25. Hold My Hand
Don't lose hope. You never know what tomorrow will bring.
Singkat dan padat, tetapi penuh makna jika diperhatikan lebih dalam. Halaman kesepuluh di Journal of Memory, Annora membuatnya seperti gambar bercerita bukan cerita bergambar karena hanya satu kalimat di sana.
Di halaman kesepuluh, Annora membuat beberapa kolom berisi gambar agar sesuai dengan urutan.
Kolom pertama, menggambarkan seorang gadis yang mungkin berumur sebelas tahun (Aku melihat dari angka di sudut kanan bagian bawah kertas), sedang melukis proses metamorfosis di kanvas.
Kolom kedua, gadis itu terjatuh dari atas kursi karena tanpa sadar, ginjalnya dicabut oleh monster Grievers. Di waktu yang bersamaan ternyata lukisan tersebut belum selesai seutuhnya, sehingga menyisakan seekor kupu-kupu dengan satu sayap.
Kolom ketiga, Grievers menikmati ginjal tersebut tepat di hadapan gadis itu, hingga akhirnya membuat si gadis hanya membayangkan peti mati.
Kolom keempat, beberapa tangan mengelilingi tubuh kaku sang gadis kemudian ada orang lain di sebelah gadis itu. Orang asing terebut sendirian. Mereka sama-sama terbaring kaku, tetapi ada perbedaan di antara keduanya, yaitu tidak tangan-tangan di sekeliling orang asing.
Kolom kelima, hanya berupa gambar kupu-kupu dengan kedua sayap yang utuh dan cantik, sedang terbang di antara taman bunga.
Lagi-lagi ketemu sama tebak-tebakan buah manggis.
Aku mengembuskan napas, sekaligus mengernyit di waktu bersamaan karena kembali berpikir demi memecahkan teka-teki dari gambaran Annora di Journal of Memory, dan satu-satunya petunjuk untuk halaman ini adalah quotes yang ditulis sebagai judul dari gambar-gambar tersebut. Jika semua itu dikaitkan, tentu memiliki arti kehidupan—kematian—kehidupan atau optimis—pesimis—optimis, lumayan mudah ditebak sebab sudah terbiasa dengan isi Journal of Memory dan gadis di gambar tersebut pastilah Annora, Grievers adalah cystic fibrosis, sedangkan orang asing itu adalah pendonor. Jadi kalau dihubungkan, halaman kesepuluh bercerita tentang transplantasi ginjal yang berhasil memberikan Annora suatu kehidupan.
Menegangkan untuk anak usia sebelas tahun. Aku saja yang cuma nonton video operasi di ponsel Fariz, rasanya sudah panas dingin, apalagi Annora yang ngejalanin langsung.
"Di halaman-halaman sebelumnya, dari umur delapan tahun Annora sudah harus menenggak tiga puluh pil dalam sehari lalu ... Ya Tuhan, cengeng banget." Segera kuhapus air mataku, ketika tanpa sadar cairan tersebut hampir membasahi pipi.
Demi cabai keriput, sejak baca Journal of Memory aku ngerasa kayak cowok paling melankolis sedunia. Andai saja bukan di tempat yang salah, pasti aku sudah menangis tersedu-sedu. Enggak ngerti lagi kenapa Annora menyuruhku buat baca ginian, padahal kemarin-kemarin dia menolak keras. Kalau sudah begini, menahan tangis lalu bersikap sok tegar di depan Annora bakalan makin sulit.
"Untung stok bunga lagi kosong, jadi bisa santai-santai di toko. Putri sama Kirana juga dari tadi enggak balik-balik, lama banget. Lupa pulang kalik, ya?" tanyaku pada diri sendiri, sambil celingak-celinguk mencari dua cewek itu lalu kembali membuka lembar Journal of Memory.
"Kalau nenek yang baca buku ini, pasti bakalan lain lagi nasibnya. Mungkin bakalan banjir airmata, beda banget sama cucunya yang milih nangis cool," kataku lagi, berusaha mengalihkan tangis kesedihan dengan tawa sumbang kemudian membayangkan nenek jika berada di posisiku.
Pastilah dari halaman kedua pun, nenek sudah banjir air mata kalau baca Journal of Memory, sebab saat itu adalah kisah Annora di usia tujuh tahun sekaligus menjadi awal dari penyakit Annora terdeteksi. Jika nenek memutuskan buat lanjut membaca, yakin, deh tanpa disadari bakalan banyak tissue yang tertinggal di sekitar nenek lalu setelah itu, beliau akan bertanya dari mana datangnya tissue-tissue tersebut.
