30. A Secret
Pukul 23.10 sejak beberapa menit lalu, aku setia berdiri di samping tempat tidur Annora. Cewek itu sudah kembali sadar, tapi masih membutuhkan alat bantu pernapasan dan telah dipindahkan di ruangan perawatan VIP di lantai empat, nomor 13. Masuk ke ruangan ini sama seperti melakukan nostalgia, hanya saja perbedaan suasana terasa begitu mencolok, selepas Amber mengulang ucapan Dokter Anggraini tentang kondisi paru-paru Annora yang tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik sehingga sebelum mendapatkan donor paru, Annora akan menjadi ketergantungan dengan alat pernapasan.
Amber masih berusaha mencairkan suasana dengan obrolan receh karena menyadari bahwa di antara kami berempat, tidak ada satu orang pun yang memperlihatkan ekspresi baik-baik saja. Kami semua dirundung kesedihan dan Amber tahu jika Annora mengetahui hal tersebut, maka dia akan merasa sedih. Kalau diingat-ingat lagi, Amber pernah bilang bahwa Annora telah berdamai dengan kematiannya. Namun, yang benar saja kita tidak bisa menerima pemikiran Annora sebab semua orang di ruangan ini mengharapkan kesehatan cewek itu.
"Besok aja, Amber. Demirel akan datang malam ini, dia sudah di bandara."
Suara Tante Jane akhirnya terdengar setelah terdiam sekian lama, saingan sama kebisuan nenek. Enggak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Namun, beberapa waktu lalu, seolah kaget adalah hobi, Tante Jane kembali terkejut setelah nenek memanggilnya dengan menggunakan nama lengkap lalu secara kompak saling terdiam, seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bahkan ketika dua wanita itu saling berpelukan sekadar menyapa, ada keanehan di antara keduanya yang mana jika bukan karena keadaan Annora sekarang, aku pasti akan bertanya sesuatu.
"Oh, kalau begitu akan kutemani Theía di sini." Amber duduk di sofa setelah menarikku agar duduk bersamanya. "Jangan kelamaan berdiri di sana, Darka. Apalagi sambil ngeliatin Annora, bisa bahaya kalau ada setan yang tiba-tiba ngerasukin kamu," kata Amber, sambil tertawa kering kemudian kembali memainkan ponsel.
Suasana kembali sunyi, hingga tiba-tiba nenek bangkit dari tempat duduknya lalu menatap Tante Jane. "Jane, bisa ngobrol sebentar? Sudah lama kita enggak ketemu. Aku tahu kamu begitu mengkhawatirkan Annora, tapi kupikir segelas teh bisa menenangkanmu sejenak. Tenang saja, ada Amber atau Darka yang menjaga Annora." Nenek terdiam sejenak, sambil menggenggam tangan Tante Jane, beliau mengisyaratkan agar wanita itu mau ikut dengannya. "Aku merindukanmu, teman lamaku," kata nenek kemudian memperlihatkan senyum yang menurutku tidak biasa.
Tante Jane menatap nenek untuk sesaat lalu dengan suara yang terdengar parau ia menjawab, "Aku juga merindukanmu ... Bu Nisa."
Sempat kulihat wajah Tante Jane semakin kalut, tetapi demi menghargai nenek yang ingin menghibur, ia pun tetap menyetujui ajakan nenek. Hal wajar menurutku sebab kupikir, alasan Tante Jane menampilkan ekspresi demikian karena terlalu khawatir dengan keadaan Annora, sekaligus tidak menyangka bahwa nenek, teman lamanya ternyata adalah kerabatku. Jadi ajakan nenek untuk mengajak Tante Jane mengobrol sebentar merupakan upaya nenek menghibur Tante Jane.
Mereka butuh ruang dan kami—aku dan Amber memahami itu.
"Iya. Biar kita yang jagain Annora. Percaya, deh enggak bakal tidur sampai kalian atau o theíos datang," kata Amber penuh semangat, sambil meletakkan ponselnya di atas meja.
Aku hanya mengangguk. Tidak bersemangat karena masih diluput kekalutan. Bukan, lebih tepatnya memikirkan tentang apakah masih bisa mewujudkan janji untuk menciptakan kenangan indah bersama Annora di saat kondisinya seperti demikian? Apakah waktunya cukup, sedangkan paru-paru Annora benar-benar harus mendapatkan transplantasi? Setiap kali memikirkan hal tersebut kepalaku sungguhan semakin sakit dan perasaan mual seketika mendominasi.
