23. Act As Usual

"Annora, coba tebak siapa yang datang!" Amber menahanku di depan pintu, memamerkan gerakan dramatis ala pesulap di hadapan Annora yang mungkin Tante Jane juga ada di sana.

"Dapat hadiah, enggak?"

Itu suara Annora, masih cempreng seperti biasa. Dia sakit, tapi tidak memengaruhi apa pun selain penampakan selang-selang kemarin yang membuatnya jadi terlihat rapuh. Yakin, deh besok kalau dia balik ngampus bakalan ribut lagi.

"Hadiahnya ...." Amber menggantung kalimatnya, melirik ke arahku seolah sedang memberikan kode tersirat. Enggak tahu apaan, tapi demi menghargai Amber, aku cuma menunjuk bunga matahari yang masih berada di genggamanku. Semoga tidak salah tangkap dan terima kode karena kami berdua memang bukan cenayang, jadi ilmu telepati terlampau sulit untuk dipahami.

Amber mengangguk, tersenyum lebar dan kembali mengalihkan pandangan. "Hadiahnya nge-date seharian dan tiga tangkai bunga matahari dengan karangan super spesial, jeng, jeng, jeng! Nayana, nayana!"

Seketika rasa menggelitik menghampiriku, terutama setelah melihat tindakan tidak terduga dari Amber. Entah di akhir kalimat tadi dia ngomong apaan, tapi setahuku itu bahasa Korea dan gerakan seperti memukul seseorang dengan sentuhan dance itu lucu banget. Rupanya Amber beneran K-Popers, bukan cuma fashion, tapi sampai omongan dan tariannya—perfect! Beda jauh dengan image sebelumnya, di mana Amber terlihat lebih dewasa, berkharisma, dan tipikal cowok pendiam, tapi ramah. Mungkin begitu.

Akan tetapi di waktu bersamaan mataku turut melebar, baru sadar tadi Amber ngomong apaan. "Woy, nge—"

"Kak Darka! Itu suara Kak Darka!" Suara Annora makin cempreng, hingga mencapai beberapa oktaf dan beberapa keributan terdengar di dalam sana. Enggak tahu, deh dia berulah apa?

Wah, gila, sih, lihat Awkarin jalan kaki di trotoar.

Si Amber ngomong enggak pake filter.

Karena penasaran dengan ulah Annora di dalam sana, aku pun memutuskan untuk masuk dan mengabaikan isyarat Amber yang masih berusaha menahanku. Bodo amat, dia juga seenaknya saja jadiin aku barang hadiah. Nge-date bareng Annora pula! Ogah kuadrat, nanti malah jadi spot light di semua akun media sosialnya Annora, secara itu anak lebay bukan main.

"Darka enggak asik banget! Belum sempat ditebak, kamunya sudah nyerocos gitu aja. Annora malah jadi salah tingkah gitu, 'kan?" Amber menyusulku lalu merapikan beberapa buku dan makanan dalam kemasan yang terjatuh dari atas nakas—pertanda keributan barusan berasal dari benda-benda yang berguguran itu.

"Lagian, kamu pake sok-sokan mau kasih hadiah, tapi enggak modal," jawabku sambil menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur Annora. "Apa kabar? Jangan ngamuk karena aku datang enggak bilang-bilang. Ini buat kamu." Tanpa menunggu Annora buka mulut untuk bicara, segera kuberikan sunflowers hasil karangan sepenuh hati dengan mengikuti tutorial di youtube.

Sebelum ke rumah sakit dan mampir sebentar ke Toko Bunga Dahlia, Putri memaksa untuk memilihkan video tutorial di youtube kemudian menyuruhku merangkai bunga sesuai video pilihannya. Hal itu terjadi karena kata Putri, seleraku payah jika diberikan pada seorang gadis—terlalu kuno—alhasil sebagai cowok jomblo yang enggak pernah pacaran, mau enggak mau ya nurut saja, apa kata sesepuh.

