32. Come Back Home
Tiga hari tanpa pulang ke rumah, tanpa kuliah, tanpa menunjukkan batang hidung di Toko Bunga Dahlia, dan tanpa menjenguk Annora di rumah sakit. Semua orang; Nenek, Annora, Fariz, dan Boss Benji mencariku, meski dengan alasan berbeda. Seluruh panggilan serta chat dari mereka pun terabaikan karena saat ini, yang kubutuhkan hanyalah kesendirian di ruang 3x4 meter milik Kang Seok Jin.
Selama tiga hari menghilang, sepanjang itu pulalah aku berada di sini. Menumpang, tapi tidak secara harfiah tanpa melakukan apa pun. Aku tetap bekerja, berniat agar tidak merepotkan teman lama, mantan senior di kampus, dan karyawan baru di Toko Bunga Dahlia—yang sebelumnya pernah dikatakan Boss Benji—dengan cara membersihkan kamar kos, mengantarkan pakaian kotor ke laundry, serta mengambil catering untuk santapan kami sehari-hari.
"Sudah tiga hari enggak masuk kerja, kamu masih dicariin sama Boss Benji, tuh." Sebuah handuk setengah basah hinggap di kepalaku, bersamaan dengan suara Jin saat lelaki berdarah Korea itu memasuki kamar. Ia baru selesai mandi dan butuh sekitar empat puluh lima menit untuk aktivitas harian tersebut, waktu yang cukup lama bagi seorang laki-laki di saat jam kerja semakin mepet.
"Mau sampai kapan sembunyi terus?" Duduk di tepi kasur, Jin membuka kulkas mini di samping tempat tidur dan mengambil sekaleng minuman soda.
Aku sendiri sedang duduk di atas keramik beralaskan ambal tebal dan berbahan lembut, sambil memasukkan pakaian kotor dari keranjang ke dalam kantung plastik untuk dicuci oleh jasa laundry.
"Sampai semua tenang, jika melupakannya pun mustahil kecuali kalau aku terserang amnesia."
Jin mendecak. Kemudian mengambil baju kaos oblong di lemari depan meja setinggi pinggang dan memakainya. "Kalau beneran amnesia, terus kamu mau apa? Sudah dipikirin gimana reaksi keluarga, teman-teman, bahkan orang-orang terdekat kamu? Amnesia bukan hal mudah. Itulah kenapa mereka yang menderita penyakit tersebut, berusaha keras untuk tidak kehilangan memori."
"Untuk sekarang, rasanya kehilangan memori pun enggak masalah, Kak." Selesai dengan pakaian kotor, kini aku bangkit dari posisiku dan menjemur handuk setengah kering milik Jin di kusen jendela karena kebetulan berhadapan langsung dengan matahari. "Kalau bisa, aku pengen ngelupain fakta, di mana ibuku—yang dulu meninggalkanku—ternyata masih hidup dan juga ibu dari cewek yang—"
"Darka." Jin memotong ucapanku. Nadanya terdengar tegas, tapi tetap lembut seolah memaksa untuk didengarkan tanpa menyela.
Bebek penyok, aku memahami situasi ini. Jin adalah mantan ketua Himpunan Mahasiswa HI pada zamannya dan dulu, aku adalah mahasiswa baru yang dia ospek hingga akhirnya menjadi akrab, setelah aku bergabung dengan organisasi yang dia pimpin.
"Coba pikirkan, apa kira-kira alasan Tuhan membuatmu mengetahui ini? Apa yang terjadi kalau memang kamu masih belum mengetahuinya? Dan ... oke, ini sedikit lebih terus terang.
"Sesuatu yang kamu sebut masalah itu, sebenarnya enggak akan berubah kalau kamu menolak untuk bergerak. Jadilah dewasa, jangan kayak anak SMA. Temui dan bicara lalu jika masih menolak untuk menerima, coba pikirkan hal-hal baik tentang mereka.
