27. Flower Crown

Pukul 15.05 WIB

Sebenarnya waktu yang diberikan adalah lima hari, tetapi aku malah menyelesaikannya dua hari tiga malam, secara maraton, tanpa jam tidur dan mungkin tertidur sesekali hingga akhirnya yang kutemukan adalah lingkaran hitam di sekitar mata seperti pada musim ujian. Sayangnya sekarang bukan ujian, aku bergadang karena membaca Journal of Memory.

Setelah membaca sepuluh halaman awal dari Journal of Memory, setelah mendapat ciuman kejutan dari Annora, dan ketika Annora tertidur di punggungku saat pesta di rooftop beberapa malam lalu, aku jadi membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Sejak hari itu, Annora terus berlarian di dalam pikiranku dan memecahkan tebak-tebakan di Journal of Memory adalah pilihan terbaik, daripada nemenin nenek nonton drama.

Kenyataannya, yang kuhindari dari nonton drama bareng nenek adalah keunggulan refleksi otak kalau nanti tokoh-tokoh utama di TV secara otomatis berubah jadi Annora dan Darka. Malu-maluin banget, sumpah! Selain itu aku juga ingin mengetahui kehidupan Annora lebih jauh, tapi dengan cara elegan, tanpa diketahui oleh siapa pun bahwa di part-part tertentu aku harus menguras air mata.

Bodo amat bakalan dikata cengeng karena nangis bombay setiap baca Journal of Memory tentang hal-hal sedih. Menangis hingga air mata berderai bagai air terjun itu wajar buat cowok, asalkan emang lagi sendirian dan di dalam kamar. Memangnya cuma nenek yang bisa nangis di setiap scene sedih di drama? Aku juga bisa, meski dengan kasus berbeda.

Nenek menangis karena cerita fiksi, sedangkan aku menangis karena cerita nyata dan itu semakin menyedihkan saat kutahu Annora sudah terdaftar sebagai pasien yang membutuhkan transplantasi organ sejak umur sembilan tahun. Pertanda bahwa dokter telah memprediksi bagaimana nasib kehidupan Annora akibat cystic fibrosis.

"Darka, HP kamu dari tadi bunyi terus, tuh? Gangguin nenek lagi nonton aja, loh!"

Fokusku buyar begitu saja, ketika nenek melempar bantal sofa ke arahku hingga Journal of Memory yang kupegang hampir saja terjatuh. Beruntung nenek enggak kepo dengan apa yang kubaca karena drama di TV ternyata jauh lebih menarik perhatian beliau, daripada buku bergambar yang dari tadi nempel terus di tanganku. Segera mengambil ponsel di atas meja, kuabaikan wajah cemberut nenek. Yakin, deh nenek pasti kesal karena acara nonton dramanya terganggu akibat spam chat Annora dan satu panggilan tak terjawab dari nomor asing.

Jaman sekarang kalau ada nomor asing yang nelepon pastilah antara sales, kurir atau ojek online, tapi minggu-minggu ini aku enggak punya urusan sama mereka jadi mungkin salah sambung. Lebih baik diabaikan, daripada diladenin nanti malah berakhir aneh-aneh. Apalagi tadi pagi sempat lihat berita tentang pembunuhan karena korban ketemuan sama teman online-nya, waktu tahu bahwa kita seumuran aku langsung bergidik ngeri terus buru-buru berdoa 'Jangan sampai aku berakhir kayak gitu'.

Menuju spam chat Annora di aplikasi Line, aku hanya bisa mengembuskan napas lalu mengernyit. Heran saja, sih ini anak apa enggak ada kerjaan lain, ya? Semua balon chat hanya berisi satu kata yang baru bisa jadi kalimat jika digabung. Kalau sudah kayak gini, masa-masa Annora rajin kasih surat di loker selama satu minggu jadi teringat lagi. Beneran, deh sejuta persen ngeganggu banget, sampai akhirnya aku harus ngomong langsung supaya Annora berhenti. Untungnya Annora nurut dan setelah tamat baca Journal of Memory, ternyata semua itu sudah direncanakan Annora jauh-jauh hari sebagai rencana pendekatan jangka pendek.