Bayangkan saja bagaimana kehidupan Annora, selama sembilan belas tahun berjuang melawan cystic fibrosis kemudian di usia sebelas tahun sudah harus melakukan operasi transplantasi ginjal, akibat terlalu banyak mengonsumsi obat serta antibiotik.
"Lebih baik aku mati aja kalau berada di posisi Annora. Belum lagi, jika memikirkan bahwa enggak semua anggota keluarga pendonor bisa iklas memberikan organ tubuh kerabatnya untuk orang lain. Ah, hidup Annora lebih berat dari yang kupikirkan." Setelah menutup Journal of Memory dan meremas rambut, rasa frustrasi seketika menyerang. Kuakui, aku sama sekali enggak bisa pura-pura tenang nanti harus kalau ketemu Annora. Namun, di waktu bersamaan juga tidak bisa menampilkan wajah sedih karena janji. Secara tidak langsung mereka menempatkanku di posisi yang terlampau sulit.
Seriusan, janji pada Amber dan Annora akhir-akhir ini membuatku kepikiran serta enggan buat ngelanjutin baca diary Annora. Bahkan semakin lama dipikirkan kepalaku malah jadi semakin sakit, semoga kali ini enggak ada pengaruhnya sama sekali dengan asam lambung.
"Ddaeng!!"
Kaki sapi! Suara yang luar biasa nyaring itu sukses mengejutkanku. Bagaimana tidak, si pemilik suara barusan sengaja mendekatkan bibirnya di telingaku kemudian berteriak begitu saja. Astaga kalau sampai telingaku kenapa-kenapa bakal kutuntut dia dengan meminta telinga baru.
"Hayo!! Baca apaan?! Serius amat, mentang-mentang toko lagi enggak nerima orderan jadi santai kayak di pantai."
"Kentang goreng, bikin kaget kamu, Put!" Aku segera menjauhkan Journal of Memory, menyembunyikannya di dalam tas, sebelum Putri atau Kirana kepo dan berusaha membaca buku tersebut lalu berpindah tangan ke orang-orang tak bertanggung jawab. "Loh ...."
Seketika tidak tahu mau ngomong apa, kedua alisku saling bertautan, perasaan sedih kembali menjalar ke seluruh tubuh berusaha memaksaku untuk menangis saja, tapi sekarang bukan waktu yang tepat. Aku terikat janji dan si pengikat janji sekaligus sumber kegelisahanku akhir-akhir ini, sedang berada di depanku, menampilkan senyum kambingnya, sambil menaik-turunkan ke dua alis lalu menyambar begitu saja untuk mengaitkan tangannya di lenganku.
"Hari ini, meski toko tutup orderan bukan berarti pulang cepat." Annora memamerkan sebungkus plastik Alfimart berukuran sedang, berisi berbagai makanan ringan dan beberapa botol minuman.
"Tau dari mana kalau—"
"Kita yang kasih tau, kamu enggak usah kegeeran pake mikir Annora kepoin kamu terus." Kirana yang baru selesai melepas jaket dan menggantungnya di kaitan dinding, langsung memotong ucapanku. Di tangan Kirana juga ada plastik Alfimart berukuran jauh lebih besar. Diam-diam jadi nanya sama diri sendiri, mereka mau ngapain belanja sebanyak ini? Pertandingan piala dunia sudah selesai, 'kan?
"Yap, tadi Annora telepon kita lewat video call dan karena tiba-tiba obrolan kita melenceng ke suasana toko jadi tercetuslah ide buat ngadain party malam ini," kata Putri, terdengar lebih semangat dari yang lainnya. "Lagian rooftop di atas sudah jarang dipake, sejak toko papa rame banget."
"Nah, mumpung kamu belum pulang ikutan, yuk," tawar Annora lagi, sambil menatapku dengan penuh harap. Kalau kayak gini, cowok enggak bakal bisa nolak, ya kalik, nolak nanti dikata tak berperasaan. Terlebih, aku sudah ngomong pengen buat kenangan bareng sama Annora. "Langitnya bagus banget malam ini, tadi aku lihat mars di arah barat, merah banget dan ada bintang paling besar di timur."
Aku diam sejenak, berpikir beberapa saat lalu belum sempat angkat bicara, lagi-lagi Kirana memotong ucapanku yang satu huruf pun belum sempat keluar.
