40. Please Stay

Pukul 24:15 WIB.

Tubuh Annora menghantam tanah dan dia sempat berteriak. Waktu berjalan lambat, bahkan ketika aku berusaha untuk menyelamatkannya. Beberapa bercak darah membasahi aspal, seiring dengan teriakan wanita yang sebelumnya ingin kami bantu. Palu di tangan wanita itu berkali-kali memukul kepala Annora, hingga dua suara tersebut senantiasa menggema di telingaku sampai akhirnya, ketika aku menahan pergerakan wanita itu, dia pun berhenti melakukan serangan terhadap Annora.

Namun, perkiraanku salah.

"Mati! Mati! Mati! Dia enggak pantas hidup!" pekiknya nyaring.

Dari sudut mata kulihat benda besi di tangan wanita itu kembali berayun mengarah dekat denganku dan ....

Semuanya memudar.

Palu wanita itu menghantam kepalaku. Berhasil membuat tubuhku tersungkur menghantam aspal dan aku tidak bisa mendengar dengan jelas atau merasakan apa pun lagi.

Sayup-sayup hanya bisa mendengar suara tembakan.

Saat itu tidak ada yang bisa kupikirkan, selain Annora yang tangannya berada tepat di depan wajahku. Bersimbah darah dengan wajah dipenuhi cairan kental berwarna merah.

Ann ... please, stay.

Akhirnya seluruh pandanganku menggelap, hanya tersisa ucapan batin yang berharap kita akan baik-baik saja.

***

Pukul 04:42 WIB, tiga hari setelah kejadian.

Perasaan itu kembali menyerang kepalaku. Terasa begitu sakit. Namun, anggota gerak ini tidak mampu melakukan apa yang kuinginkan sekarang.

Pandanganku masih terlihat gelap. Ketakutan seketika menyergap, mengerubungi seluruh perasaanku akan kehadiran ajal.

Saat itu ... kupikir aku akan mati.

Namun, kumandang adzan masih menghampiri indra pendengaranku.

Bukan hanya itu. Sayup-sayup kudengar suara nenek sedang membaca surah yasin, ada isakan tangis di sana dan ....

Kehangatan menyergap tangan kiriku.

"Darka, kamu dengar suara nenek?"

Aku mendengarnya, tapi mengapa tidak bisa mengeluarkan suara? Bahkan hanya kegelapan yang kulihat. Jika ini ambang kematian, kumohon beri kesempatan untuk mengatakan banyak hal pada nenek.

Aku mendengarnya, Nenek. Aku mencintaimu. Tolong bantu aku?

"Darka, sadarlah. Kamu dengar suara nenek, 'kan? Buka matamu, Darka. Nenek mohon jangan pergi secepat ini."

Jangan menangis nenek. Aku juga enggak mau ninggalin nenek. Masih banyak kewajiban yang belum kuselesaikan. Nenek ... nenek ... nenek ... kumohon ....

Setetes air terasa menyentuh punggung tangan kiriku. Aku melihatnya, meski sangat kabur bayangan nenek terlihat sedang menggenggam tanganku.

"Kumohon jangan menangis. Aku baik-baik saja," bisikku dengan nada terlampau lemah. Kuharap nenek mendengarnya dan seperti terikat batin, ia menatapku dengan sepasang mata yang basah.

"Darka ... Suster, Suster." Suara nenek menggema di telingaku. Dia bergerak cepat, berlari ke suatu tempat untuk memanggil suster.

Aku tidak ingat apa yang telah terjadi, tapi jika ada suster di sini, berarti ....

"Darka, kamu bisa lihat nenek, 'kan?"

Aku tersenyum tipis, berusaha mengingat apa yang terjadi. Namun, hasilnya nihil, aku tidak bisa mengingat apa pun. "Apa yang terjadi denganku?"

"Pasien sudah sadar?" Suara seorang wanita berjas putih mendekatiku. "Nenek, izinkan saya memeriksa kondisi Darka sebentar. Suster jam berapa sekarang?"

"04:42. Terhitung tiga hari tidak sadarkan diri setelah peristiwa penyerangan."

"Hmm ... pupilnya merespon cahaya dengan baik dan organ geraknya ... tidak ada masalah." Dokter wanita itu memalingkan wajah menghadap nenek, lalu ia berbicara pelan. Seakan yang mereka bicarakan adalah suatu kerahasiaan. Namun, samar-samar aku bisa mendengarnya. "Hanya amnesia sementara. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Nenek bisa mengembalikan ingatan Darka secara perlahan, tergantung pemicu dan seberapa besar keinginannya untuk mengingat."