Rencana jangka pendek di Journal of Memory; termasuk pertemuan kedua kami di kampus, berenang bareng ikan yang aku sendiri enggak nyangka Tuhan memudahkan rencana tersebut, padahal Annora melanggar peraturan kampus, serta mampir ke rumah untuk kenalan dengan nenek dan lain-lain yang telah dilakukan Annora jika itu sudah berhubungan denganku. Setelah dibaca berulang kali, ternyata Annora terlebih dahulu telah membuat kenangan bersamaku.

Nyatanya setelah melihat hasil gambaran Annora di Journal of Memory, aku jadi merasa malu untuk mengakui bahwa ternyata Annora menggambar wajahku jauh lebih ganteng dari kenyataan.

"Rooftop ada di halaman enam puluh, berarti setelah itu ... ah, kecebong hanyut! Kenapa enggak peka-peka, sih?!" Buru-buru kunaiki anak tangga demi segera masuk ke kamar, sekadar mengambil jaket lalu kembali ke lantai satu untuk mengambil sepatu.

Barusan Annora mengingatkanku dengan rencana tersirat yang harus kulakukan hari ini. Semua itu tertulis di Journal of Memory dan aku hampir mengabaikannya karena terlalu hanyut menyelami kesedihan.

Please Darka, sekarang jangan jadi cowok melankolis dulu!

"Nek, aku pergi sebentar mau ketemu Annora," pamitku sambil mencium punggung tangan nenek dan bersiap pergi, tapi nenek langsung menahannya.

"Eh, sekarang? Tunggu sebentar. Duh, kamu dadakan banget." Nenek menarik tanganku kuat-kuat, memaksa agar duduk di sampingnya lalu beliau bangkit dari sofa dan pergi menuju kamar.

Enggak ngerti, deh nenek mau ngapain di kamar, mungkin mau kasih uang jajan. No problem, sih lagian belum tanggal gajian juga. Lumayan buat beli-beli. Sambil menunggu nenek balik dari kamarnya kubuka ponselku lalu mengirim pesan untuk Annora.

Lagi-lagi dia kasih spam chat. Untung sudah kuubah jadi mode senyap.

"Darka, pake kemeja ini gih. Kamu ketemu Annora, sudah muka kayak zombie masa enggak dandan sedikit pun? Jangan mentang-mentang Annora suka banget sama kamu lalu kamu cuek sama penampilan."

"Astaga, Nek. Lebaran masih lama, loh."

Nenek memukul pelan bahuku, sambil menampilkan ekspresi gemas. "Memangnya kasih baju baru cuma boleh pas lebaran aja? Kamu mau ketemu sama keluarganya juga, 'kan?"

"Loh, kok, nenek tau?" Aku mulai bingung. Masalahnya di rumah ini yang baca Journal of Memory 'kan cuma aku. Jadi enggak mungkin nenek bisa tahu.

Nenek cuma senyum sambil menepuk kedua pundakku. "Sudah, hati-hati di jalan. Pake motor nenek, tuh dan bilang makasih ke Annora. Selera pakaian dia bagus banget."

Oh, jadi Annora yang kasih, tapi kapan, ya? Aku mengernyit sesaat dan nenek enggak sadar kalau aku menunjukkan ekspresi bertanya lewat raut muka. Wajar, sih karena kami bukan pakar mikro ekspresi.

Setelah membacakan doa keselamatan, memberikan ciuaman di keningku, dan menyerahkan kunci motornya, nenek langsung mendorongku pelan sampai ke depan rumah. Enggak tahu lagi harus ngomong apaan? Annora ternyata jauh lebih siap untuk ngebuat kenangan bersama, daripada aku.

***

Pukul 16.02 WIB

Setelah memarkirkan motor di pinggir jalan dan melihat bangunan kokoh di depan sana, mataku seketika melebar. Gimana enggak kaget, coba! Rumah Annora ternyata jauh berbeda dari yang kubayangkan. Bukan sederhana kayak punya nenek atau maksimal rumah luas kayak punya Fariz, tapi ini sudah kayak rumah di TV. Gede banget gila!

Celingak-celinguk di celah pagar yang mungkin tingginya sudah kayak pohon kalapa, aku berusaha mencari bel di sana. Enggak mungkin, 'kan teriak-teriak kayak anak SD manggil temannya buat main bareng?

