34. True Friend Never Leave

Kutemukan Jin duduk di selasar mesjid, sedangkan Fariz baru saja keluar dari toilet. Sakit perut katanya, sudah enggak kuat lagi sampai harus buru-buru pergi selepas salam. Mereka tersenyum melihatku, sikap penyemangat yang kalau diartikan merupakan bentuk dukungan bahwa aku tidak sendirian.

Sayangnya, aku tidak bisa membalas senyuman mereka. Ekspresiku masih datar seperti detik pertama mereka menampakkan diri di ruang tamu, sambil makan brownis. Saat itu Fariz terlalu ceria menyambutku dan tampak cukup kecewa karena hawa nol derajat celcius menjadi balasan dari sifat akrabnya.

Waktu hampir ingin menanyakan kenapa mereka ada di sini, Jin terlebih dulu mengatakan kalau ini adalah hasil paksaan Fariz. Katanya, Fariz ngemis-ngemis, guling-guling, makan daun, sampai minum oli demi mendapat jawaban di mana keberadaanku. Enggak ngerti, deh si monyet jantan itu tau dari mana kalau selama menghilang Jin-lah tempat persembunyianku. Kalau pun menuduh bahwa Jin pelakunya, terasa mustahil sebab lelaki tersebut tipikal cowok yang tau batasan, paling malas ngurusin urusan orang lain.

Jadi anggap saja kalau Fariz itu cenayang atau memiliki ikatan batin yang kuat denganku. Lebay, sih, tapi ... lagi males aja mau kepo.

"Jangan pulang dulu, hawanya dingin banget. Nongkrong di angkringan dululah. Malam ini, biar aku traktir sebagai mantan senior yang lulus bukannya kerja kantoran, malah jadi penjaga toko bunga," ujar Jin, sambil berdiri ketika kami berdua menghampiri meski melalui jalur berbeda.

Kalau menuruti mood, sebenarnya malas mau mampir-mampir. Khawatir bakal curhat colongan dan jika responnya enggak sesuai dengan keinginan, maka akan menimbulkan konflik hingga berujung masalah tanpa akhir.

Serius. Sudah cukup masalah Annora dan Tante Jane. Jangan lagi ditambah. Jangan lagi diperumit.

"Waktu naik motor bareng Fariz tadi, aku liat ada angkringan dekat lapangan. Jalan kaki kuat, 'kan?" Jin masih terus berbicara, mengabaikan kebekuan di antara aku dan Fariz sebab memang begitulah sifatnya. Inilah yang kupikir menjadi alasan Fariz, mengapa ia memaksa Jin untuk ikut bersamanya.

"Aku enggak ikut. Lagi capek banget," kataku, sambil mengambil langkah seribu, tapi tertahan sebelum memulai apa-apa.

"Capek-capek enaknya minum wedang uwuh." Jin masih keras kepala dengan sikap pura-pura enggak taunya.

"Iya, supaya hati kamu dibersihkan dari racun-racun kehidupan dan diturunkan tekanan batinmu lewat kandungan pala serta kayu manis, terus ...." Fariz menghentikan ucapannya secara tiba-tiba, menutup mulutnya rapat dengan sorot pandangan yang bergetar. "Sorry, malah ngomong asal padahal enggak tau apa-apa." Itu kata Fariz kemudian membalikkan badan, saat sadar netraku mengarah padanya.

Untungnya, Jin tertawa di antara kebekuan kami yang sebenarnya tidak sengaja diciptakan. Aku dan Fariz tidak memiliki masalah, apalagi berkelahi. Suasana ini terjadi karena stress mendominasi otakku.

"Kelemahan orang Indonesia ya ini," kata Jin sambil merangkul bahu kami, menyeret hingga beberapa langkah, kemudian melepas rangkulannya. "Kalau ada apa-apa bukannya langsung bertindak, tapi malah komentar dulu, nanya dulu, update status dengan caption sok tau. Lalu menimbulkan perdebatan netizen, hingga berujung melupakan tindakan nyata yang sebenarnya lebih dibutuhkan, ketimbang debat.

"Kayak kamu ini, Fariz. Komentar dulu baru, deh sadar kalau yang diperlukan bukan guyonan, tapi tindakan langsung yang kuharap bakal diselingi dengan tukar pikiran."

"Aku—"

"Darka, aku enggak tau masalah kamu apa, tapi Fariz ke sini sebagai teman yang bisa dijadikan media tukar pikiran. Seperti pemimpin dan wakil pemimpin menyelesaikan masalah, secara bersamaan. Karena kata Nobita, seribu lebih baik, daripada sendirian."

"Kita enggak lagi ngomongin Nobita." Fariz menendang batu, sambil bersiul. "Dan seseorang juga sempat curhat sama aku, katanya kangen berat karena kamu tiba-tiba ngilang."

Terdiam seribu bahasa, kuabaikan pancingan Fariz barusan. Tebak-tebak buah manggis, kupikir itu Annora. Dari semua orang yang kutinggalkan beberapa hari, hanya Annora yang secara blak-blak-an bilang 'Sejuta kangen untuk Kak Darka' melalui voice note aplikasi Line sebanyak, kurang lebih lima belas kali. Sisanya hanya berupa omelan kecil akibat pengabaianku.

Sepuluh langkah menuju angkringan dekat lapangan bola. Biasanya terasa cepat bagiku, tapi sepertinya kali ini berbeda. Waktu berjalan lambat, obrolan ringan antara Jin dan Fariz mengenai bisnis pisang keju pun terdengar tidak jelas, seperti suara yang diperlambat. Namun, satu hal menarik perhatianku, sejak kapan Fariz memulai bisnis pisang kejunya? Dia tak pernah cerita denganku.