"Taruh aja di sini. Kamu datang enggak bilang-bilang, ngeselin tau!" Annora masih memalingkan pandangan, menghadap jendela kaca berukuran besar seakan tidak ingin melihatku, sambil sesekali mengusap wajah. Rada nyelekit, sih, tapi mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan atau dia terlalu bahagia karena kedatanganku hingga tak kuasa menahan haru. Always be positive thinking, itu kata Annora kalau aku mulai rada cemas dengan kesehatan Annora setiap kali kami ngobrol di HP.

"Malu, ya baru bangun terus ileran. Makanya enggak mau lihat gebetan?" Amber nyeletuk lalu ketawa-ketiwi sambil mengambilkan tisu basah dari laci nakas kemudian memberikannya pada Annora.

Aku yang dengar cuma senyum. Sebenarnya tahu ginian juga enggak bikin kaget, sih sebab di selama kampus dan Annora nempel-nempel terus kayak lintah, menurutku dia itu tipe anak cuek, enggak tahu malu, frontal, dan kadang norak bin ngeselin, jadi prilaku begitu sudah sangat manusiawi.

"Ileran? Tumben-tumbenan malu, biasanya kamu yang suka bikin orang malu terus dengan santai pakai bilang 'Cuek aja kalik, Kak!' Sudah lihat sini, biar pun ileran kamu tetap cantik, kok." Eh, barusan yang bilang tadi siapa? Jelas bukan Darka, 'kan? Itu bukan kamu banget, loh!

Seketika mataku melebar saat menyadari satu hal. Barusan, alam sadarku melakukan protes besar-besaran karena ngomongin hal aneh. Banteng makan beling! Yang tadi itu enggak termasuk gombalan receh, 'kan? Sibuk bergelut dengan pikiran sendiri, kudengar Amber ketawa ngakak lalu menepuk bahuku berulang kali, sedangkan Annora dengan netra berbinar menatapku lekat.

"Coba bilang sekali lagi, Kak. Seriusan, ini pertama kali, loh kamu bilang aku cantik." Annora mengganti posisi duduknya menjadi berhadapan langsung denganku. "Biasanya kamu bilang aku jelek, norak, lebay, dan kawan-kawannya."

"Hah, serius Darka enggak pernah muji kamu?"

"Iya, Amber. Astaga kupingnya Darka, eh Kak Darka sampai merah berarti itu beneran dari lubuk hati paling dalam! Oh, God, bisa panggil dokter sekarang, enggak? Aku sudah lebih dari kata sehat, loh. Pulang sekarang pun tak masalah kalau Kak Darka muji aku terus. Fine yang begini kudu update status sekarang!"

Dan akhirnya aku kembali ke dunia nyata kemudian segera merampas ponsel Annora. Ya kalik ngebiarin dia koar-koar di medsos, bikin malu yang ada. "Aku tarik omonganku yang terakhir tadi dan eh ...." Tiba-tiba ucapanku terputus, baru sadar kalau Annora sudah enggak pakai selang oksigen lagi. Beneran sudah bisa bernapas normal atau cuma sok-sok-an supaya orang-orang enggak cemas. Buru-buru kualihkan pandanganku ke tabung oksigen di samping tempat tidur Annora, tidak ada gelembung-gelembung air di tabung tersebut, jadi Annora sudah baik-baik saja. "Beneran sudah sehat?" tanyaku heran lalu tawa Annora terdengar di telingaku.

Annora mengangguk kuat. "Sehat karena barusan denger pujian dari Kak Darka."

Nah, mulai, deh gombalnya bikin malu aja, padahal lagi di depan sepupunya.

"Tinggal nunggu infus-nya habis, besok pasti sudah ngampus. Sudah kangen banget, ya sampai bela-belain datang ke sini. Oh, habis ini kita foto bareng, ya," ajak Annora, mengambil bunga matahari pemberianku lalu memeluknya. Netra hijau cerah itu menatap bergantian ke arahku dan Amber jadi kami berdua refleks mengangguk.