"Dor! Hayo mau ngapain?!"

Sapi jarang mandi! Hampir saja kepalaku kejedot pagar saat seseorang mendorong punggungku dan memamerkan suara cempreng yang luar biasa sudah kukenal sampai ke hati. Aku menoleh, seperti orang yang terciduk melakukan sesuatu lalu menegang setelahnya. Annora memelukku, sudah kayak teletubbies enggak pernah ketemu setahun, tanpa malu dengan pandangan sekelompok ibu-ibu bersama para bayi mereka di sekitar kami.

"Aku kangen," katanya lalu menatap ke arahku. "Telinganya merah lagi. Gemas banget." Annora menggenggam kedua kupingku dan sebenarnya bukan hanya malu karena serangan tiba-tiba barusan, tapi sampai sekarang rasa Annora di pipiku masih terasa bahkan sudah sampai ke hati. Ingat, ini ungkapan lebay. Bukan berarti ada hal lain.

"Kok, malah di luar? Rumah kamu yang ini, 'kan?"

Annora mengangguk lalu senyum-senyum sendiri sambil melirik ke motor nenek. Ini maksudnya kode, ya? Kalau iya, apaan? Aku bukan cenayang, Annora.

"Apa?" tanyaku pendek karena emang enggak ngerti dengan kode yang diberikan Annora. Beneran, deh kalau ilmu kode itu bisa dipelajari atau kalau enggak, ada yang jual buku panduannya, aku bakalan beli dan belajar dengan tekun biar bisa gampang ngertiin cewek.

Annora mengembuskan napas keras-keras lalu menyisir rambut dengan jemarinya. "Rumahku memang yang itu, tapi sekarang lagi kosong. Enggak mau, 'kan kalau nanti aku serang? Atau jangan-jangan kamu emang mau kita berduaan di dalam? No problem, sih, tapi habis itu kamu lamar aku, ya?"

"Sapi keseleo! Jangan—"

"Sudah, ah, yuk. Kita ke tempat lain aja, nanti ketinggalan golden time." Annora menarik tanganku kemudian buru-buru menuntun ke motor nenek. "Aku enggak bisa bawa motor, tapi kalau dibonceng bisa dan aku tahu tempat bagus. Kenapa enggak kita abadikan lewat foto lagi?" Sambil memamerkan kamera yang tergantung di leher, Annora tersenyum lebar lalu tanpa permisi sudah duduk di jok belakang. Alhasil, mau enggak mau aku harus menurut, daripada nanti muncul masalah terus jadi bahan omongan ibu-ibu karena ribut sama anak orang—cewek lagi. Segera mengambil helm dari tangan Annora, aku pun menyalakan mesin motor.

"Berangkat!" seru Annora dari jok belakang, mengikuti gaya bicara salah satu tokoh di sinetron Tukang Ojek Pengkolan ketika motor kami bergerak lumayan cepat di badan jalan komplek perumahan. Aku yang dengar pun cuma bisa senyum, tanpa berkomentar lebih karena gaya omongan Annora emang kocak.

"Halaman enam puluh tiga, kamu mau pergi ke Taman Begiona, 'kan?"

"Kupikir kamu punya bakat jadi cenayang, Kak." Annora menepuk kedua pundakku lalu memukul pelan hingga beberapa kali.

Baru kali ini, mau bernapas pun terasa susah. Masalahnya setiap kontak fisik yang diberikan Annora selalu sukses mengaktifkan robot kecil di dalam dadaku. Dengan menggunakan palunya, robot itu memukul ke sana-kemari hingga terasa sakit tak keruan. Tidak puas dengan menyentuh pundakku, sekarang Annora malah memutuskan untuk memeluk pinggangku. Seriusan gaya begini ini sudah kayak orang lagi pacaran yang enggak bisa pisah satu senti pun.

Konsentrasiku hampir buyar karena malu bukan main. Derasnya angin berlawanan arah pun tidak mampu mengalahkan hawa panas yang merayap ke seluruh tubuh. Sempat kupikir Annora sengaja menggodaku, tapi sepertinya dia terlalu peka karena beberapa saat kemudian Annora buru-buru melepaskan pelukannya. Syukurlah Tuhan masih ingin kita berdua selamat sampai tujuan.

