37. A Peace

"Kamu ngapain? Dari tadi berisik banget di dapur. Bikin konsentrasi Nenek pecah aja."

"Eh, ya. Lagi coba buat pisang goreng pake tepung." Aku gelagapan waktu suara nenek terdengar dari balik punggungku.

"Emang bisa? Kamu 'kan biasanya tiap bantu Nenek cuma bagian kupas-kupas, potong-potong sama cuci piring aja." Menggeser tubuhnya, kali ini nenek berdiri di sampingku sambil memperhatikan caraku membuat adonan tepung sebelum dimasukkan pisang.

"Coba-coba sebagai bentuk permintaan maaf karena seminggu ini dingin banget sama Nenek dan Tante Jane."

"Jadi ceritanya sudah enggak galau lagi, nih?" tanya nenek yang suaranya kedengaran kalau beliau ingin ngelawak. "Kok, masih panggil Tante Jane? 'Kan sekarang sudah tau?"

Sambil berusaha menyatukan adonan tepung dengan air yang aku enggak tahu harus seberapa banyak, diam-diam aku memutar mata—bukan bermaksud untuk kurang ajar, cuma ya, gitu, deh nenek kalau dibaikin begini, nih suka godain. Namun, tadi nenek tanya kenapa aku masih manggil Tante Jane, ya? Seketika jadi bingung harus jawab apa.

Mengembuskan napas, kucolek adonan yang sedang kubuat lalu menyodorkannya ke arah nenek. "Adonannya sekental ini, Nek? Aku buatnya manual enggak pake tepung cepat saji. Gula garam sudah dimasukkan terus pake sedikit pewarna kuning."

Nenek mendecak lalu memicingkan matanya. "Lagi mencoba buat mengalihkan obrolan, ya? Enggak bakalan mempan. Nenek kangen kamu, Darka. Diabaikan sama orang serumah itu sama kayak tinggal di neraka." Nenek memeluk bahuku, sambil mencolek adonan tepung di jariku dan mencobanya.

Perasaan cemas dengan rasa adonan tepung yang kubuat hanya bermodalkan youtube tiba-tiba menghampiri. Takut juga kalau ternyata hambar karena kalau harus ditambah-tambah demi menemukan rasa yang pas, pasti ujung-ujungnya bakalan kemanisan atau keasinan. Ngomong-ngomong masalah tersebut, seketika jadi ingat waktu pertama kali masak nasi goreng sendiri dan karena hambar jadi dicampur gula, kecap manis, plus garam, enggak tahu itu bener apa salah, tapi hasilnya seriusan aneh banget! Mending pakai bumbu cepat saji, deh.

"Tepungnya kurang encer sama kurang gula. Lagi pula kenapa harus manual kalau ada tepung cepat saji di kulkas?"

"Supaya lebih greget perjuangannya. Nek, aku minta maaf, ya, padahal kita tinggal di rumah berdua aja, tapi aku malah nyuekin Nenek," kataku pelan yang refleks malah disambut tawa oleh nenek.

"Kamu itu lucu banget! Nenek paham, kok. Karakter kamu enggak beda jauh sama Tante Lisa kalau lagi ada masalah, jadi Nenek sudah tau betul." Setelah mengusap kepalaku, nenek segera mengambil segelas air dan toples gula. "Kamu belum jawab kenapa masih manggil Jane, dengan panggilan tante." Sambil menuangkan dua bahan tersebut ke dalam adonan lagi-lagi nenek mengingatkanku dengan pertanyaan yang sebenarnya enggak mau kujawab.

Aku diam sejenak, sekadar berpikir tentang jawaban apa yang paling bagus untuk pertanyaan tersebut. "Kupikir ... mungkin hanya kurang terbiasa ...," ucapku ragu-ragu, "eh, tapi aku sudah baikan, kok." Buru-buru kulanjutkan ucapanku, sebelum nenek mikir macem-macem.

Nenek tersenyum lebar lalu segera mengambil celemek dan menyalakan kompor. "Ayo masak bareng, sudah seminggu lebih enggak begini," kata Nenek sambil memasukkan potongan pisang ke dalam adonan tepung dan sesekali memberitahuku tentang tips-tips memasak. "Darka, ini jadinya bakalan banyak, loh. Kita bawa ke rumah Annora, ya? Sekalian silaturahmi sama papanya Annora. Kemarin dia sudah pulang dari rumah sakit, 'kan?"

"Iya, Nek. Memang rencananya mau begitu, sekalian mau jumpa kangen sama Annora dan ngobrol sebentar sama Tante Jane soal Annora yang tadi pagi sempat kuceritakan ke nenek."

"Semoga keputusanmu itu enggak salah. Nenek selalu mendukungmu, Cu," kata Nenek dengan nada lembut, sambil mengusap punggungku dengan tangan kirinya.

Aku hanya mengangguk lalu memasukkan pisang berlumur tepung ke dalam wajan.

