4. Ideal Type

Hanya pengecut yang melimpahkan kelalaian diri sendiri kepada orang lain. Hari ini senin dan aku mengawalinya dengan insiden terlambat. Nenek bilang sudah membangunkanku setengah jam lalu, tapi ternyata malah disalahpahami karena mengira diamku adalah tanda bahwa aku tidak pulang ke rumah, melainkan menginap di toko.

Memang tidak salah kalau nenek mengira seperti itu, karena aku berpesan bakal pulang telat. Semalam toko luar biasa ramai-Annora membuktikan apa yang dia jamin di depan Boss Benji. Bahkan ketika jam tutup, kami masih harus melayani sepuluh orang dengan karangan bunga berukuran besar. Alhasil kami harus bekerja lembur dan aku memutuskan untuk mengantar Kirana pulang terlebih dahulu, karena malam begitu larut.

Sambil memasang kaus kaki di anak tangga paling dasar, kulihat nenek sedang menikmati teh kuncup mawar di meja makan berbahan kayu jati, sambil mendengarkan radio sekaligus menulis sesuatu di atas tumpukan kertas.

Setiap fajar tiba wanita berumur yang belum memiliki banyak uban, padahal telah berusia tujuh puluh-an tahun itu selalu menikmati me time-nya di dapur. Tidak hanya mendengarkan radio, terkadang nenek meluangkan waktu pagi dengan membaca buku-buku tentang wanita, merajut untuk menambahkan koleksi taplak meja hasil buatan tangan, merawat kebun kecil di halaman samping rumah, serta sesekali bercengkrama dengan Tante Lisa yang tinggal di Kalimantan Tengah melalui video call.

"Terlambat bukan berarti melewatkan sarapan, Darka. Nenek kira semalam kamu tadi tidur di toko Boss Benji karena pulangnya telat terus sekalian numpang internet buat ngerjain tugas kampus." Nenek meletakkan kacamatanya, menghentikan aktivitas mengoreksi nilai-nilai di tumpukan kertas lalu mengambil sepiring ampal jagung dan tote bag berisi bekal plus sebotol air. "Lihat kamu buru-buru gini, Nenek jadi enggak enak. Maafin Nenek, ya, Cu."

"Enggak pa-pa, Nek. Lagian semalam juga waktu pulang harus begadang dulu buat ngerjain sisa-sisa tugas kampus dan enggak mungkin juga, aku nebeng internet Boss Benji terus (lebih tepatnya ada pengganggu yang ngerusak acara tidurku). Aku berangkat sekarang, ya, Nek." Kucium punggung tangan dan kening wanita kesayanganku ini seperti biasa. Membiarkannya membacakan doa keselamatan sebelum pergi, kemudian segera menerima dua ampal jagung serta tote bag berisi bekal yang telah disiapkan nenek untukku.

Setelah mengucapkan salam aku langsung berjalan cepat meninggalkan rumah bernuansa sederhana, perpaduan antara kayu ulin dan beton, belantai dua, serta dipenuhi dengan beberapa macam tanaman hias di halaman depan. Sekaligus menjadi saksi bisu bagaimana seorang Darka Sagraha dibesarkan, kemudian terpaksa berpisah dengan bapak di usia sebelas tahun akibat kematian yang mendadak.

Nenek memang selalu perhatian. Itulah sebabnya aku jadi tidak mau menyalahkan beliau atas keteledoranku. Melalui sikap nenek yang tanpa sungkan mengucapkan maaf serta senantiasa merawatku di usia renta, akhirnya membuat rasa segan dan sayang luar biasa pun terlahir secara alami. Mungkin perasaan itu hadir karena sadar bahwa hanya tinggal kami berdua yang berada di Bandung, sedangkan sebagain besar keluarga bapak menetap di Pulau Kalimantan akibat Proyek Pengembangan Lahan Gambut pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Jangan tanya mengenai ibu, karena sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana rupa wanita itu. Meski waktu TK sempat bertanya pada bapak tentang, keberadaan ibu akibat ejekan teman-teman dan perbincangan orang dewasa terhadapku. Saat itu bapak hanya tersenyum tegar (dulu aku masih belum memahami arti senyuman tersebut, tetapi semakin bertambah usia aku semakin paham), tanpa ragu memberitahu nama beliau lalu mengatakan bahwa, warna mata hijau pekatku ini merupakan satu-satunya kenangan pemberian ibu. Aku yang masih kecil pun jadi senang bukan main kemudian berlari ke sana-kemari memamerkan sepasang mata milik ibu di mataku. Tanpa peduli bagaimana pandangan orang dewasa terhadap keluargaku, sebab anak kecil terlalu polos untuk menerima perkataan buruk.

