3. A Friend
Aku sama sekali enggak percaya. Entah ada angin apa hari ini, Boss Benji memilih diam seolah semua yang terjadi selama satu jam lalu hanya sekadar uap. Dia bahkan langsung menyuruhku untuk istirahat sebentar karena jam makan siang sudah berakhir. Beneran deh, seribu kali aneh kalau lihat Boss Benji berubah baik begitu. Dijamin semua itu ada sangkut pautnya dengan cewek ngeselin a.k.a Annora Almeta.
Annora Almeta, dia pasti sudah ngomong macam-macam selama aku masih diperjalanan karena enggak mungkin banget, Boss Benji tiba-tiba jadi malaikat di depan karyawannya. Kalau pun iya, beliau lebih cocok dengan malaikat pemotong gaji.
"Kamu kok lama?" tuntut Putri yang mengekoriku masuk ke bagian dapur darurat lalu mengaduh. Kakinya menendang bufet dan itu bukanlah hal baru.
Ruangan ini memang cenderung kecil untuk dijadikan tempat istirahat dan dapur darurat. Ukurannya cuma dua setengah kali dua meter lalu disesaki oleh dispenser, empat piring, gelas dan sendok plastik, bufet bekas beralih fungsi jadi penyimpanan tas, jaket, helm, serta satu sofa hijau lumut berukuran sedang yang sering kali digunakan sebagai kasur dadakan sama Boss Benji, Putri, dan Kirana.
"Pantasan aja jomblo, keseringan buat cewek nunggu, sih! Oh, ya, aku enggak pernah tau kamu punya teman bule. Jangan-jangan gebetan, ya?! Cantik, loh, Kak. Tadi kita kenalan, namanya Annora." Putri bersandar di samping bufet. Terlihat kesempitan karena ruangan ini sudah terlalu penuh untuk diisi tiga manusia; dua orang berbadan gemuk (Boss Benji dan Putri) dan satu orang bertubuh tinggi besar—aku.
"FYI aja, ya, Put. Dia bukan temanku, tapi tersangka utama buat kejadian hari ini." Aku melirik ke arah Boss Benji yang pasti sedang pura-pura enggak dengar obrolan kami dengan membaca koran. Padahal tahu saja kalau dia lagi nguping. Kepo itu manusiawi, kok. "Boss, Dia itu yang buat saya tiba-tiba ngilang, dia nyuri bunga kita sepuluh tangkai, tapi maaf-maaf Boss, bunganya—"
"Kalau mau makan ya makan aja, sambil temenin teman kamu. Saya enggak mau karyawan di sini mati karena gila kerja atau kamu mau denger omelan saya?" Boss Benji menurunkan korannya lalu menatapku sengit. "Kamu masih saya hutangin karena adek bule itu—"
"Annora, Pa." Putri menyela, keliatan enggak nyaman dengan sebutan 'adek bule' dari Boss Benji. Wajar, sih, dengar panggilan begitu dari mulut Boss Benji jadi bikin kita ngerasa lagi ngobrol sama pedofil.
"Ya, Annora ... dia sudah minta maaf dan bakal ganti rugi, katanya bakal bawa banyak pembeli. Jadi lumayanlah toko enggak rugi-rugi amat, lagian mana ada pelanggan cowok yang bisa nolak tawaran cewek cantik. Makanya saya baik-baikin kamu, padahal sebenarnya mulut saya sudah gatal buat—"
Oke cukup sampai di sini, kalau dilanjutin pasti itu kabar buruk jadi aku buru-buru menyela Boss Benji walau pun enggak sopan. "Makasih, Boss! Saya makan dulu di depan, sambil nunggu pelanggan. Put, ayo cabut aku mau ngobrol." Aku menarik lengan Putri, tapi cewek itu malah ngelak.
"Sejak kapan kita akrab? Kamu pasti salah tingkah ya, kalau berduaan sama Annora?" Senyum jenaka Putri dilemparkan ke arahku. Kutu kutilan, sekarang bukan waktunya ngelawak. Pencuri itu sedang sendirian di luar, loh dan kenapa enggak ada tindakan sama sekali? Bahkan Boss Benji nerima gitu aja. Cantik bukan berarti bebas. "Sudah sana keluar temenin Annora. Aku mau jalan-jalan, sambil main di taman Rumah Sakit Tanosudibyo. Pa, aku pergi lagi, ya."
"Ya, usahakan tebar pesona itu yang elegan, biar bisa bawa salah satu dokter. Minimal dokter magang."
