28. Green Eyes
Anehnya, sampai sekarang Tante Jane masih saja suka terkejut kalau bertemu denganku dan lebih aneh lagi waktu kami makan malam bareng, wanita itu menaruh perhatian kepadaku melebihi seorang teman dari anak gadisnya. Mengingat kejadian tersebut, berkali-kali kutegaskan pada diri sendiri, bahwa enggak mungkin aku mirip dengan salah satu mantan Tante Jane, hingga membuatnya menjadi bernostalgia dan memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan Annora atau suaminya. Paham, ‘kan maksudku? Kami tidak ada hubungan darah dan ini super-duper aneh.
Selama kami menghabiskan makan malam bersama, minus Om Demirel—papanya Annora—enggak tahu kenapa perlakuan Tante Jane malah mengingatkanku dengan nenek yang pasti sekarang makan malam sendirian. Seketika rasanya jadi agak menyesal karena menyetujui ajakan Annora dan Tante Jane, padahal tadi bisa saja menolak dengan mengatakan bahwa nenek sudah menunggu di rumah dan kalau perlu ditambah bumbu penyedap pakai bilang nenek lagi masak makanan spesial karena ada syukuran tertentu. Rada bohong, sih kalau ngomong begitu karena nyatanya nenek malah setuju seribu persen saat kutelepon untuk minta izin.
“Darka, enggak usah cuci piring biar Tante aja yang cuci.”
Suara Tante Jane berhasil membuat punggungku menegang sesaat akibat kaget, bahkan satu piring penuh sabun di tangan kiri pun hampir saja terjatuh. Untung sempat dipegang kuat pakai tangan kanan kalau enggak, mungkin bakal jatuh ke lantai lalu pecah dan jika di TV hal itu menandakan bahwa hal buruk sedang atau akan terjadi.
Aku mengembuskan napas lega kemudian menoleh ke arah Tante Jane yang berdiri di sisiku. Wanita itu meletakkan tiga tumpuk gelas kotor dan satu mangkuk besar bekas gulai kambing.
“Enggak pa-pa, Tante Jane. Sudah kebiasaan dari rumah kalau habis makan berdua sama nenek, saya kebagian tugas cuci piring karena yang masak di rumah cuma nenek. Kalau pun bantuin masak itu jarang banget,” jawabku panjang kali lebar lalu kembali melanjutkan pekerjaan mencuci piring.
Dari sudut mata kulihat Tante Jane tersenyum kemudian mengusap kepalaku. “Memangnya di rumah ada siapa aja?” tanya Tante Jane, tanpa nada penuh selidik dan melangkah menuju kursi depan meja dapur.
Nah, mulai, deh sesi wawancara karena Annora dari habis makan langsung pamit mau ke kamar sebentar. Katanya mau siap-siap. Enggak tahu mau siapin apaan? Kita berdua yang tadi masih sibuk makan pun cuma meng-iya-kan dan Tante Jane juga hanya mengingatkan supaya Annora jangan sampai lupa minum obat. Waktu baru-baru cuci piring juga, kulihat Annora mengirim pesan supaya nanti pergi ke halaman sebelah yang ada kolam renangnya.
“Cuma tinggal berdua sama nenek, Tan.”
“Loh, orang tua kamu, emang di mana?”
Diam-diam aku tersenyum tipis. Merasa bangga karena bisa menebak dengan benar. Pasti pertanyaan itu bakalan terlontar kalau sudah ditanya tinggal sama siapa di rumah, sampai-sampai kadang ngerasa bosan karena harus mengulang jawaban serupa. “Bapak sudah meninggal waktu umur saya sebelas tahun dan ibu ... semoga beliau sehat-sehat saja.”
Tante Jane tidak menjawab lagi. Kutebak pasti ada perasaan prihatin seperti makhluk sosial lainnya jadi buru-buru kukatakan supaya suasana canggung segera pergi. “Enggak pa-pa Tante. Lagipula saya punya ingatan yang kuat untuk mengingat kenangan Bapak.”
“Bukan, bukan begitu. Tante diam karena enggak semua orang suka dikasih ucapan prihatin. Apalagi kalau mereka laki-laki. Maaf, ya gara-gara ini suasanya malah jadi canggung.” Terdengar Tante Jane menggeser kursinya cepat-cepat lalu berdiri di sampingku, sekadar membantu untuk mengeringkan cucian piringku, dan meletakkan benda-benda tersebut ke dalam rak. “Kita ganti topik aja. Ngomong-ngomong karena warna mata kita hampir sama, kira-kira ada enggak orang iseng yang bilang ke kamu kalau mata hijau itu bisa bikin mereka tenang setiap melihatnya?”
Ada rasa menggelitik saat mendengar ucapan Tante Jane yang menurutku adalah pertanyaan paling berbeda dari semua pertanyaan ketika orang-orang ingin berkomentar mengenai mataku. Biasanya mereka bakal nanya ‘Kamu blasteran, ya? Keturunan apa? Yang bule ibu atau bapak? Sudah pernah ke luar negeri belum?’ dan yang terakhir adalah pertanyaan paling enggak nyambung seluruh dunia. Emang apa hubungannya antara blasteran sama pergi ke luar negeri? Aneh-aneh saja.
Aku tertawa kecil, sambil membilas piring terakhir. “Pertanyaan Tante itu yang paling beda, loh,” kataku antusias yang dibalas Tante Jane dengan menaikkan alis dalam hitungan detik, pertanda kalau dia setuju dengan ucapanku barusan.
