24. Create The Memories Together

Kemarin Amber cerita, bahwa pertemuan pertama aku dan Annora itu benar-benar di luar rencana mereka.

Kata Amber, Annora sudah lama memperhatikanku, yaitu di hari pertama cewek itu kuliah di Universitas Dananjaya, tetapi belum sempat berkenalan karena Annora terlalu malu untuk bertukar sapa secara normal, sebab Fariz terus menempel selama di kampus. Lalu pada suatu hari, akhirnya keberuntungan menghampiri Annora, di mana secara tidak sengaja dia mendapatiku bekerja di Toko Bunga Dahlia kemudian memaksa Amber agar memesan bunga di sana, sebagai kado ulang tahun Alexa—adik Amber.

Akibat sudah terlalu mepet untuk memilih-milih hadiah untuk Alexa dan mengingat kesehatan Annora yang terkadang suka drop, jadi ya sudah Amber menurut saja dengan usul Annora. Meski ia tahu, bahwa cewek itu punya maksud lain karena malam sebelum ke toko bunga, dia meminta bantuan Amber untuk menjadi perantara supaya bisa berkenalan denganku. Namun, sayang di hari mereka ingin memesan dan siap menjalankan rencana tersebut, semua malah berakhir di luar perkiraan.

Terkadang, rencana itu cuma sekadar rencana karena Tuhan sudah punya aturan sendiri untuk setiap hidup manusia. Kurang lebih itulah yang dikatakan Amber disela-sela obrolan kami kemarin.

Yang sebenarnya aku sendiri kurang setuju dengan hal itu, tetapi tetap memilih untuk menyimak.

Menurut pengakuan Amber, Annora gagal masuk ke toko dan berkenalan denganku secara normal karena menurutnya aku adalah cowok dengan tingkat kegantengan di luar batas wajar, yang mana aku yakin itu cuma bahasa hiperbolis. Alhasil Amber juga tidak menyangka kalau Annora bakal memilih cara lain untuk menarik perhatianku; mencuri banyak bunga matahari, membuatku kerepotan di sana-sini, dan hampir kena marah Boss Benji sebab meninggalkan pelanggan. Bahkan meneleponku di malam hari dengan menggunakan nomor Amber. Sebelumnya ketika melihat nama Amber di ponsel Annora, kupikir Amber adalah pacar atau kakaknya Annora. Namun, langsung dibantah oleh Amber dengan suara tawa yang luar biasa nyaring.

Annora itu tiap hari kerjaannya kalau enggak gambar di buku Journal of Memory-nya, ya ngomongin kamu, Darka. Kami saja sampai kayak kenal kamu lebih dekat, sebelum ketemu langsung. Begitulah komentar Amber sewaktu aku mengatakan, bahwa sebelumnya sempat mengira dia adalah pacar Annora dan hal tersebut sukses membuatku memerah di mana-mana.

Masalahnya selama ini aku enggak pernah nyadar punya pengagum rahasia. Mungkin karena terlalu sering main sama Fariz atau ikan-ikan di parit besar. Jadi kalau dipikir-pikir lagi, wajar saja tentang bagaimana dan kenapa Annora bisa banyak tahu tentangku lalu berusaha keras buat menarik perhatian orang-orang di sekitarku.

Annora ternyata punya jurus yang sedikit berbeda dengan cewek-cewek lain, yaitu mendekati orang-orang terdekat target demi mendapat dukungan.

Ah, lagi-lagi malah ngerasa malu. Semoga enggak keliatan jelas. Aku menutupi separuh wajahku menggunakan tangan kiri, bersamaan dengan tangan kanan di gagang pintu loker. Sebenarnya enggak ada keperluan yang harus kuambil di dalam loker. Namun, setiap kali mengingat cerita Amber tentang Annora, selalu sukses bikin suhu tubuh jadi meningkat. Mau dilupakan atau diabaikan pun, malah semakin berputar-putar di atas kepala.

"Dor!"

Koala bantet! Lagi asik-asik melamun, kepalaku hampir saja kejedot loker gara-gara mendengar suara cempreng yang sudah kukenal, sekaligus mendapat bonus dorongan kuat di punggung. Tanpa menoleh, sudah jelas kalau pelakunya Annora. Memangnya siapa lagi di Dananjaya yang punya suara kayak panci saling tabrakan, selain Annora?

"Kak Darka, aku bawain beberapa foto polaroid kemarin." Seolah tidak merasa telah melakukan kesalahan karena hampir mencelakakan orang lain, Annora memamerkan senyum dua jari lalu merogoh saku almamaternya, mengambil empat lembar kertas foto berisi gambar kami bertiga; aku, Annora, dan Amber. "Aku pilihkan dari hasil yang paling bagus," kata Annora lagi dengan nada penuh rasa bangga, sambil menyerahkan benda tersebut.