Lima menit menuju kelas Pemerintahan Australia dan jika terlambat, maka pintu akan tertutup dan tidak ada yang namanya titip absen karena ini adalah Pak Sony, dosen penuh kedisiplinan. Secara otomatis otakku memberi peringatan, ketika tidak sengaja melihat jam di salah satu warung dekat pangkalan ojek pertigaan. Berpikir cepat, Jarak yang harus kutempuh tinggal seratus meter dan itu belum termasuk jarak menuju gedung fakultas Ilmu Sosial Politik karena tempatku menganyam ilmu merupakan kampus dengan gedung berbeda-beda di setiap fakultasnya. Alhasil demi mencegah kemacetan kendaraan dan menghadirkan ketenangan di saat belajar-mengajar, pihak yayasan pun membuat gang besar sepanjang kurang lebih enam puluh meter dari jalan raya.

Perjalananku masih sangat panjang untuk memperjuangkan sebuah kedisiplinan.

"Darka!"

Panggilan penuh energi di jalur masuk kampus seketika mempelambat kecepatan lariku. Refleks aku menoleh ke arah suara, seiring derap langkah kaki terdengar di sisiku. Fariz, teman sekelas sejak semester satu, bernapas terengah-engah dengan helm di tangannya. Aneh kenapa malah jalan kaki, bukannya anak ini selalu bawa motor? Jangan bilang kena tilang karena belum a.k.a malas bikin SIM.

Melihat Fariz terlambat hari ini, sebenarnya bukan rahasia umum lagi bagiku. Di angkatanku, Fariz adalah salah satu mahasiswa dengan perolehan poin terbanyak dalam kasus terlambat, fakta yang tidak perlu dibanggakan. Namun, kata Fariz itu menyenangkan sekaligus memacu adrenalin dan ladang untuk berbagi rezeki.

Berbagi rezeki yang dimaksud pun bukan berarti melakukan bakti sosial, melainkan mentraktir makan teman-teman satu angkatan program studi Ilmu Hubungan Internasional selama satu minggu karena sejak semester awal kami semua sepakat-demi meningkatkan nilai kedisiplinan sebelum terjun ke dunia kerja-siapa pun yang terlambat dan menghasilkan poin hingga angka sepuluh, maka bersiaplah untuk menghamburkan uang.

Fariz tersenyum lebar, seolah baru saja menemukan harta karun paling mahal sejagat raya. Lalu tertawa nyaring, sambil memukul pundakku sebagai sapaan ala cowok.

"Hari gini masih lari karena takut telat? Nih, makan sneakers." Fariz memberikan satu bungkus sneakers dari saku celananya kemudian mengisyaratkan supaya enggak perlu buru-buru lagi. "Kambing ngepet! Aku kena tilang, padahal cuma lewat di detik pertama lampu merah," keluhnya, sambil merebut sneakers yang sudah kugigit lalu memakannya.

Oh, jadi maksudnya sebungkus berdua. Enggak jadi masalah, kami terlalu sering berbagi makanan kalau memang diperlukan.

"Bukan salah polisi kalau kamu ditilang, sudah tau lampu merah malah diterobos. Sudah bikin SIM?"

"Terlalu sibuk buat bikin SIM. Pengennya nembak aja biar cepet, tapi kakakku yang polwan malah menentang keras. Katanya 'stop pungli'."

Aku tertawa pelan, lalu mengambil kembali sneakers pemberiannya. "Bikin SIM kalau dikerjakan dari pagi, sehari juga selesai. Paling lambat dua hari, lah."

"Sok tau. Emang kamu sudah pernah buat?" Fariz mendengkus kemudian tertawa lagi. Matanya melirik ke sana-kemari, sekadar mencari tahu siapa saja di kelas kami yang bakalan terlambat.

Aku mengikuti tingkah Fariz dan tanpa kusadari, hari ini terlihat seperti hari terlambat nasional di Universitas Dananjaya. Terlalu banyak yang berlari atau berjalan jauh lebih santai dari kami berdua sambil ketawa-ketiwi. Jangan tanya kelompok kedua itu didominasi oleh golongan apa, karena dari suara cempreng dan pembahasannya saja sudah ketahuan, kalau mereka adalah sekelompok cewek rela begadang sekaligus menghamburkan uang demi nonton konser Boyband Korea, Wanna One, di Jakarta minggu malam tadi.

Ngomong-ngomong tentang Wanna One, jadi ingat gimana galaunya Kirana semalam karena enggak bisa nonton konser mereka. Bahkan cewek dua puluh lima tahun itu sampai nangis kejer, sambil scroll instagram sepanjang jalan pulang, berharap ada akun fanbase yang nge-live diam-diam selama konser. Kata Kirana malam itu bakalan jadi penampilan terakhir Wanna One di Indonesia, sebab kontraknya, cuma satu setengah tahun. Kalau enggak salah ingat, loh, ya.