“Oh, ya, lalu?”
“Sebenarnya yang bilang begitu bukan dari orang iseng, sih. Lebih tepatnya bapak—semasa hidupnya. Kata bapak, bola mata hijau enggak cuma menenangkan, tapi juga memikat sebab hijau adalah warna surga, dan satu-satunya warisan dari ibu buat saya sekaligus kenang-kenangan terakhir untuk bapak. Eh, sorry, Tante. Malahan jadi curhat.” Aku tertawa sebentar, merutuki kekonyolan tadi, meski kedengaran garing. Entah kemasukan apa barusan karena bisa-bisanya curhat colongan di depan Tante Jane. Padahal Tante Jane enggak tahu apa-apa dan bukan pula guru konseling. Akan tetapi, entah bagaimana tiba-tiba saja suara jangkrik jadi menguasai dapur bernuansa kayu tersebut.
Lagi-lagi Tante Jane terdiam, membuatku kelimpungan karena hanya menyisakan bunyi air keran yang masih mengalir, bekas cucian piring. Waktu kulirik sejenak tangan Tante Jane juga sempat berhenti mengelap gelas lalu ia mengerjap seolah seuatu telah memasuki matanya. Wanita itu menggeleng pelan. “Enggak pa-pa, Tante senang dengar curhatan kamu.” Suara Tante Jane terdengar kering, kayak suara nenek kalau lagi nahan tangis pas lagi nonton drama. “Laki-laki yang pernah Tante kenal juga ngomong begitu. Dia suka banget sama warna mata Tante, sampai selalu ngucapin hal yang sama kayak bapak kamu bilang.”
Oh, baiklah, barusan Tante Jane bilang ‘Lelaki yang pernah dia kenal’ berarti mantan atau sekadar teman dekat, tapi kalau dipikir lagi pastilah mantan. Jadi posisiku sekarang adalah mendengarkan curhat colongan dari wanita berusia sekitar empat puluhan lebih. Fine, dengarkan dan tanggapi seperlunya karena ini urusan orang dewasa bukan anak kecil yang masih berseragam SMA.
Berarti praduga yang selama ini kamu sangkal benar, dong. Kamu mirip dengan salah satu mantan Tante Jane, Darka!
Seketika tenggorokanku mengering dan meneguk saliva pun jadi sulit banget, kayak lagi berusaha nelan batu yang direbus bertahun-tahun. Ayam buntal! Kenapa logika berpikir di dalam otak ini terlalu lamban buat narik kesimpulan? Dan sekarang malah ketularan Tante Jane buat diam sejenak untuk berpikir jawaban apa yang harus kukatakan supaya obrolan ini enggak canggung.
Annora si penyelamat pun sampai sekarang enggak terlihat batang hidungnya. Jangan sampai anak itu sengaja enggak muncul-muncul, karena dia kira Tante Jane bakal buka sesi wawancara dadakan untuk menilai seberapa pantas anak cowok yang ditaksir putrinya.
“Bingung, ya mau jawab apa?” Tante Jane seketika menyenggol lenganku lalu tertawa pelan. “Darka Sagraha, eh, maksud Tante, Darka.” Tiba-tiba suara Tante Jane semakin mengering. Aku yang mendegar jadi kebingungan, dengan perubahan situasi ini.
“Pake nama lengkap juga enggak pa-pa, Tante. Biar makin gre—“
“Tante boleh peluk kamu?” tanya Tante Jane cepat, memotong ucapanku yang tanpa sadar membuat pupil mata kami sama-sama melebar. Wanita itu menggeleng cepat. Terlihat panik, tapi ingin segera menyelesaikan ucapannya. “Tante tau, ini memang kedengeran aneh karena kita baru ketemu tiga kali. Namun, setelah dengar cerita tentang keluarga kamu di meja makan sampai sekarang, tante jadi ... maaf.” Tante Jane tidak bisa lagi menahan tetesan air matanya lalu memelukku begitu saja, hingga aku sendiri terkejut dan enggak tahu harus ngomong apa.
“Tante Jane,” panggilku pelan tanpa membalas pelukan wanita itu. “Saya enggak tahu apa yang terjadi, tapi—“
“Just a few second. Biarkan seperti ini. Saya sedang benar-benar merindukan seseorang sekaligus menyesali semua itu,” kata Tante Jane di tengah isak tangisnya dan tanpa dia sadari telah membuatku kalang kabut.
Seriusan ini enggak lucu, tapi menegangkan karena posisiku enggak enak sama sekali. Namun, di sisi lain jiwa penasaranku juga menuntut penjelas dan tanpa sadar sepertinya ada perasaan lain yang dulu tersembunyi kini perlahan-lahan berusaha menyeruak untuk menjadi rasa dominan untuk saat ini.
Hatiku terasa sakit, tapi kali ini rasanya berbeda.
Sakit sekaligus menghangatkan.
Menghangatkan, tapi juga membuat seluruh tubuh membeku.
Sampai sekarang, aku tidak pernah merasakan pelukan dari seorang wanita yang dipanggil mama, ibu, mom, mother, mum, ummi atau apa pun itu dan ketika tangisan Tante Jane semakin terdengar jelas di telingaku, tanpa aku sadari air mata tersebut menular. Untuk pertama kali, aku menangis karena teringat ibu.
Aku merindukanmu, Ibu dan kuharap suatu saat Ibu menemuiku, meski hanya sedetik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top