"Terima kasih, Dokter. Saya tidak akan memaksakan hal yang berada di luar batas kemampuannya karena ...." Nenek mengusap pipinya dan seakan menunjukkan sikap empati, dokter itu mengusap bahu nenek.

"Darka punya keinginan hidup yang kuat, bahkan di saat dia menjalani masa-masa kritis akibat penyerangan tersebut. Percayalah pada kami, Nenek. Saya permisi dulu," pamit sang dokter. Bersama dengan perawatnya, mereka pun pergi meninggalkan kami berdua.

Menyisakan ribuan pertanyaan yang menghampiri kepalaku, sekaligus sedikit menyakitkan karena refleks aku langsung berusaha mengingat sesuatu, yaitu tentang mengapa dan bagaimana aku bisa berakhir di sini.

"Nenek, apa yang terjadi? Dan mengapa aku tidak sadarkan diri hingga tiga hari lalu ... amnesia sementara? Apa yang telah kulupakan dan ... Ya, Tuhan, sakit sekali."

Rasa sakit di kepala lagi-lagi menyerang, seolah memberi peringatan bahwa berusaha mempekerjakan otak untuk mengingat adalah kesalahan besar.

Aku memang bukan manusia yang pandai bersyukur. Kegelapan sebelumnya benar-benar menakutkan, tapi ketika Tuhan mengabulkan permintaanku untuk tetap hidup kemudian mendengar fakta bahwa aku mengalami amnesia sementara, itu seolah memaksa agar ingatan tersebut segera kembali.

Tidak. Aku tidak bisa menunggu, memanjakan rasa sakit di kepala ini sama saja dengan melemahkanku untuk mengingat hal-hal penting yang membuatku berakhir di sini. Jika terjadi karena berkelahi atau kecelakaan, maka itu adalah suatu kemustahilan. Bapak enggak pernah mengajarkanku menjadi manusia seburuk demikian.

"Darka tenangkan dirimu dulu. Kamu barusan saja sadar dan memaksakan diri sendiri bukanlah hal baik." Nenek mulai meneteskan air matanya lagi. Ia menggenggam tanganku lalu memeluk, berusaha membuat semuanya kembali tenang.

"Maaf." Dan hanya itu yang bisa kuucapkan, sambil ikut mentikkan air mata. "Cucu Nenek yang satu ini hanya bisa membuat Nenek menangis dan khawatir. Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi."

"Setelah salat, kita bicarakan pelan-pelan dan berjanjilah untuk tidak memaksakan dirimu, Darka."

***

Senin, 7:02 WIB, delapan hari setelah sadarkan diri.

Setelah salat subuh, kami berdua memilih untuk tetap terjaga.

Nenek akhirnya menceritakan apa yang kualami hingga berakhir di sini. Aku menyimaknya dengan baik, tetapi tidak bisa mengingatnya dengan jelas.

Di kepalaku hanya ada kepingan-kepingan puzzle tak sempurna yang tersusun secara acak.

Membingungkan, sekaligus memusingkan.

"Wanita yang memukulmu dengan palu itu, mengalami gangguan jiwa. Dia korban pemerkosaan sekaligus korban kekerasan seksual, di mana keluarganya memaksa agar ia meneruskan kehamilan, serta terus-menerus menyalahkannya dan membebaskan pelaku pemerkosaan tersebut karena kondisi ekonomi. Jadi kami tidak bisa membawanya ke ranah hukum, hanya pelaku pemerkosa wanita itu yang kami perjuangkan." Nenek mengarahkan sendok berisi bubur ke arahku, sambil memerhatikan raut wajahku mencoba mencari tahu apakah aku memaksakan diri atau tidak.

"Lalu siapa perempuan dan cowok bule yang sering datang menjengukku?" Sambil mengunyah bubur yang diberikan nenek, aku menunggu jawabannya. Namun, seketika ekspresi wanita itu berubah, menjadi sangat kaku dan seolah enggan membicarakan hal tersebut.

Kecurigaan pun mencuat. Pasti ada sesuatu yang enggak diceritakan, lagi pula kemarin malam—saat nenek sedang pergi sebentar dengan perempuan itu—si cowok bule memberikan buku sewarna magenta bertuliskan Journal of Memory. Katanya, kalau kesulitan mengingat mungkin aku bisa membacanya, tapi ini adalah rahasia jadi cukup sulit untuk mencari tahu apa pun di dalam buku tersebut.