Berusaha meredam hawa panas yang suka tiba-tiba muncul, aku memilih untuk tidak menatap Annora dan lebih memilih ngeliatin loker lekat-lekat, sambil sok sibuk kayak sedang ngerakit bom nuklir KW super. "Buat apaan? 'Kan aku bilang kirim di HP aja, daripada buang-buang kertas bikin pohon di bumi semakin menipis."

Annora mendengkus, memegang lenganku, dan memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Dia memberikan tatapan merajuk dengan bibir yang mengerucut. "Kenapa dari tadi pagi enggak mau ngeliatin aku? Aku udah tua, ya atau ada yang aneh sama mukaku?"

"Hah? Ngaco! Jauh mudaan kamu, daripada nenek, kalik!"

"Kok malah jadi bandingin aku sama nenek, sih?!"

"Lah, kamu yang tiba-tiba ngomong kalau mukamu sudah keliatan tua, padahal 'kan masih sembilan belas tahun!"

"Tuh, 'kan, aku sudah keliatan tua, padahal sembilan belas tahun-nya masih beberapa bulan lagi. Nyebelin!" Annora makin nge-gas, membuatku sadar kalau dia sengaja memulai perdebatan enggak penting supaya aku kembali mengomel. Jadi daripada emosi nambah-nambahin kerutan, lebih baik mingkem, deh.

"Fotonya kamu simpan aja, kamu kirim yang ... astaga!" Ucapanku terpotong ketika Annora mendorong tubuhku hingga menjauh dari pintu loker yang masih terbuka. Serius, beneran lupa kalau ruang pribadi kampusku belum ditutup dan sekarang malah diintervensi sama Annora.

Mata gadis itu membelalak, berdecak kesal lalu geleng-geleng kepala, kayak nenek kalau lihat kamarku yang terlampau rapi sampai mau dipake pun terasa sayang. "Oh my God! Ini loker anak dua puluh satu tahun? Boring banget! Kosong, isinya cuma buku tiga biji sama baju kaos dan kemeja cadangan. Enggak asik! Minggir, deh biar aku dekor loker kamu supaya enggak nge-bosenin," kata Annora dengan nada yang terdengar cukup kesal, sambil melepas tas ransel kemudian membongkar isinya.

Annora mengeluarkan magnet berbentuk singa, beruang, ikan nemo, dan karakter spiderman yang biasanya ditempel di pintu kulkas kemudian menata benda-benda tersebut di balik pintu loker, dengan menyelipkan empat lembar foto polaroid. Tidak ketinggalan Annora juga menuliskan sesuatu di sana menggunakan tulisan bersambung yang lagi-lagi membuatku kesulitan membaca. Annora juga merobek kertas sampul bergambar bunga sakura berukuran kecil dan meletakkannya di antara keempat foto lalu yang terakhir, ia memberikan sentuhan hand latering menggunakan spidol berwarna ungu pastel. Sesaat perasaan takjub menghampiri setelah melihat keahlian Annora di bidang dekorasi, jadi wajar saja kalau Journal of Memory alias diary Annora dipenuhi gambaran kayak cerita bergambar.

"Sudah selesai," kata Annora, sambil memamerkan hasil karya tangannya kepadaku dan menaikkan sedikit dagu lalu tersenyum bangga. "Eh, ada satu yang ketinggalan. Tunggu sebentar." Annora kembali mendekati hasil karya tangannya, membubuhkan tanda hati kecil dengan spidol merah kemudian menuliskan tiga kata keramat. "I love you," bisik Annora yang seketika membuatku merona.

"Jangan frontal, kalimat begitu enggak boleh diomongin sembarangan dan tanpa pikir panjang." Segera kudorong kening Annora dengan menggunakan jari telunjuk lalu mengamati hasil karya Annora. Baiklah, bagus juga buat loker yang sebelumnya kosong melompong, mencerminkan kehampaan, sekarang karena ada empat foto itu jadi keliatan kalau punya banyak teman. "Oh, ada tiga orang yang ketinggalan," kataku saat tiba-tiba teringat dengan sosok di sekitarku. Kuambil tiga foto berukuran 3x4 di dalam dompet lalu menempelkan asal di balik magnet karakter tersebut. Namun, buru-buru Annora menepis tanganku.

"Jangan begitu! Sembarangan banget, sih."

Aku melongo, kaget. Emangnya ada yang salah nempel foto orang terdekat juga? Ini 'kan lokerku?

"Nempelnya jangan asal-asalan, kudu ditata dulu. Aduh jiwa seninya jelek banget. Percuma, deh gaya hidup super bersihnya kalau enggak bisa nge-dekor, rumahnya bakalan keliatan kaku nanti." Annora kembali membongkar isi tasnya, mengambil kotak pensil, dan memilih beberapa selotip berbahan kain karakter lalu memutuskan untuk menggunakan selotip bertema amplop bertuliskan bahasa Prancis, dengan sentuhan menara eiffel. "Nah, beginikan bagus. Jadi lebih hidup, enggak ketumpuk kayak tadi."

