39. Stargazing
Jika kamu mencintai stargazing, kamu pasti bakalan rela repot membawa telescope ke sana-kemari demi melihat bintang dengan sangat jelas. Bahkan rela mengabaikan larangan, ketika orang-orang di sekitarmu lebih menyarankan membawa kamera dslr. Seperti Annora, aku beneran enggak nyangka kalau dia bakalan tetap membawa telescope ke puncak dengan berusaha menyembunyikan barang tersebut di dalam mobil, padahal sebelum pergi kemping Mama Jane sempat melarangnya. Aku dengar sendiri dan sekarang cewek itu malah menarikku ke luar tenda lalu memaksa agar mau ikut ke jembatan yang menjorok ke arah jurang, di saat semua orang sudah terlelap.
"Ngeliat bintang di saat begini, enggak bakalan afdol kalau enggak bawa telescope sama kamera dslr." Annora mengarahkan telescope sedikit ke atas, sambil duduk santai di jembatan hampir mendekati tepi. "Kamu bisa pake kamera dslr-nya kalau mau sekalian ambil foto juga boleh," sambungnya lagi, sebelum aku duduk tepat di samping Annora.
Aku menengadahkan kepala. Kupikir melihat begini saja sudah cukup, secara langit malam ini benar-benar cerah jadi benda-benda di antara kanvas kelam itu pun terlihat sangat jelas. "Mataku masih normal, kok. Enggak perlu telescope atau kamera dslr segala. Lagi pula cuacanya cerah."
Baru saja ingin berbaring dengan setengah kaki menggantung di ujung jembatan, kudengar Annora berdecak lalu menarik lenganku seolah menyuruh untuk tetap duduk. "Cerah apanya? Denger, ya, Kak Darka yang bilang begitu cuma orang-orang kebanyakan ngayal kepengen punya mata sharingan atau byakugan! Coba, deh bakalan beda rasanya kalau liat pake ini," kata Annora dengan nada suara cukup tinggi, seolah enggak terima kalau malam ini memang beneran cerah.
Memutar mata, aku menuruti kemauan Annora yaitu mencoba melihat bintang pakai telecope. Seriusan ini pengalaman pertama dan rada gugup juga pakai benda ginian, karena setauku harganya pun enggak main-main. Seketika jadi gemetar takut ngerusakin, tapi barusan Annora secara tersirat bilang bahwa aku adalah orang kebanyakan ngayal yang kepengen punya mata sharingan atau byakugan, 'kan? Ayam bengkok, memang apa salahnya ngarep punya gituan? Asal dia tahu saja, kedua kekuatan mata itu bukanlah barang yang mudah buat didapatin kalau ada di dunia nyata.
"Ya, ya, ya, kalau aku punya mata sharingan atau byakugan pasti nama Sagraha bakalan sudah ada di manga naruto dan aku bukan orang Indonesia lagi, tapi orang ... eh, buset! Ini serius?!" pekikku kesenangan saat yang kulihat dari telescope ternyata lebih bagus, daripada melihat bintang-bintang dengan menggunakan mata telanjang. "Ann, serius aku tanya, kamu enggak lagi pakai ilusi optik supaya-" Ucapanku seketika terhenti saat mendengar tawa pecah dari bibir Annora.
Dia tertawa terpingkal-pingkal, sedikit membuatku heran tentang mengapa harus sereceh itu? Padahal yang barusan kulakukan enggak lucu-lucu amat. Aku memilih menunggu Annora dan menampik perasaan di dalam dada. Sumpah ini bukan debaran cinta, tapi lebih ke hal khawatir karena wajah Annora terlihat sedikit pucat di antara cahaya keremangan lampu.
"Itu bukan ilusi optik. Makanya tadi kubilang pakai telescope lebih jelas dan bagus, bintang-bintang tersebut jadi terlihat lebih banyak kemudian kalau mau mengabadikan gambar lebih bagus pakai kamera dslr, daripada pakai kamera biasa. Hasilnya bakal keliatan kayak di foto tumblr." Annora mengambil kamera dslr yang menggantung di leherku, membidik sebentar lalu mengambil beberapa foto dengan sudut berbeda. "Coba liat, deh bagus, 'kan?"
"Kalau begini caranya, kupikir enggak salah kalau kamu bilang aku kebanyakan ngayal kepengen punya mata sharingan atau byakugan, tapi kenapa waktu di rooftop kamu enggak bawa ginian?"