"Aku enggak maksud buat ngusir kamu, Ka. Tapi berdiam diri dan kabur dari masalah, sepertinya bukan gaya kamu. Jadi silakan pikirkan baik-baik." Jin menepuk-nepuk kepalaku, seperti seorang kakak menasihati adiknya kemudian mengambil sepatu di rak dan memasangnya di depan pintu. "Aku pergi dulu ada pesanan yang harus kuantar bareng Boss Benji. Chat saja aku kalau pikiranmu berubah." Itu kata Jin, sebelum dia benar-benar pergi setelah memberikan ucapan menohok yang membuatku tersadar.
Tersadar bahwa sikapku benar-benar kekanakan. Tuhan memberikan masalah bersama dengan solusinya, tapi beberapa hari ini aku justru mengabaikan dan bahkan kabur demi menghindari kenyataan yang sejak awal, memang tidak bisa dipungkiri lagi.
Tante Jane adalah ibu kandungku sekaligus istri yang mengkhianati bapak, Annora adikku, dan nenek ....
... setelah bapak meninggal pun, ia tidak pernah membiarkan pikiran buruk mengenai ibu merasuk ke dalam pikiranku. Dua sosok penting dalam hidupku, selalu memberikan pandangan positif mengenai ibu yang setelah dua puluh satu tahun ini akhirnya bisa kulihat wajahnya.
Lalu kenapa malah kubiarkan demon-demon ini menguasai pikiranku? Membiarkan mereka menghasut agar aku membenci, mendendam, bahkan membuang kenyataan. Di mana balas budiku? Di mana nilai-nilai kebijaksanaan yang selama ini ditanam oleh bapak dalam diriku? Aku memijat keningku, terlalu pusing serta merasa bersalah karena terlalu mudah menilai satu keburukan dengan melupakan seribu kebaikan. Jika bapak mengetahui ini, aku yakin beliau pun akan sangat kecewa padaku.
Sehingga meskipun berat hati, kuambil ponsel yang sejak tiga hari lalu telah berubah menjadi mode senyap. Menyalakannya dan ribuan notifikasi menghiasi layar dalam hitungan detik, hingga membuat perasaan nyeri menjalar di seluruh tubuhku.
Di saat aku merasa sendirian dan marah, sebenarnya ada orang lain yang masih mengkhawatirkanku.
Nenek dan Fariz. Kedua orang itu memiliki angka terbanyak dalam hal menelepon atau mengirimiku SMS. Isinya pun nyaris sama, menanyakan keberadaan, keadaanku, dan memintaku untuk pulang sehingga ....
... dering nada sambung terdengar di telinga kananku. Memberikan sensasi berdebar, seolah yang kutelepon adalah sosok penting menyangkut keselamatan nyawaku.
Kuharap tidak ada kata-kata yang menyakitkan, jika telepon ini dijawab.
"Darka." Itu suara nenek. Aku merindukannya dan mataku perih karena menyesal. "Kamu di sana, Cu?"
Aku mengangguk. Namun, tak mampu mengucapkan sepatah kata.
"Cu, kamu kenapa? Kenapa pergi gitu aja? Enggak ngabarin sama sekali seolah ka—"
"Aku enggak ke mana-mana, Nek. Cuma kerja full time untuk persiapan skripsi nanti."
"Uang bapakmu masih cukup kalau cuma buat kuliah, Darka. Sekarang pulang, ya. Nenek buatin makanan kesukaan kamu."
"Enggak usah, Nek. Aku pulang sebentar aja. Assalamualaikum." kataku langsung mengakhiri panggilan dan tanpa bisa ditahan emosi paling dihindari oleh setiap anak laki-laki pun terjadi.
Aku menangis. Merasa bersalah, rindu, dan menyesal karena mengabaikan nenek. Bagaimana pun kita hanya berdua saja di sini, nenek sudah renta butuh perlindunganku. Namun, malah kutinggalkan akibat kesalahan yang sebenarnya bukan salah nenek.
Terus terang yang kulakukan ini adalah sikap cucu durhaka.