Jadi karena itu pantesan saja, waktu sore-sore datang ke toko bunga Dahlia muka Kirana sudah kusut masai kayak enggak pernah kena air suci satu tahun.

"Darka Sagraha!!!"

Panggilan melengking itu bikin aku kaget dan membuyarkan pikiranku tentang kegalauan Kirana semalam. Bungkus sneakers yang isinya tinggal sedikit jadi jatuh ke tanah, membuat mata Fariz terbelalak sampai-sampai dia terlihat ingin memuntahkan semburan api kepada orang yang mendorong punggungku secara mendadak. Namun, sesaat ia urungkan dan malah cengar-cengir kegenitan.

Demi apa pun, sekali dengar dia manggil nama depanku saja aku bisa nebak siapa pemilik suara cempreng yang setara dengan dua panci saling tabrakan itu. Annora, salah satu penyebab keterlambatanku hari ini. Pengganggu jam tidur orang lain karena telepon yang terus berdering, tidak berhenti jika tidak diangkat kemudian memaksa, agar aku menemaninya mengobrol hingga jam tiga dini hari.

Gara-gara Annora, total tidurku semalam hanya dua setengah jam, dipotong solat subuh di masjid. "Kamu enggak punya kerjaan lain, selain ngikutin ... what?!"

Kali ini beneran deh, saking kagetnya andai bukan ciptaan Tuhan mungkin mataku sudah jatuh ke tanah, terus jadi santapan anjing liar yang lagi berebut makanan di salah satu jajaran pohon petai cina di sepanjang jalan gang kampus.

Annora terlihat menikmati keterkejutanku. Dia melakukan tarian alis dengan tatapan jenaka, seolah ada aksi komedi paling lucu sepanjang sejarah hidupnya. Lalu Fariz, salah satu pentolan visual di angkatanku segera mengambil alih peran dari drama ini. Mengalahkan kecepatan banteng, ia berdiri di depanku, mencoba mencuri perhatian Annora.

Tidak perlu ditutup-tutupi lagi, karena semua orang di Dananjaya pasti mengetahui bahwa Fariz selalu gas pol kalau ada cewek bening apalagi jika itu adalah ade-ade gemas mahasiswa baru. Bukan berarti aku mengakui kalau Annora menarik, loh, ya, tapi orang-orang di sekelilingku selalu bilang begitu.

"Anak HI, kayaknya masih maba, unyu banget." Fariz merendahkan sedikit punggungnya, mencoba menyetarai tinggi badan dengan Annora agar terlihat seperti cowok-cowok keren. Enggak lebay, kok, karena cewek pasti suka diginiin. Bukti bisa kalian lihat di drama-drama Jepang atau Korea, aku juga bilang begitu karena nenek selalu memaksa buat nobar.

Annora mundur selangkah dengan wajah tak nyaman. Mungkin karena sedang diperhatikan secara intens. Diam-diam aku tersenyum, geli juga bisa lihat ekspresi anak itu yang berharap mendapat pertolongan dariku. Sekarang tahu 'kan gimana rasanya dilihatin begitu?

"Annora, ya. Kak Fariz, semester empat." Tanpa rasa canggung, seakan sudah mendarah daging, Fariz menyodorkan tangan ke arah Annora. Lalu seperti ada dorongan dari malaikat baik hati, aku segera mengambil alih uluran tangan Fariz. Bodo amat kalau dia cemberut. Kayak cewek aja.

"Enggak usah tebar pesona. Kamu bukan tipe dia, Riz," kataku cepat-cepat kemudian menyeret Fariz agar segera menjauh, tapi memang kepala kerang, dia malah memutar tubuh dan balik menyusul Annora yang diam-diam mengikuti kami dari belakang.

Fariz menaikkan kedua pipi bersamaan dengan lengkungan tinggi ke atas di bagian bibir. Dijamin deh, pasti Fariz mengira kalau Annora tertarik dengannya, padahal mata Annora jelas-jelas ke arah lain. Tahu sih, itu mata arahnya ke mana. Namun, karena enggak mau dianggap kegeeran, aku memilih buang muka, supaya kelihatan cuek dan Annora sadar bahwa dia sudah ditolak sejak awal.

"Annora. Semester dua," kata Annora yang pas kulirik sedang menjabat tangan Fariz. Namun, tidak lama kemudian dia merangkul paksa lenganku. "Dan dia, Darka Sagraha. Tipe idealku. Kita sudah temenan sejak kemarin," ucap Annora lagi lalu menyandarkan kepala di tempat serupa, sambil tersenyum. Seolah kalimat itu akan membuatku merasa menjadi cowok paling beruntung di dunia karena berhasil menarik perhatian banyak mata di sekitar kami-depan area parkir-tempat semua mahasiswa berkumpul sebelum benar-benar menuju ke gedung fakultas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top