Annora mendorong keningku dengan menggunakan telunjuknya, membuatku ingin membalas, tapi keburu dihalau sama cewek itu. "Kenapa mesti nanya lagi? Tau, 'kan aku bawa telescope ke sini aja kudu sembunyi-sembunyi, padahal salah satu keinginanku di Journal of Memory adalah stragazing di tempat terbuka bareng kamu dan sekarang terwujud. Tinggal kegiatan selanjutnya dan kamu bakalan tau kalau sudah baca Journal of Memory," kata Annora kemudian kembali melihat bintang melalui telescope.
"Memangnya mau bikin kenangan apa lagi? Jangan aneh-aneh, loh, ya?" tuduhku penuh curiga. Namun, Annora hanya membalasnya dengan senyuman penuh rasa bahagia. "Ann, mukamu pucat. Bahumu juga naik-turun kayak susah napas, padahal sudah pakai oksigen jadi sebelum kamu bilang kalau kamu baik-baik aja, lebih baik kita balik sekarang, ya?"
Satu hal yang kupelajari dari karakter Annora, yaitu jangan memaksa atau menampilkan mimik khawatir berlebih di saat dia menampilkan perilaku aneh karena pasti nanti bakalan ditolak jadi, daripada serba salah mending lawan nge-frontalin dia saja. Namun, lagi-lagi aku dibuat risau karena Annora malah bergeming. Enggak nyahut atau kasih ekspresi apa pun kayak lagi pura-pura enggak dengar omonganku.
"Ann, denger, enggak?" desakku lagi. Rasanya pengen gendong dia saja terus segera bawa ke tenda dan lapor sama Mama Jane karena mungkin Annora lupa minum obat atau alergi dingin, karena setahuku beberapa orang yang punya masalah di paru-paru memiliki alergi serupa dan Annora memilikinya akibat komplikasi cystic fibrosis.
"Kak Darka, sebelum kita balik aku mau kasih tau alasan kenapa stargazing begitu menarik untukku." Annora melepaskan fokusnya yang dari tadi hanya menatap bintang-bintang dari telescope.
Aku meneguk gumpalan di dalam tenggorokanku. Seketika rasanya semakin aneh.
"Tau enggak kalau pancaran bintang yang kita lihat sekarang ini adalah pancaran bintang yang sudah mati?"
"Hah? Kok, tiba-tiba ngomongin begitu?" Sumpah sekarang terasa makin serem, sudah kayak ada arwah gentayangan di sekitar kami. Apa lagi saat ini sudah jam dua belas malam.
"Apa, sih, lebay banget." Lagi-lagi Annora mendorong keningku kemudian dia merebahkan kepalanya di bahuku, kayak orang lagi pacaran. Bakalan risi kalau aku belum tahu bahwa Annora adalah adikku, tapi untung saja sekarang sudah tahu. "Guru fisikaku pernah bilang, kemungkinan bintang di langit itu adalah bintang yang telah mati, karena kalau misalkan jarak bumi sama bintang adalah 100.000 tahun cahaya dan bintang hari ini telah mati, maka pancaran cahaya terakhir dari bintang akan terlihat 100.000 tahun yang akan datang. Anggapannya, sekarang kita juga sedang melihat bintang yang akhirnya sampai ke bumi setelah melakukan perjalanan selama 100.000 tahun cahaya."
Aku mengernyit sesaat, bukan berarti bingung karena sebenarnya aku paham banget! Guru Fisika kami adalah orang yang sama dan tergila-gila dengan konsep perjalanan waktu, yang katanya bisa terjadi jika kendaraan kita mampu melebihi kecepatan cahaya. Di Italia pun sekarang sudah ada penelitian tentang keberadaan partikel neutron yang ternyata memiliki kecepatan melebihi cahaya. Memang menurut mereka hal itu akan menjadi penemuan terbesar jika kita bisa melakukan perjalanan waktu. Namun, kupikir tidak perlu mendambakan hal tersebut sebab jika kalian bertanya, maka aku lebih menginginkan kembali ke masa lalu kemudian bertemu Annora lebih dulu demi menciptakan banyak kenangan sebagai seorang kakak tanpa membuatnya jatuh cinta.