***

Di rumah Annora, kupikir akan kembali bertemu dengan Om Demirel, tetapi nyatanya tidak. Mama Jane bilang bahwa beliau harus kembali ke Singapura karena hanya izin beberapa hari dari pekerjaannya sebagai dosen di salah satu universitas di sana. Sempat takjub mendengar hal itu sebab mana ada orang tua yang bisa pergi dengan tenang di saat anaknya sedang sakit. Namun, waktu kulihat Annora sekarang, dia malah enggak terlihat orang sakit sama sekali, selang oksigen di hidungnya pun hanya seperti pajangan agar mendapat perhatian orang lain.

Pantas kalau Om Demirel bisa pergi dengan tenang, secara anaknya saja yang baru kemarin pulang dari rumah sakit sekarang sudah bergerak lincah kayak gasing, meski kadang Annora mengeluh kerepotan sebab harus membawa tabung oksigen berukuran kecil ke sana-kemari.

"Tante, Annora belum tahu soal apa pun, 'kan?" tanyaku pelan, saat membantu Mama Jane membereskan meja makan sehabis kami menikmati pisang goreng dan makan siang. "Kupikir sebaiknya jangan diberitahu sebelum dia mendapatkan transplantasi paru."

Kulihat Mama Jane sempat mengerutkan kening, mungkin kebingungan mengapa aku kembali memanggilnya Tante, padahal Annora lagi sama nenek di gazebo dekat kolam renang. Terakhir kudengar, Annora minta ditemani  nenek buat ngelakuin hal rahasia di sana dan karena sudah tahu itu rahasia jadi mending enggak usah kepo, daripada nanti diledekin sama itu anak. Ogah banget!

"Belum, Mama memang sengaja nunggu kamu dulu, Darka. Maksudnya bukankah lebih baik kalau masalah diselesaikan satu per satu. Kemarin karena kamu minta waktu, Mama pikir ketika kamu sudah baikan kita berdua bisa ngobrol bareng sama Annora biar enggak ada yang salah paham. Kita ngomong pelan-pelan dan bikin dia mengerti."

Melirik ke kanan-kiri demi memastikan bahwa enggak ada siapa pun di antara kita, aku kembali menatap Mama Jane lalu menggeleng pelan. "Jangan sampai Annora tau, Ma. Hubungan kita benar-benar sudah membaik dan aku telah menerima kenyataan ini, tapi aku enggak tau gimana reaksi Annora kalau dia sampai dengar hal tersebut.

"Ma, Annora dalam keadaan sakit dan diawal kukatakan lebih baik kita fokus dengan Annora jadi ... sebelum adikku mendapat transplantasi paru, bisakah kita menjalani peran sebagai tante dan teman anak gadisnya saja? Lalu kita buat sebanyak mungkin kenangan spesial bersama Annora selagi menunggu."

Aku menggenggam tangan Mama Jane, menatapnya penuh harap agar mengerti apa yang kuinginkan. Demi apa pun, jika aku saja membutuhkan waktu seminggu untuk menerima fakta bahwa Mama Jane adalah ibu dan Annora adikku, maka cewek itu pasti memerlukan waktu jauh lebih lama untuk menerima kenyataan tersebut.

Memang kuakui bahwa Annora pandai menyembunyikan perasaan, tapi aku enggak yakin Annora bakalan baik-baik saja. Selain itu aku juga enggak mau dia merasakan hal yang sama denganku, apa lagi di masa-masa perjuangannya menunggu transplantasi paru dan melawan cystic fibrosis. Penyakit tanpa obat pengikis umur Annora sedikit demi sedikit dari semestinya.

Selain itu, diam-diam kesedihanku juga semakin bertambah saat kami—aku dan Annora—mengobrol sebentar sebelum menikmati pisang goreng. Sesaat, aku sempat melihat beberapa bagian tubuh Annora yang ternyata semakin kurus. Alhasil ketika menyadari fakta menyedihkan tersebut, aku langsung berdoa, berharap bahwa paru-paru akan menjadi transplantasi terakhirnya, meski kutahu bahwa hal itu bukanlah suatu kemungkinan, tapi merupakan suatu kepastian.

Seriusan demi apa pun itu, jika nanti suatu saat harus mengetahui bahwa Annora juga membutuhkan transplantasi jantung, hati atau pankreas, hal tersebut pasti akan sangat menyakitkan sebab semua orang tahu, bahwa enggak gampang mendapatkan pendonor yang cocok.

"Kamu begitu menyayangi Annora, rupanya," ucap Mama Jane, sambil menjauhkan tanganku dari lengannya lalu memelukku. "Kedamaian yang kupunya hanya ada padamu dan juga Annora, jika salah satunya bermasalah maka hidup Mama enggak tau akan jadi apa. Ayo kita buat kenangan spesial, berusaha melupakan kecemasan dan terus bahagia di waktu yang tersisa."

"Kita pantas untuk bahagia," kataku pelan, sambil tersenyum lega karena Mama Jane setuju dengan pemikiranku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top