"Mereka diurutan terakhir untuk diceritakan. Sekarang, istirahatlah sebelum dokter jaga datang dan memeriksa kondisimu."

Nenek masih saja mencemaskanku, padahal yang tersisa hanyalah perban di kepala dan rasa sakit luar biasa jika berusaha mengingat sesuatu. Sebenarnya hanya sedikit yang kuingat dari semua cerita nenek, yaitu tentang rencana kami melakukan kemping di hutan buatan dekat puncak. Tidak terlalu yakin, jika itu adalah keinginanku sebab aku lebih suka berada di Toko Bunga Dahlia dan main layangan di lapangan bersama Linlin atau mengajarinya sesuatu.

"Apa kita kenal mereka dengan begitu dekat?"

Nenek mengembuskan napas. "Belum waktunya membicarakan hal itu, Darka. Istirahatlah karena Nenek mau mengajar sebentar, hari ini cuma setengah hari jadi mau pesan dibawakan apa?"

Aku tersenyum miris, mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjukku lalu berkata, "Bawakan sesuatu yang bisa memicu ingatanku, Nek. Aku enggak mau kehilangan kenangan yang sebenarnya sudah nenek ceritakan, tapi aku enggak mampu mengingatnya dengan baik. Bahkan hal itu jauh dari kata sedikit."

Setelah mendengar ucapan yang aku sendiri terkejut saat menyadarinya, nenek langsung memelukku erat kemudian ia berbisik, "Maafkan Nenek. Setelah kamu keluar dari sini, kita akan mengembalikannya pelan-pelan." Nenek mencium keningku lalu membacakan doa keselamatan dan pergi meninggalkan kamar rawat inap.

Menyisakan kesunyian berbalut suara detak jam di ruangan serba putih. Ini bukan pertama kali nenek terpaksa pergi bekerja, demi tanggung jawab seorang guru dan sekaranglah waktu membaca Journal of Memory yang diberikan cowok bule yang mengaku bernama Amber.

Dari gerak-geriknya selama seminggu terakhir ini, kupikir dulu kami pernah kenal.

... dan mungkin dia sahabat baru yang sempat kulupakan.

Journal of Memory, sampulnya ditulis tangan, menggunakan seni hand lettering dan ada gambar beruang memeluk seorang anak kecil perempuan dari belakang. Terasa familier, tapi ... baiklah, akan kulanjutkan.

Lembaran pertama, semua terasa baik-baik saja.

Lembaran kelima, keningku mengernyit.

... kemudian di lembaran ke dua puluhan akhir, rasa sakit itu kembali menyerang.

Seperti ribuan bom yang secara bergantian menghantam isi kepalaku. Memporak-porandakan sel-sel di seluruh otak, hingga tanpa sadar tubuhku menghantam lantai, beberapa detik setelah Journal of Memory terlepas dari tanganku.

Beberapa kepingan puzzle yang selama ini masih tersusun berantakan, akhirnya memulai tugas untuk menempatkan diri di tempat semestinya kemudian menyisakan perasaan terluka, hingga refleks tubuhku bergerak mengambil buku tersebut dan berusaha merangkak ke luar ruangan.

"Darka! What the hell are you doing now?! Are you ok?"

Suara Amber terdengar di depan pintu. Aku menoleh ke arah suara tersebut dan cowok itu segera membantuku berdiri. "Amber, aku belum mengingatmu, tapi cewek yang di foto ini ... apa dia baik-baik saja? Dia bersamaku saat penyerangan itu, 'kan?"

Sambil memperlihatkan foto berisi seorang gadis yang sedang tersenyum dengan mahkota bunga di taman begiona, tanganku begetar hebat bahkan jantung pun jadi ikut berdetak sejuta kali lebih cepat. Sekitar dua puluh persen aku mengingatnya dan yang terpenting adalah ....

... namanya Annora. Dia menyebut namaku berulang kali.

Mengatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, tapi tidak memiliki banyak waktu karena penyakit yang dideritanya.

Sejauh ini, dari semua tulisan dan gambar yang dia buat di Journal of Memory, memberitahuku secara paksa bahwa kami memiliki hubungan dekat.

Nenek menyembunyikannya dan aku tidak tahu alasannya.

"Kamu mengingat sedikit tentangnya, di saat dia benar-benar membutuhkanmu." Enggak tahu kenapa, seketika Amber menampilkan aura mendung dan hal itu membuatku bertanya-tanya. "Let's see her and say something nice. Kumohon katakan pada Annora, bahwa kamu ingin dia bertahan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top