"Oke, fix! Enggak ada penolakan. Darka, kamu sama Annora bawa ini ke rooftop sekarang. Kita mau ambil rumput polypropylene di depan dan beberapa perabotan lain." Kirana meletakkan kantong plastik yang dia bawa di depanku lalu Putri pun mengikutinya, sedangkan Annora baru saja ingin mengambil kantong plastik paling besar, tetapi langsung kutepis.
"Jangan bawa yang besar. Kamu menyakiti ego lelakiku. Ya, kalik, cewek bawa berat-berat, cowok bawa yang ringan? Banci banget. Ayo buruan naik, jaketnya jangan dilepas, di atas dingin." Tanpa bertanya tentang rencana mereka malam ini, aku lebih memilih untuk segera naik ke atas, membiarkan Annora berjalan lebih dahulu kemudian segera bersiap-siap sesuai dengan instruksi para cewek, karena kalau banyak tanya nanti bakalan disewotin dan bakal dibilang bahwa aku jauh lebih cerewet dari mereka.
Sesampainya di rooftop Toko Bunga Dahlia, seketika wajahku jadi gatal-gatal. Jelas saja apa yang dikatakan Putri ternyata benar. Tempat ini sungguhan terbengkalai, banyak debu, kotoran burung dan kelelawar, serta daun-daun kering dari pohon di sebelah toko. Beruntung, cahaya lampu di sini enggak sesuram yang kupikirkan, kalau beneran seperti bayanganku maka aku akan menolak di langkah kaki pertama.
Aku melirik ke arah Annora yang kebetulan berdiri di sampingku. Kupikir dia akan menunjukkan ekspresi serupa denganku, yaitu merasa risi karena harus bekerja ekstra hanya untuk party semalam. Namun, malah sebaliknya, Annora menampilkan wajah bersemangat kemudian tanpa aba-aba, langsung meletakkan kantong plastik belanjaan di atas meja besar dan mengambil sapu lidi. Dia menatap ke arahku seolah bertanya ada apa atau kenapa masih berdiri di sana?
"Alergimu kambuh, ya?" tanya Annora, sambil berlari kecil mendekatiku lalu memperhatikan pergerakan menggaruk wajah yang sesekali harus kulakukan. "Sebentar, aku lap meja sama bangkunya dulu, habis itu kamu bantu aku buat geser ke tengah, ya? Biar Putri atau Kak Kirana yang nyapu." Annora kembali meletakkan sapu lidi di dekat pintu rooftop lalu sebelum melangkah lebih jauh, aku menarik tangannya.
Tarik tangannya, entakkan lalu peluk.
Menggeleng kuat demi menjauhkan pikiran aneh tersebut, buru-buru aku berkata. Lebih tepatnya sebelum Annora ngomong macem-macem. "Kita bersihin bareng. Kamu enggak boleh terlalu capek, baru juga sembuh sudah mau kerja berat aja."
Annora berusaha menahan tawa dengan senyum yang dikulum. Semburat kemerahan terlihat di kedua pipinya, enggak mungkin itu make up, 'kan? Kalau pun iya tetap enak dilihat. Lagi-lagi robot kecil di dalam dada bekerja di luar batas, memukul ke sana-kemari hingga terasa sakit.
"Bersihin bareng kayak pasutri yang baru pindah rumah. Seketika jadi senang," ucap Annora, sembari menggaruk belakang telinganya.
"Hah! Kamu dapat pikiran begitu darimana? Kebanyakan nonton film enggak jelas, nih." Segera kutarik tangan Annora agar lebih cepat menuju meja dan bangku, tetapi lagi-lagi Annora menahan langkahnya.
"Tangannya jangan kelamaan di genggam. Tau 'kan aku suka sama kamu. Eh, tiba-tiba jadi mau nyanyi. Dengerin, ya," titah Annora. "Genggamlah tanganku dan jangan kau lepaskan dan jangan kau lepaskanku darimu ...."
Kuda nil jongkok! Hawa panas menyerang begitu saja ke seluruh tubuhku, hingga dengan kesadaran penuh segera melepaskan tangan Annora. Yang benar saja, itu lagu Alexa sengaja dia ubah liriknya dari peluklah menjadi genggamlah, demi apa coba? Bikin malu, sumpah!
Buru-buru kubongkar kantong plastik, berusaha mengalihkan perhatian supaya enggak ketahuan kalau sedang memanas luar biasa. Sambil mencari tissue basah dan kembali ke pekerjaan awal, dari balik punggung aku bisa mendengar jelas suara gelak tawa Annora. Dia puas sekali menggodaku bahkan sampai beberapa saat tawa itu tidak mereda sama sekali, sampai akhirnya Putri dan Kirana datang menyapa kami dengan pertanyaan yang sama, yaitu 'Kalian kenapa?'.