"Darka, habis ini—" Perkataan Amber seketika terputus, teralihkan dengan perhatian kami bertiga ketika pintu kamar Annora terbuka, memperlihatkan Tante Jane yang berhenti sesaat di depan pintu.

Seperti waktu yang tiba-tiba berhenti, aku menyadari bahwa Tante Jane sempat terpaku menatapku, memberikan tatapan terkejut lalu buru-buru menyunggingkan senyuman canggung saat suara jangkrik mulai terdengar di kepala kami. Sejak kemarin kadang suka mikir, kenapa Tante Jane selalu berekspresi terkejut setiap kali melihatku. Bukan kaget lebay, sampai mulut terbuka lebar dan mata membelalak, tetapi hanya jenis kaget yang membuat pupil melebar. Enggak mungkin, 'kan Tante Jane terperanjat karena aku mirip dengan mantan pacar atau mantan pembantu beliau?

"Astaga, Tante enggak tahu kalau ada Darka." Tante Jane meletakkan tas di sofa lalu memberikan pelukan hangat untukku dan itu cukup lama. Membingungkan, tapi nurut saja, lah.

"Datangnya juga tiba-tiba, kok, Tante. Untung ketemu sama Amber."

"Oh, kalian sudah saling kenal?" Tante Jane melepas pelukannya lalu memeluk Amber dan memberikan ciuman di pipi.

Khas bule banget.

"Saling kenal beberapa menit yang lalu, Theía," sahut Amber yang seketika membuatku mengernyit.

"Theía?"

Amber tertawa kecil. "Bahasa Yunani, artinya bibi. Kamu enggak tau kalau Annora keturunan Yunani-Indo?"

Aku menggeleng, karena emang enggak tahu dan enggak pernah nanya. Mikirnya malah Annora bule asli yang mengadu nasib di Indonesia.

"Kak Darka mana pernah nanya gituan yang ada malah ngomelin aja, tapi itu malah ngangenin." Annora ikut menimpali. "Kalian bisa keluar bentar, gak? Jangan ngintip. Nanti bukan cuma telinga Kak Darka yang merah, tapi hidungnya bisa mimisan, kalau kamu 'kan sudah biasa."

"Sudah biasa apaan? Ambigu banget. Aku enggak separah itu juga kalik. Ayo, Dar nongkrong sebentar, sambil ngomongin rahasia. Anak cewek dilarang tau. Wee!" Amber menjulurkan lidah sambil menjambak pelan rambut Annora kemudian menarik tanganku untuk kabur gitu aja, tanpa permisi.

Sayup-sayup kudengar Annora menjerit kesal, hal kecil yang membuat kami tertawa. Aneh, baru kali ini bisa cepat akrab dengan orang baru. Padahal dulu selalu butuh waktu berminggu-minggu agar bener-bener akrab, sedangkan sekarang hanya butuh hitungan menit kemudian akrab begitu saja. Boleh geer, enggak, sih? Mungkin Amber benar. 'Everyone know you because Annora always talk about Darka.'

Seketika jadi ngerasa kayak seleb top saja.

Di Kafetaria Rumah Sakit Tanosudibyo, tempat yang terlampau luas untuk sekadar mengisi perut dan menurutku ini hal wajar, karena Rumah Sakit Tanosudibyo adalah salah satu rumah sakit swasta terkenal di Bandung. Suasananya tergolong sepi sebab sekarang memang bukan jam makan. Amber menuntunku ke arah meja yang terdekat dengan mesin minuman dingin, bersebelahan dengan jendela kaca berukuran besar hingga mencapai langit-langit, dan memiliki spot pemandangan mengarah taman, tempat biasa para pasien serta pengunjung menghirup udara segar. Ditengah rasa kagumku atas karya seni arsitektur yang di miliki rumah sakit tersebut, Amber meletakkan dua kaleng kopi susu di atas meja; satu untuknya dan satu untukku.