Annora tersenyum lebar, terlihat seperti tidak memiliki beban sama sekali dan tanpa sadar, sukses mengetuk hatiku untuk mengingat omongan Amber di kafetaria, yaitu pembicaraan panjang lebar yang sepanjang malam berhasil berputar-putar di pikiran lalu menjadikan perang batin, antara logika dan perasaan.

"Ann." Suaraku terasa tercekat kali ini. Bukan karena malu atau gugup, tapi karena tahu gimana Annora begitu memperhatikanku. Perasaan bersalah pun menghampiri, sebab awalnya sempat mengira kalau Annora menolak menempelkan foto nenek, bapak, dan Fariz.

Annora yang kuharapkan mengatakan sesuatu, malah hanya menoleh lalu menunggu. Bahkan semakin menjadi-jadi, padahal kami sudah saling diam beberapa saat. Suara jangkrik pun semakin nyaring di dalam kepalaku dan diam-diam, jadi penasaran juga apa yang dipikirkan Annora sekarang.

"Ann, mau janji sesuatu enggak?" Aku bernapas lega, akhirnya bisa ngomong juga. Padahal cuma gituan, tapi rasanya kayak mau terjun ke medan perang.

Annora mengernyit sesaat lalu mengetuk-ngetuk hidungnya, pertanda kalau dia sedang berpikir. Salah satu kebiasaan Annora yang sering kami artikan kalau otak cewek itu ada di hidung, bukan di kepala kemudian jika Annora mendengarnya, maka ia akan segera mendorong kami serta menghadiahkan beberapa pukulan.

"Jangka panjang atau pendek?"

"You and I, let's writing memory together." Lagi-lagi aku meneguk saliva, harap-harap cemas semoga kali ini bahasa Inggrisku enggak salah karena mengingat pertama kali ketemu Annora, omonganku beneran kacau kalau pake bahasa Inggris. Padahal jurusanku Ilmu Hubungan Internasiona dan orang-orang selalu berpikir 'Pasti jago ngomong Inggris'.

Namun, bukan senyuman malu-malu yang kudapat, Annora malah menertawaiku. Bahkan sampai meletakkan tangan kanannya di lengan kiriku. Pasti bahasa Inggrisku salah lagi! Demi lihat Nobita pakai baju SMP, ini beneran salah satu peristiwa yang bikin malu, padahal lagi pengen bikin suasana romantis sekaligus serius.

"Enggak sepenuhnya salah, sih. Cuma lucu aja, memang mau nulis di mana? Buku diary? Aku 'kan sudah punya Journal of Memory. Ah, tapi kalau yang kamu maksud itu let's create the memories together, I'll say yes," ucap Annora dengan mata berbinar, menuntutku untuk melupakan rasa khawatir mengenai penyakit yang ia derita. Lagi-lagi rasa serba salah menghampiri, tapi peringatan Amber juga menghantui di waktu bersamaan, bahwa tidak seharusnya menampilkan eskpresi sedih jika berhadapan dengan Annora.

"Kita bisa mulai dari sini. Sebelum menciptakan kenangan bersama, lebih baik kamu baca Journal of Memory-ku dulu," kata Annora, sambil menyerahkan buku bersampul merah magenta yang sempat kubaca secara enggak sengaja waktu di rumah sakit. "Aku mau kamu mengenalku jauh lebih dekat, jadi bukan cuma aku yang kenal kamu. Untung-untung kalau nanti aku bisa dengar kalimat 'I love you too, Ann.'"

Annora tertawa kecil lalu kembali berkata, "Lima hari mungkin cukup buat nyelesaiin baca Journal of Memory, kalik, ya? Jadi kamu enggak perlu buru-buru bacanya" Sambil menarik lengan kananku, Annora menyerahkan Journal of Memory kemudian kembali menyampirkan tas ranselnya dan berjalan mundur.

"Hari ini kita enggak pulang bareng dulu. Ada Amber yang jemput, katanya aku harus ketemu dokter yang cerewet hari ini buat kontrol. Oh, ya besok bakalan ada sesuatu, jadi bersiaplah. Bye-bye!" Annora melambaikan tangannya, memberikan gerakan gelombang seperti ular meliuk-liuk kemudian berlari meninggalkan kampus.

"Sebelum semuanya berakhir, semoga cuma ada kenangan indah yang kita buat, Ann," bisikku, sambil menatap punggung Annora lalu menutup loker dan seketika rasa panas kembali merayap.

Demi cabai keriput! Aku enggak pernah sadar bisa ngomong kayak tadi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top