"Bu-bukan apa-apa."
"Iya, bukan apa-apa, tapi proses pendekatanku naik beberapa tingkat akhir-akhir ini. Kak Darka jadi lebih manis, daripada kemarin. Barusan tanganku di—"
Sebelum omongan Annora makin berlanjut buru-buru kututup mulutnya dengan tanganku, kemudian segera mengambil alih. "Dipukul, karena dari tadi main terus, sedangkan aku sendiri malah bersih-bersih, padahal yang party 'kan kalian. Aku cuma anggota yang dipaksa buat gabung."
"Banci banget mukul cewek. Beberapa dari omonganmu juga ada yang enggak bisa dipercaya karena tadi kamu mutus omongan Annora. Bikin kepo, sih, tapi santai aja, lah. Kita 'kan best friend! Iya, enggak, Ann?"
Annora mengangguk menyetujui ucapan Kirana lalu melepaskan tanganku yang menutupi mulutnya kemudian berlari memeluk Kirana dan Putri. "Teman baik sejak pertama kali aku main ke sini dan jangan khawatir, rahasia kita aman, kok, Kak. Tapi, ada syaratnya?"
"Hah? Kok tiba-tiba ...."
"Gampang, Cuma tinggal enjoy with this party and forget all bad things. Itu temanya."
Mendengar apa yang dikatakan Annora barusan, akhirnya aku tersadar. Annora melakukan ini bukan sekadar untuk senang-senang, tapi sekaligus menghibur diri sendiri dan mungkin juga menghiburku sebab sampai sekarang, aku belum bisa bersikap biasa. Bahkan beberapa saat lalu, selagi membaca Journal of Memory, Amber menelepon untuk kembali mengingatkan tentang janji yang telah kita buat, sekaligus memberitahu bahwa sikapku masih menunjukkan rasa khawatir pada Annora. Heran, sih itu cowok tahu dari mana? Enggak mungkin dia punya kelebihan jadi cenayang, kemarin saja salah tangkap kode sampai menjadikanku sebagai tumbal untuk tebak-tebakan yang dia berikan untuk Annora.
"Kak Darka! Ngapain masih bengong?! Ayo buruan bersih-bersih, enggak ada alasan alergi debu bikin muka gatel! Muka mulus begitu emang kadang harus ngerasain yang namanya jerawat atau bentol-bentol!" seru Putri yang ternyata sukses membuyarkan lamunanku lalu saat menoleh ke arah suara, mereka ternyata sudah mulai berbenah.
Ah, baru sadar kalau di sini ada panggangan barbeque juga. Aku kira Boss Benji enggak bakal beli benda beginian buat ditinggal di toko, 'kan lumayan kalau ada maling yang niat untuk ngejual barang tersebut di pasar loak.
"Kak Darka, gerak cepat, dong. Jangan sampai pas tamu datang nanti kita belum siap," ujar Annora, sambil menghampiriku dan memberikan sapu lidi yang tadi dia letakkan di dekat pintu. Diam-diam omongan Annora barusan malah memberikan daftar tanya tambahan di kepalaku. Sekarang jadi semakin kepo.
"Tamu siapa lagi? Emang kalian mau buat pesta apaan, sih?"
"Sudah ngikut aja. Biar kaget."
"Enggak bakalan kaget kalau bukan seleb top."
"'Kan seleb top di hati kamu cuma aku."
Aku mendorong kening Annora dengan jari telunjuk lalu mengambil sapu di tangannya. "Enggak usah ngomong yang aneh-aneh. Gombalan kamu sudah enggak mempan."
"Mempannya kalau sentuhan fisik kayak tadi, ya?"
"Enggak bakal terjadi lagi, kalau kamu embernya semakin menjadi-jadi."
"What?! Kontak fisik? Memang hubungan kalian sudah sampai mana?!"
Suara cowok yang tiba-tiba terdengar di pintu masuk rooftop seketika mengalihkan kami berdua, membuat mataku melebar dan panas-dingin, takut-takut kalau obrolan absurd Annora malah disalahartikan dengan orang-orang yang mendengar sepenggal obrolan kami.
Ya Tuhan, minum cola pake aqua.
Sebentar lagi mungkin kami diseret ke KUA.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top