Amber berdeham, membuatku refleks menatapnya secara langsung.

"Mau dengar cerita di balik pertemuan pertama kalian yang sebenarnya cukup kacau buat dijadiin film, enggak?" tanya Amber, sambil membuka kaleng kopi lalu meneguknya beberapa kali. "Seharusnya kamu berterima kasih sama aku. Kalau bukan aku yang ambil alih, mungkin kamu sudah dipecat sama bos galak itu."

"Emang gimana ceritanya?" Akhirnya terpancing juga, padahal tadi pengen sok jual mahal dulu, pura-pura enggak peduli.

"Penasaran, ya?" Amber tertawa geli, matanya mengerling jenaka.

Ayam penyet! Pake nanya lagi, yaiyalah.

"Aku ceritakan, tapi janji jangan bilang-bilang dan aku juga pengen kamu bantuin Annora."

Wah, gila, ini satu keluarga doyan buat janji kalik, ya? Janji itu hutang dan bayarnya susah apalagi kalau model begini. "Bantuin apaan?"

"Janji dulu," tuntut Amber.

Ingin rasanya mukul meja lalu berdiri dan teriak-teriak di depan Amber, sumpah gemas banget sama ini orang. "Iya, apaan, sih? Bikin kepo, sumpah," kataku sinis sekaligus enggak sabaran.

Dasar bule bulukan, bukannya langsung cerita dia malah ketawa lalu kembali menikmati kopinya. "Bantuin Annora. Caranya kamu bersikap biasa-biasa aja. Jangan anggap dia lemah. Annora pengen orang-orang terdekatnya nyemangatin dia dan enggak kasih tatapan kasihan. Hal itu ngingetin Annora kalau umurnya dipangkas karena penyakit cystic fibrosis. Aku tebak kamu datang ke sini pasti karena sudah tahu semuanya lalu—"

"Amber! Sorry aku potong omonganmu. Bersikap biasa-biasa saja seolah enggak ada apa pun itu sulit! Sadar enggak, kalau kalian sama saja dengan menuntut dia supaya menahan rasa sakit itu sendirian!" Dari awal Amber ngomongin masalah penyakit Annora seolah ini masalah kecil, seketika amarahku sudah naik sampai ke ubun-ubun. Gimana bisa orang-orang terdekat Annora bersikap demikian?!

"Kamu bicara soal penyebab karakter eccedentesiast itu muncul, ya? Well, bukan kami yang menuntut, tapi Annora karena melihat muka orang-orang khawatir dan kasihan itu enggak enak. Annora pernah bilang, bahwa hal tersebut malah bikin dia jadi enggak bisa bebas dalam melakukan sesuatu, sebab mereka pasti bakal ngelarang. Padahal dia mau nikmatin yang namanya hidup normal. Jadi karena kamu terlanjur tahu rahasia terbesar Annora, aku menuntutmu untuk bersikap biasa." Amber menepuk pundakku dan menatap lekat-lekat.

Rasanya jadi serba salah berada di posisi seperti ini. Di sisi lain, mungkin ada baiknya waktu itu aku enggak tertarik dengan sampul buku Journal of Memory yang ternyata milik Annora, sedangkan sisi lainnya malah berpikir, mungkin Tuhan punya rencana lain tentang alasan kenapa aku harus mengetahui hal tersebut.

Aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa, hingga Amber kembali berdeham dan tertawa renyah yang sebenarnya ketahuan banget kalau itu tidak alami. Pasti dia juga merasa sedih.

"Jadi mau dengar cerita di balik pertemuan pertama kalian, enggak?" tanyanya lagi, sambil memuku-mukul pundakku lumayan keras.

Kalau bukan dalam suasana serba salah begini, pasti pukulan itu sudah kubalas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top