"Aku enggak mau kita tabrakan gara-gara kamu galfok, Kak."

"Lebih baik diam aja, deh. Kamu kalau ngomong gitu pasti nanti ujung-ujungnya bakal ngeledek terus bikin malu diri sendiri."

"Kamu emang anaknya pemalu abis. Makanya suka. Jadi kapan Kak Darka bisa suka juga sama aku? Sudah sampai mana baca Journal of Memory? Jangan sampai lewat lima hari, loh."

"Aku sudah selesai dari tadi malam, Ann."

"Hah?! Seriusan?! Wah, gila, sih pantesan matanya sudah kayak zombie gitu. Untung sayang. Eh, di sana Taman Begionanya. Buruan, Kak waktu kita enggak banyak nanti keburu tutup."

"Iya-iya, enggak usah mukul juga kalik." Aku menambahkan kecepatan motor lalu menyelip ke celah-celah mobil dan motor supaya lebih cepat sampai ke Taman Begiona.

Pukul 16.20 masih ada banyak menit menuju jam 17.00 dan kita masih sempat untuk mengambil beberapa foto. Enggak tahu siapa yang salah karena kasusnya di sini adalah, antara Annora begitu mendadak buat ngajak ke sini atau akunya yang ngaret sebab enggak peka sama sekali. Entahlah, di Journal of Memory, cewek itu juga enggak nyantumin jam atau tanggal kapan mau ke Taman Begiona. Dia cuma nyantumin catatan 'Pergi bareng Darka ke Taman Begiona dan foto bersama.'

Seandainya mengingat catatan Annora di Journal of Memory, ya, maaf-maaf saja kalau jadi buru-buru begini. Namun, bukan masalah besar juga, sih karena di sisi lain sudah lama sekali aku enggak main ke sini dan terakhir ke tempat ini adalah waktu masih kecil. Itu juga bareng nenek dan bapak.

Enggak bakal pernah lupa, gimana hebohnya nenek nyiapain bekal sampai beberapa rantang, tapi ujung-ujungnya kami cuma bawa tiga kotak makan yang diubah nenek jadi ala-ala kotak makan bento. Hal itu terjadi karena pagi-pagi buta nenek sempat lihat video di youtube lalu tergoda untuk mencoba tutorial bento.

Waktu terakhir kali ke Taman Begiona, kami juga datangnya kepagian sebab aku ngotot minta berangkat pagi-pagi buta karena takut enggak kebagian tiket, padahal mereka buka sampai jam lima. Astaga, demi lihat Spiderman berubah jadi Iron Man, jaman dulu itu benar-benar penuh dengan semangat ribuan kali lipat.

"Wih, bunga-bunganya bagus banget!!!" seruan Annora membuyarkan lamunanku, bersamaan ketika dia menarik tangan kananku lalu meletakkan kameranya.

"Ann, jangan lari-lari. Ingat-ingat sama—"

"Apaan, sih, Kak? Sudah kayak mama aja. Sini-sini, kalau ketinggalan jauh berarti kamu cemen. Ya, kalik, kalah cepat sama cewek. Payah banget, tau!" Sambil tertawa renyah Annora berlari mundur di jalanan setapak antara bunga celosia.

Beberapa langkah berlari, tiba-tiba Annora berhenti di kumpulan bunga salvia. Dia menatap bunga salvia lekat-lekat, kayak enggak pernah lihat bunga seumur hidup lalu seuntai senyum lebar di wajah Annora pun terlihat. Sejujurnya pada saat itu, aku sangat menyukai ekspresi Annora, sehingga tanpa sadar tanganku bergerak untuk mengambil foto Annora.

Beli parasetamol di apotek.

Sekarang baru sadar kalau Annora emang cantik.