Setelah kepergian nenek dan Tante Jane, kukira Amber akan kembali sibuk dengan ponselnya karena Annora pun sedang tertidur, tapi dia malah membuka gorden di jendela kaca berukuran besar lalu berdiri menatap pemandangan bangunan kota di depan rumah sakit.
"Bukan cuma kamu yang lagi kalut, Darka," kata Amber tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya. "Kalau kamu bertanya tentang siapa yang paling kalut dengan keadaan ini, kita semua enggak ada bandingannya dengan Annora." Memutar tubuh, Amber bersandar pada dinding lalu menatapku sendu. "Asal kamu tahu, Annora sudah berdamai dengan kematian dan jika dipikir lagi terkadang berdamai hampir setara dengan pasrah atau putus asa karena Annora tahu bahwa—"
"Amber, bisa enggak, kita menghindari topik ini?"
"Enggak ada kata menghindar, Darka. kata-kata itu hanya untuk pengecut dan aku muak setiap ngeliat muka kamu yang kayak gitu di depan Annora tadi. Sadar enggak? Kamu malah ngebuat keadaan jadi semakin berat buat Annora. Jangan kemakan omongan dokter, karena kita enggak tau kapan dan siapa yang menerima kematian lebih dulu jadi, daripada meratapi kesedihan, lebih baik kita fokus bikin Annora bahagia dan kebahagiaan tersebut ada pada diri kita masing-masing, yaitu tetap tersenyum seolah ikhlas dengan keadaan sekarang."
"Kalau keadaan yang kamu maksud adalah pasrah karena putus asa lalu pura-pura bahagia, maka aku enggak bisa mengikutimu. Apa yang dikatakan Dokter Anggraini selalu beeputar-putar di kepalaku. Annora akan baik-baik saja kalau dia sudah mendapatkan donor paru, tapi jika tidak ...." Keraguan lagi-lagi menyergap ketika Amber menggiringku ke topik kematian. Rasanya memang terdengar seperti seoarang pengecut, bahkan untuk mengatakan hal yang mungkin bisa terjadi pada Annora pun aku tak sanggup.
Aku belum bisa berdamai dengan kenyataan dan kali ini kuarahkan pandanganku ke arah Amber, menatapnya secara tajam tanpa peduli bahwa kami sedang berhadapan langung. Diam-diam mataku memanas, perutku mual luar biasa, dan sakit kepala semakin menjadi-jadi. Tidak salah lagi, malam ini adalah puncak stress-ku.
Amber tersenyum miris. Ia mengusap bawah matanya, pertanda bahwa mungkin saja tadi sempat menangis. "Maka dia akan mati. Cara bicaramu sudah sama seperti dokter-dokter itu. Kayak Tuhan aja, bisa menentukan kapan kematian seseorang datang."
"Mereka bilang, dokter adalah tangan Tuhan. Kupikir sejak awal kita memang berbeda dalam menghadapi hal ini, karena apa yang kurasakan dan yang kamu rasakan untuk Annora jelas berbeda." Aku meneguk saliva, isi perutku semakin bergejolak minta dikeluarkan. "Butuh udara segar, permisi."
Melangkah lebar, aku segera pergi meninggalkan ruangan lalu masuk ke toilet umum sekadar mengeluarkan isi perut yang terus-menerus bergejolak, melupakan fakta bahwa di ruang perawatan Annora juga memiliki toilet. Namun, sebenarnya aku juga menghindari pembicaraan Amber karena hal itu semakin membuat tingkatan stress-ku semakin bertambah.
Sayangnya, pilihan untuk menghindari Amber ternyata tidak sepenuhnya benar karena tanpa di sengaja setelah keluar dari toilet umum, aku mendengar perbincangan rahasia dari dua wanita yang kukenal. Nenek dan Tante Jane, mereka berbicara dengan nada serius di bangku pengunjung, membicarakan tentangku dan juga bapak.
Dari tepi dinding di jalur dua lorong, kuberanikan diri untuk mencuri dengar. Tante Jane berbicara dengan nada terisak, sedangkan nenek terdengar sedang berusaha menahan emosi. Aku semakin penasaran dan permasalahan di kamar Annora pun sedikit tersisihkan begitu saja.
"Marah padamu pun tetap saja percuma karena semua telah terjadi. Kami telah memaafkan sebelum kamu mengatakannya, tapi Darka ...."
Tidak bisa kulanjutkan untuk mendengar ucapan nenek karena seketika telingaku terasa tuli. Ya, Tuhan, tidak puaskah dengan permasalahan Annora saja? Kenapa Kau membuatku mengetahui rahasia besar yang menyakitkan melebihi tikaman sejuta pisau. I'm sorry, but you kidding me.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top