 'kan?"
Seorang perawat laki-laki sukses mengejutkanku dan dia memergokiku sedang menangis bombay jadi meski terlambat, segera kuhapus air mataku. "Jangan pergi, Ann karena masih banyak yang ingin kulakukan denganmu. Selamat ulang tahun ...." Semoga Tuhan bersedia menurunkan keajaiban-Nya untukmu, Ann. Seperti Dia memberikan berbagai keajaiban untuk hari ini.
"Aku pergi sekarang. Tolong jaga adikku." Itulah pesan terakhirku sebelum memutar roda kursi dan pergi meninggalkan perawat tersebut. Namun, baru beberapa kali memutar roda, indra pendengaranku menangkap suara aneh pada mesin detak jantung Annora.
Suara paling menyakitkan.
Suara paling memekakkan telinga.
Dan suara paling ditakutkan semua orang.
Seketika tubuhku kaku. Beberapa perawat berlarian menghampiri Annora, beberapa lagi berlari keluar sambil mendorong kursi rodaku agar segera meninggalkan ruangan.
Wajah mereka menegang ....
... dan Annora, dia bergeming saat para perawat sedang terlihat panik.
Jangan ....
Annora ....
Apa kamu ... tidak. Itu tidak boleh.
Ya Tuhan, berikan keajaibanMu untuk Annora dan dengarkanlah permintaan dari manusia serakah ini.
Annora ....
Air mataku sudah tak terbendung lagi. Di balik kaca berukuran besar kulihat seorang dokter dan beberapa perawat sedang berusaha keras mempertahankan hidup Annora.
Perasaanku hancur lebur. Terasa seperti jatuh dari gedung bertingkat puluhan lantai.
Sayup-sayup terdengar langkah kaki beberapa orang berlarian menghampiriku. Satu lelaki berpakaian koboi kalau tidak salah, dia Boss Benji, serta dua perempuan di sisinya yang kuyakin Putri dan Kirana—mereka membawa sebuket bunga matahari. Kesukaan Annora.
Isak tangisku semakin menjadi-jadi. Aku ingin Annora melihat ini, mengetahui seberapa banyak orang-orang yang menaruh perhatian dengannya, mengetahui bagaimana sikap ceria itu membuat orang-orang jadi menyukainya.
Annora ... jangan pergi dulu. Aku belum selesai menjadi kakak yang baik dan belum memberitahu kalau ....
"Darka! Kamu gak pa-pa?" Suara seorang perempuan menghampiriku. Dia Mama Jane. Aku mengingatnya sekarang. "Amber tolong panggil perawat."
"Jangan," ucapku di sela tangisan. "Jangan bawa aku pergi dari sini. Mama ... I'm sorry. Annora ...."
Mama Jane memelukku erat, begitu pula dengan nenek yang entah sejak kapan sudah berada di antara kami.
Di sela-sela tangisan, kucoba untuk melihat tubuh Annora dan terus berdoa di antara penyesalan, keserakahan atas keinginan mendapat keajaiban Tuhan, dan kesedihan karena ingatan itu baru tersusun sempurna.
Annora, Mama Jane, Amber, dan semua orang yang ada di sini, aku baru mengingat mereka semua hari ini. Kenangan serta ingatan tentang mereka kini tersusun bagai kepingan-kepingan gelas pecah yang baru saja berhasil kuperbaiki.
Terlihat baik, tapi tidak sempurna karena ternyata satu kepingan itu sedang berusaha melawan maut.
"Berdoalah semua akan baik-baik saja. Mereka sedang berjuang." Mama Jane berusaha menenangkanku. Namun, dia sendiri juga jelas terlihat panik.
Aku memakluminya, kami semua dalam kecemasan, ketakutan, dan kesedihan saat ini.
Dengarlah suaraku Annora.
Dengarlah tangisanku.
Dengarlah jeritanku yang memintamu untuk bertahan.
Kamu sudah mendengar apa yang ingin kamu dengar, 'kan?
Jadi ....
Kata hatiku terhenti seketika, sewaktu aktivitas petugas medis berhenti. Sang dokter melihat ke arah jam dan hal itu menandakan bahwa ....
"Tuhan tau apa yang terbaik," ucap seorang lelaki paruh baya yang langsung memeluk Mama Jane. Kalau tidak salah dia Om Demirel, papanya Annora.
Nenek terduduk di samping kursi rodaku. Amber membantunya berdiri. Boss Benji, Putri, dan Kirana, dua perempuan itu menangis di balik punggungnya, sedangkan aku ... air mata ini telah mengering.
Rasanya semakin hancur.
Ragaku menghilang.
Bernapas pun terasa sia-sia.
Dan aku menjadi manusia paling tidak bersyukur, karena hari ini ....
... aku mengharapkan kematian juga datang padaku.
Seharusnya akulah yang mati hari itu, jika tidak membiarkan Annora memberikan makanan tersebut.
"Untuk keluarga Annora, kami mohon maaf. Annora lebih memilih mengulurkan tangannya untuk kembali ke rumah Tuhan." Itulah yang kudengar dari perkataan sang dokter.
Tangisan orang-orang di sekitarku semakin terdengar jelas dan aku tidak ingin mengalihkan pandangan, selain ke arah tubuh tanpa raga milik Annora.
Kami semua mencintaimu dan ... tangan Tuhan adalah pilihanmu.
"Sekali lagi jika kamu mendengarnya ... aku mencintaimu, Annora."
Dan akhirnya air mata yang sebelumnya mengering itu kembali berguguran membasahi wajah dan telapak tanganku.
"Maafkan Nenek, Darka. Nenek hanya ... terlalu takut dengan semua ini."
Kurasakan pelukan nenek di tubuhku dan ucapan itu kujadikan alasan mengapa dia meletakkan hal ini di bagian akhir.
Tuhan yang berkehendak. Manusia hanya berencana dan Tuhan menggiringku secara paksa untuk menyusun kenangan itu, sebelum semuanya terlambat.
Tuhan menginginkan agar tidak ada lagi rahasia di antara kami.
Tidak ada lagi jarak karena satu rahasia besar.
Dan Tuhan ingin kita bersama lalu mungkin ....
Annora yang menukar semua ini dengan nyawanya.
"Semua orang yang berada di sinipasti ketakutan," ucapku pelan. "Dan pergi tanpa meninggalkan sepatah kataadalah pilihan Annora, jadi ... hanya doa yang bisa kita lakukan, Nenek."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top