"Ah, mungkin karena background-nya cantik, makanya nular," kilahku cepat, sambil mengibas-ngibaskan tangan di atas kepala. Sekadar menjauhkan pantun aneh yang kalau didengar Annora pasti bakalan langsung update status, pake bilang 'Ya, ampun setelah mendaki seribu gunung, menyebrangi seribu lautan, akhirnya Kak Darka ngaku kalau aku cantik. Pakai pantun pula, enggak bakal aku hapus dari medsos mana pun.' Ya, kurang lebih dia akan nulis begitu akun media sosialnya.

Sumpah, deh itu anak norak banget, 'kan?

Seperti enggak ada hal yang lebih menarik untuk diperhatikan, aku pun hanya menontoni tingkah Annora. Penasaran saja, sih dia itu mau ngapain. Masalahnya beberapa kali, Annora berhenti di spot-spot sepi, menoleh ke arah kanan-kiri dan melakukan tindakan terlarang. Tahu, 'kan kalau di sini kita enggak boleh metik bunga sembarangan? Sedangkan Annora melakukan hal tersebut secara tersembunyi dan penuh rasa hati-hati.

Diam-diam jadi suka mikir sendiri, Annora segitu sukanya, ya sama bunga sampai enggak bisa nahan diri buat ngontrol tangannya supaya enggak metik-metik sembarangan.

Sekali lagi kuambil fotonya. Lumayan gemas lihat mimik waspada Annora setiap kali memetik dan ekspresi bahagia setiap menghirup aroma bunga. Mengambil foto seperti ini, dijamin bakalan selalu sukses untuk dijadikan kenangan bersama kemudian diceritakan kembali suatu saat nanti.

"Bagus juga," bisikku saat melihat hasil yang memperlihatkan Annora sedang memetik bunga melampodium lalu berusaha memilin bunga-bunga hasil curiannya tersebut. Setelah menyadari kerjaan terlarang Annora, sekarang malah ketawa sendiri karena baru tahu itu anak berusaha buat mahkota dari bunga. Alhasil, aku pun jadi ikutan diam-diam mencuri beberapa bunga lalu merangkai hingga jadi lingkaran sempurna.

"Bonusnya, tanganku sudah terlatih karena keseringan merangkai bunga di Dahlia."

Enggak perlu waktu lama untuk mengumpulkan bunga lalu merangkainya diam-diam, karena lokasi kami memang tergolong sepi. Mahkota bunga pun selesai dan tanpa sepengetahuan Annora, segera kuletakkan mahkota tersebut di atas kepalanya.

Bahu Annora bergidik sebentar, saat aku meletakkan mahkota tersebut lalu dengan terburu-buru ia menyentuh pucuk kepalanya. Aku tertawa, rasa bahagia tidak perlu kusembunyikan saat itu, apalagi saat Annora menoleh cepat dengan ekspresi panik. Kupikir mungkin dia ketakutan kalau security memergokinya.

"Jangan bergerak dulu, Ann," kataku cepat lalu segera mengambil fotonya.

Foto pertama dengan ekspresi kaget karena takut terciduk. Lucu juga.

"Sekali lagi. Aku enggak senyum tadi. Kamu jahat banget mau kasih ginian, tapi enggak bilang-bilang."

"Udah, deh, daripada bilangin aku jahat, mending kamu bilang makasih, aja. Enggak susah, kok." Aku kembali mengarahkan kamera membidik Annora yang tidak peduli dengan ucapanku barusan.

Dasar bocah.

Annora tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi rapinya, sambil memegang mahkota bunga di kepala dengan tangan kanan kemudian dia tertunduk.

"Kalau begini terus, bisa-bisa aku makin suka sama kamu." Annora melangkah mendekatiku lalu memelukku erat. "Terima kasih buat kenangan hari ini. Flower crown-nya pasti bakalan layu enggak lama lagi, tapi kenangan spesial yang kulakukan bersamamu enggak bakalan pernah layu selama aku masih hidup dan tanganku masih bisa menggambar."

Aku mengangguk pelan sekaligus ragu antara ingin membalas pelukan Annora atau diam saja. "Terima kasih juga, Ann. Di Journal of Memory, kamu sudah ngebuat aku sudah kayak tokoh utama di ceritamu," kataku pelan yang kuharap Annora enggak dengar dan enggak merasa juga kalau tanganku sedang membalas pelukannya, meski masih berjarak lima senti meter karena gemetar—gugup—luar biasa. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top