Dan akhirnya aku cuma bisa mutar mata, kayak capung yang punya kehebatan melihat dengan sudut 360 derajat setelah mendengar obrolan bapak dan anak ini. Wajar saja Boss Benji berakhir jadi pengusaha karena jiwa pembangunan ekonomi begitu kentara dalam diri beliau. Anaknya bahkan diingatkan buat tebar pesona sama dokter, bukan dibilangin hati-hati karena jarak antara toko dan Rumah Sakit Tanosudibyo itu lumayan jauh. Kurang lebih seratus meter.
Jauh buat yang enggak suka jalan, tapi dekat buat mereka yang doyan. Aku termasuk di kelompok pertama. Meski setiap ngampus atau ke toko bunga pun harus jalan kaki karena nenek cuma pensiunan guru SD, tapi masih dipercaya buat mengajar dan bapak sudah meninggal waktu usiaku sebelas tahun jadi harta bapak difokuskan nenek untuk biaya pendidikan. Pilihan bijak.
Di balik etalase, sambil menyuap nasi bungkus yang memang disiapkan Boss Benji setiap makan siang, aku mencoba mengintip di antara celah beberapa kursi, ke arah bangku panjang tempat pembeli biasa menunggu. Annora duduk sendirian di sana, menatap ke arah luar sembari memegang setangkai bunga matahari. Lagi-lagi dia membuatku curiga, apa cewek itu mau nyolong lagi? Kenapa masih ngeliatin ember-ember bunga yang lainnya? 'Kan sudah dibelikan satu tangkai. Meski dengan terpaksa dan beberapa perdebatan enggak penting dengan Putri, makanya si bulat keriting itu mikir kita lagi PDKT.
Sesekali Annora mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca berukuran besar lalu menutupi wajah dengan bunga matahari yang kubelikan tadi, bersamaan saat seseorang melintasi toko kami. Mungkin dia sedang menghindari sesuatu atau jangan-jangan masalahnya bukan cuma di sini, melainkan ada di tempat lain juga. Anak ini benar-benar, deh! Karena kepo, aku jadi segera menyuap makanan terakhirku, bergerak cepat lewat pintu belakang dan mengintip dari sudut jendela besar.
Tunggu-tunggu, kenapa malah aku yang repot begini? 'kan bisa langsung tanya. Interogasi seperti rencana di awal, terutama tentang pertanyaan yang tadi sudah kusiapkan, tapi sekarang malah lupa. Kacang panuan, harusnya aku langsung nge-gas ke dia waktu baru datang tadi. Kalau perlu sekalian saja suruh pergi, daripada Boss Benji menahan marah terus malah terasa aneh.
Sehari tanpa omelan Boss Benji di toko itu rasanya seperti minum teh dicampur cola sama kopi. Aneh plus engga enak banget. Aku sudah pernah coba, Tahun lalu tanggal 27 Maret—ulang tahunku. Kirana yang kasih, katanya itu teh melati dan karena cuaca dingin langsung kuminum, hasilnya beneran enggak keruan.
Bunyi lonceng terdengar, pertanda pintu sedang dibuka. Menoleh sekadar memastikan siapa yang datang, tiba-tiba aku jadi mengutuk. Rasanya bakalan lebih baik kalau langsung buang muka, deh, daripada noleh karena bakal ada yang kegeeran atau andai bisa aku malah milih kabur. Bodo amat bakal dibilang cemen.
"Mau kabur, ya?!" tuduh Annora. "Kamu belum obatin lukaku, padahal sudah kutunggu lama-lama! Aku juga mau kamu bukain cola-nya."
"Apaan, sih?" Ini cewek, manja tingkat akut kalik, ya? Aku segera menjauh, sambil membebaskan tangan Annora dari lenganku lalu membuat jarak. Aneh rasanya, ngebiarin cewek pegang-pegang tangan cowok kalau mereka enggak pacaran atau saling kenal. Tapi bakalan jadi beda jika yang dihadapi adalah playboy. "Gini deh, Nora—"
"Ann."
"Oke, terserah. Kamu punya dua tangan, lukamu cuma lecet biasa, enggak ada yang patah, 'kan? Enggak ada yang serius. Aku sudah beliin obat, cola, dan nganter sepeda kamu plus bayarin gojek sama beliin bunga. Kenapa enggak langsung pergi aja? Luka lecet bisa dirawat sendiri, kok. Selain itu boss-ku juga sudah santai-santai aja." Kulipatkan kedua tangan di atas dada, sambil memberi tatapan dingin. Pengennya supaya keliatan galak, tapi Annora malah tidak bereaksi apa-apa selain balik menatap.