"Temui, bicara, dan pikirkan hal baik tentang mereka," kataku pada diri sendiri, mengulang ucapan Jin sebelum ia pergi meninggalkan kos. "Jadi dewasa dan bukan anak-anak lagi. Kabur bukan jalan terbaik, tapi menghadapi akan menyelesaikan masalah jadi ...." Tidak perlu lagi kulanjutkan kalimat tersebut karena sedetik kemudian, aku segera mengambil dompet kemudian mengirimi Jin pesan singkat sesuai perintahnya tadi.
"Jadilah bijaksana seperti yang diajarkan bapak." Kuulang kalimat tersebut melalui bisikan sembari melangkah meninggalkan kos-kosan Jin. Memang norak, sih, tapi inilah yang harus kulakukan saat para demon mulai menggoyahkan hatiku lagi.
Suara nenek yang bergetar sudah cukup membuatku yakin, bahwa wanita itu sangat mengkhawatirkan sekaligus merindukanku. Sama seperti yang kurasakan jika mengingat beliau, hingga tidak ada alasan lagi untuk tetap sembunyi.
Sayangnya, di waktu bersamaan aku juga belum yakin apakah mampu bersikap normal sambil menunggu atau justru langsung bertanya alih-alih membicarakan apa yang kudengar di rumah sakit, seperti arahan Jin. Masih tidak ada keputusan, apalagi titik terang hanya tersisa asumsi-asumsi dari setiap kemungkinan jika langkah ini sampai di depan rumah nenek.
***
Satu hal yang kulihat pertama kali saat sampai di depan pagar rumah, mawar putih—hasil tanamanku—untuk Annora telah menghasilkan beberapa daun dengan beberapa butiran air di sana. Seharusnya aku senang melihat pemandangan tersebut karena selama kepergianku, nenek senantiasa merawatnya. Namun, kebaikan itu tidak menghasilkan apa pun selain keraguan mengenai ....
... apakah bunga ini bisa disampaikan saat ia mekar nanti?
Padahal untuk saat ini saja, aku enggan berkunjung menemui Annora dan memilih menghindar karena tidak ingin melihat wajah Tante Jane.
Setelah kejadian tersebut, jika melihat nama Annora di ponsel kekhawatiran selalu menghantuiku. Bukan khawatir tentang kondisi kesehatannya, tapi lebih cenderung tentang aku yang belum tentu bisa menahan amarah.
Kalau sudah begini, sepertinya perasaan rindu yang dulu sempat kurasakan kepada sosok ibu hanyalah fana belaka.
Tidak ada rindu untuk sosok pengkhianat.
"Darka." Belum sempat membuka kunci pagar, nenek berlari kecil menghampiriku dari halaman samping. Nenek membuka pintu pagar dengan terburu-buru—nyaris menabrakan diri—kemudian memelukku.
Sangat erat.
Hingga kuyakin ini adalah pelukan terkuat akibat perasaan rindu dan lega.
Isak tangis terdengar, berserta doa keselamatan yang biasa beliau bacakan setiap aku pergi keluar rumah.
"Ayo makan. Nenek sudah selesai masak sayur lodeh sama ikan asin, kamu suka, 'kan?" kata nenek, setelah melepas pelukanku dan mengusap air matanya. "Terus sambil kamu makan, nenek mau bikinin—"
"Nek," selaku sambil meletakkan tangan kananku di pundak kirinya, "aku cuma mau mandi dan tidur."
"Oh, Nenek ambilkan handuknya."
Aku menahan lengan nenek kemudian memberikannya gelengan pelan. "Aku bisa ambil sendiri," kataku bernada dingin, meski bukan itu keinginanku.
Nenek hanya bisa terdiam, menatapku dengan tatapan sendu, membiarkanku masuk ke rumah tanpa harus melakukan apa-apa lagi, dan ....
... sayup-sayup isak tangisnya terdengar.
Seperti ditikam ribuan pisau, hatiku terasa nyeri dan gara-gara wanita yang telah mengkhianati bapak, entah sudah berapa kali kubuat nenek menangis.
Maafkan aku, tapi hanya ini yang bisa kulakukan. Diam, menunggu, dan berusaha mengalahkan demon-demon di kelapa dengan segala bisikan buruknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top