... atau aku saja yang tidak mau tahu dan sibuk dengan kehidupan pribadi, kesehatan Annora, serta sekarang masalah kehadiran Tante Jane a.k.a ibu kandungku.

Diam-diam aku mencuri dengar, rupanya Fariz baru berjualan dua malam terakhir di perumahan para dosen. Pak Nizar dan Bu Frisca yang menjadi jembatan, sekaligus pintu gerbang Fariz memulai usaha kecil-kecilannya di sana. Senang serta bersyukur saat mengetahui kabar tersebut, karena itu artinya Fariz mulai merealisasikan mimpinya sebagai pengusaha.

Tiga langkah menuju angkringan. Pikiranku semakin tidak fokus karena memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan, yaitu saat semua bokong kami mencium lantai dengan kedua siku tertumpu pada meja setinggi betis dan Jin akan meminjam pemantik untuk sebagai awal dari sesi curhat antar lelaki.

Kuda jongkok. Aku tidak akan pernah melupakan permainan tersebut karena sejak mengenal serta kebetulan cukup dekat dengan Jin, kami bertiga pernah memainkan hal konyol tersebut. Fariz menyebutnya 'Pemantik Penuh Emosi' karena saat kami memainkannya di kos--atas usul Jin--lelaki tersebut malah curhat, sampai mengeluarkan air mata. Isi obrolannya pun tak jauh dengan kisah patah hati bersama kakak tingkat yang terbongkar cuma-cuma, akibat pengaruh tuak yang ia bawa sebagai oleh-oleh dari rumah kakeknya.

Dan aku yakin, hal itu akan terjadi lagi. Meski tanpa tuak, serta setelah sekian lama enggak nongkrong bareng Jin karena keputusannya untuk pulang kampung setelah lulus.

"Kita mulai alasan dasarnya kenapa kubawa kalian ke sini," ujar Jin, sambil memainkan pemantik hasil pinjaman pemilik angkringan kemudian meletakkannya di meja. "Be professional and tell us your problem, then we'll find the right way." Jin memutar pemantik menggunakan tangan kanannya, kemudian kami menunggu, hingga ke arah mana benda tersebut berhenti.

Kuharap bukan aku pembukanya, tapi Fariz atau—

"Yah! Why me?!" Fariz berteriak, sambil meremas rambutnya hingga berlutut. "Serius. Aku enggak punya masalah akhir-akhir ini."

Jin tertawa pelan, sambil menepuk-nepuk pelan punggung Fariz dan mengisyaratkannya agar duduk. "Semua orang punya masalah, cuma beda besar, sedang, kecilnya aja jadi ... silakan."

Fariz mengembuskan napas. Ia menatap ke arahku dan ....

"Orang tuaku ingin bercerai." Itu katanya. Jelas, tegas, tanpa keraguan untuk membagikan masalah tersebut, padahal ini merupakan hal pribadi yang orang lain dilarang tau. "Kuceritakan masalah ini karena kalian orang-orang terdekatku, selain keluarga."

Orang-orang terdekatku, selain keluarga. Fariz mengucapkan kalimat itu dengan tegas, sambil menatapku dan seketika itu pula hatiku terpukul.

Fariz memercayaiku, tapi sekarang apa yang telah kulakukan padanya? Menganggap Fariz orang lain, mendiamkannya seolah ingin membuang akibat ketertutupanku dalam melewati masalah. Kurasa hanya berpegang pada pesan bapak tidaklah cukup untuk mengalahkan demon-demon tersebut, terlebih masalah kami nyaris sama.

Yang satu nyaris retak, sedangkan yang satu mengisi keretakan.

"Aku enggak masalah dengan perceraian orang tuaku karena kupikir, untuk apa mempertahankan sesuatu yang memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Namun, permasalahan ada pada adikku, dia mengurung diri di kamar melakukan demo enggak melakukan apa-apa kecuali aku yang menelepon dan membujuknya.

"Awalnya semua bisa teratasi, setiap kali--sesempat mungkin--aku bisa menelepon sekadar mengecek ini-itu. Namun, memadatnya jadwal kuliah, ditambah bisnis yang baru kubangun, ternyata menyita banyak waktuku hingga telepon dari ibu mengatakan bahwa adikku mengidap anoreksia sampai harus dibawa ke rumah sakit.

"Kupikir ... aku akan berhenti kuliah atau pindah di Universitas Terbuka demi merawat adikku."

"Enggak. Enggak boleh berhenti," kataku tegas hingga tak sadar menggebrak meja. "Daripada pindah atau berhenti, kamu bisa ngajuin kuliah online di Dananjaya. Mustahil kalau kamu lupa sama program itu, 'kan?!

"Selain itu ...." Aku menggantung kalimatku, menunduk sejenak kemudian menatap Fariz. "Ada teman yang siap membantu kamu," kataku yang sebenarnya membuatku merasa melankolis karena berhasil menciptakan senyuman di wajah Fariz.

"Thanks," katanya, masih dengan senyum lebar ala Fariz, "aku sudah ngajuin kuliah online, kok, dan setelah semuanya beres aku bakal pulang ke Jakarta, tinggal bareng adekku di rumah kakek. By the way, aku kira kamu bakalan tetap cuekin aku."

Mendengar kalimat terakhir Fariz, aku hanya menggeleng dan setelah pembukaan luar biasa ini--sebelum Jin memutar kembali pemantiknya--kuputuskan untuk kembali bersuara, menceritakan fakta tentang Tante Jane yang berhasil membuatku uring-uringan. Namun, tetap memegang janji agar tidak membicarakan penyakit Annora.

Dan sesi curhat pertama kali dalam hidupku pun dimulai.

"--kuharap ini bisa meringankan bebanku dan mengalahkan bisikan setan di kepalaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top