Kalau diliatin begini, lama-lama aku bisa keringatan.
"Apa liat-liat? Mau nangis? Atau mau drama lagi?!"
Ekspresi Annora masih sama yang berubah cuma jarak pandangnya—semakin dekat—dia bahkan rela berjinjit supaya tinggi badan kami jadi setara, meski kenyataan bilang bahwa Annora tetap saja pendek.
"Aku baru tahu kalau warna mata kita sama, cuma bedanya punyamu hijau pekat dan aku sedikit lebih cerah. Kamu kaukasian juga?" tanyanya polos, membuatku jadi lumayan kesal.
Aku mendengkus mendengar pertanyaannya barusan. Sumpah enggak penting banget. "Selesaiin urusan masing-masing, deh dan jangan mimpi aku bakal nurutin permintaanmu lagi." Lama-lama ngomong sama Annora, sama saja dengan menambah kerutan di wajah. Bukan maksud mengikuti gaya hidup ala cowok metroseksual yang sibuk perawatan, hanya saja nenek selalu bilang mukaku boros jadi keliatan lebih tua dari umur sebenarnya.
Belum sempat melangkah jauh, aku baru ingat kalau ponsel Annora masih di saku celana. Kentang gepeng! Bikin malu aja. Kalau balik lagi cewek itu pasti kegeeran dan mikir kalau aku nyesel karena sudah marah-marah, tapi sorry to say I'm not angry anymore.
"Aku yakin kamu bakal balik lagi. Tau enggak, kalau aku sudah percaya, kamu itu bukan orang jahat? Bahkan baik banget. Oh ya, gimana kalau—"
"Aku cuma mau balikin ini," selaku cepat-cepat. Malas banget dengar ocehan Annora, apalagi waktu tahu tebakanku benar. Bisa besar kepala dia kalau aku lama-lama di sini. Jadi setelah kutarik tangan kanannya, buru-buru kuletakkan benda pipih persegi tersebut dan bergegas pergi. Kali ini yakin, enggak bakal balik lagi.
Tapi memang kentang gepeng, Annora malah ngejar dan berdiri di depanku. Napasnya tersengal-sengal, pertanda butuh ekstra kerja keras buat lari sekaligus tanda kalau dia enggak pernah olahraga, sedangkan posenya sudah kayak simbol pejalan kaki di lampu merah. "Buat kamu aja," kata Annora.
Aku kaget. Demi cabai keriput! Emang ada orang kasih ponsel Iphone kayak kasih permen lima ratus tiga? Enggak ada, kecuali bule aneh bin ngeselin di depanku ini.
Annora narik tanganku lalu meletakkan ponselnya di sana. "Password-nya cintaannora enggak pake spasi."
"Gila, ya?!" pekikku, sambil buru-buru balikin barang itu. Parno aja kalau ternyata barang curian dan ini jebakan supaya yang ditangkap bukan dia, tapi aku. Seketika malah jadi ingat judul lagu Judika.
Annora makin nyolot. Sambil melakukan gerakan serah terima berulang kali, kita sudah kayak lagi lempar-lemparan bom paling mematikan sedunia dan akhirnya ponsel itu terlepas dari tangan Annora. Alhasil aku harus bergerak lebay, menjatuhkan diri ke jalanan semen samping toko, demi menyelamatkan benda tersebut, seketika gayanya sudah seperti gerakan slow motion di film-film action kalau lagi baku tembak.
"Yay! Karena kamu yang nangkep dan nyelamatin Hp-ku, jadi mulai hari ini kita temanan. Sampai ketemu lagi! Jangan lupa password-nya cintaannora enggak pake spasi. Oh ya, sebentar lagi siap-siap sibuk karena bakalan banyak pembeli yang bakal datang. Bye!"
Dan terakhir, aku enggak bisa ngomong apa-apa selain mangap-mangap gaje kayak ikan mas diangkat dari empang, sambil ngeliatin Annora yang berlari semakin jauh. Heran aja, itu cewek kapasitas batrainya lebih gede, kah? Demen amat lari-lari ... astaga jangan bilang dia juga ninggalin sepedanya di samping toko!
Aku buru-buru bangkit dan lari ke sisi toko lainnya dan baiklah sepeda Annora masih terpakir manis di sana dengan sepucuk surat di keranjang bertuliskan 'To my friend Darka Sagraha'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top