"Dengan kata lain, kita sedang memandang pemandangan serupa dengan orang-orang yang hidup ribuan tahun lalu. Namun, asal kamu tau Ann, ada hal lebih penting dari teori yang diceritakan guru kita." Aku mengembuskan napas lalu memberikan rangkulan di bahu Annora. Enggak ada kecanggungan sama sekali karena selama seminggu telah berusaha menata hati, memposisikan diri sebagai seorang kakak. Bukan sebagai laki-laki yang diam-diam menaruh perasaan khusus untuk lawan jenisnya. "Mengamati bintang ternyata memiliki arti penting, yakni mengingatkan kita bahwa ada yang lebih penting, daripada yang kita lakukan sehari-hari, yaitu mengingat Tuhan, pencipta bentangan semesta tanpa ujung dan manusia hanyalah bagian kecil dari semua itu."
"Saranghae, Kak Darka," bisik Annora lalu tiba-tiba mencium pipiku dan berlari kecil, sambil menggerek tas tabung oksigennya. "Aku lapar jadi jangan lupa bawakan telescope sama kameranya. Buruan! Kutunggu di dekat warung 24 jam. Kita makan popmie bareng!" seru Annora. Sesekali ia tertawa, tanpa peduli bahwa jantungku sudah jumpalitan ke sana-kemari.
Ya Tuhan, demi punya kekuatan lasernya Ironman, boleh bakar diri sendiri, gak? Rasanya berdosa banget sudah ngerasain hal kayak gini sama adek sendiri, meskipun kenyataannya yang salah itu memang aku karena masih belum mau memberitahukan kebenaran. "Ann, kamu bawa uang, gak? Jangan lari-lari, muka kamu pucat amat tau! Seriusan aku bakalan marah banget kalau kamu masuk rumah sakit gara-gara enggak jaga diri." Kicauanku yang sudah seperti emak-emak akhirnya terdengar lagi dan hanya dibalas tawa oleh Annora, tapi bagus, deh dia menurut karena sekarang lagi jalan santai sambil bernyanyi.
Lagi-lagi lagu Always-nya Wanna One. Ini anak enggak punya lagu lain apa? Bikin baper tau!
Berjalan tergopoh-gopoh karena harus melewati banyak anak tangga di jalanan bidang miring, beberapa kali kulihat Annora kepayahan dan berhenti sejenak. Namun, seperti ada sinyal bahwa aku mendekat, Annora malah buru-buru bergerak lagi. Enggak ngerti itu anak kenapa harus bersikap demikian, padahal kalau Annora mau berhenti sebentar lagi aku bakalan nawarin supaya dia naik ke punggungku saja.
Enggak pa-pa repot asal Annora selamat.
Kurang lebih sepuluh menit hingga sampai di dekat tenda, Annora duduk sebentar di warung asongan dua puluh empat jam lalu sepertinya dia sedang memandang sesuatu di seberang jalan. "Kak, pesan popmie-nya tiga sama susu UHT satu, ya? Kayaknya mereka belum makan juga."
Aku mengikuti arah pandangan Annora. Di seberang jalan, kulihat seorang ibu berpakaian lusuh dan anak bayi di dalam selimut kumal tidak terurus sedang duduk di bawah halte. Sang anak terus-menerus menangis, tetapi si ibu malah abai, diam-diam hal tersebut juga menyentuh hatiku sehingga tanpa ragu kusetujui keinginan Annora.
"Kamu tunggu sini aja, biar nanti aku yang kasih ke sana," ujarku setelah memesan kepada si penjual. Namun, buru-buru Annora merebut kotak susu UHT yang baru kuambil lalu menyimpannya di dalam saku jaket.
"Aku aja yang kasih, 'kan kamu yang bayar nanti dikira kita mau kabur lagi."
"Hah? Teori macam apa itu?" protesku cepat kemudian buru-buru mengambil satu cup popmie berisi air panas dan lagi-lagi aku kalah cepat.
Annora menjauhkan tanganku dan segera berkata, "Sudah tunggu sini aja, Kak. Aku enggak repot, kok bawa tabung oksigen ke sana-kemari sambil bawa beginian. Turun tangga curam kayak tadi aja kuat, jangan pikir muka pucat pertanda kolaps." Setelah mendorong dadaku, Annora pun segera menyeberangi jalan raya yang kebetulan enggak terlalu ramai.
Mengembuskan napas dan setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja, aku pun segera memutar tubuh, menghadap penjual yang membawakan satu cup popmie. Namun, ketika baru saja ingin bertanya, mata si penjual itu tiba-tiba melebar, menampilkan ekspresi terkejut, panik dan ....
"Allahuakbar!"
Tidak, aku tidak percaya dengan jeritan di belakangku. Suara itu menyakitkan dan ketika berbalik, pemandangan itu seketika membunuhku. "Annora!!!!"
Tuhan, kumohon apa pun itu ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top