22. Cystic Fibrosis

Jika mutasi gen pada film seri X-men itu nyata dan malah memberikan seseorang kemampuan khusus, maka aku tidak akan sekhawatir ini memikirkan Annora. Cystic fibrosis yang tertulis di Journal of Memory memang sesuram demikian. Annora menggambarkan jaringan gen manusia pada Journal of Memory menggunakan warna-warna gelap kemudian menambahkan sosok Grievers, monster berlendir di novel The Maze Runner—sedang memakan, serta merusak gen tersebut, kalau tidak salah di bawahnya tertulis 'You take my life slowly, but you can't take the special memories I always make in this journal.'

Aku mengerti bahwa kata 'You' pada kalimat itu diumpamakan sebagai cystic fibrosis, karena cystic fibrosis merupakan penyakit keturunan yang secara nyata bisa memperpendek umur seseorang. Annora juga menggunakan tokoh Grievers, untuk menggambarkan bagaimana cystic fibrosis telah memutasi gen-nya dengan mempengaruhi sel-sel kelenjar keringat, lendir, dan cairan pencernaan, sehingga menghasilkan lendir yang jauh lebih kental serta lengket dari biasanya. Menurut Mbah Google, keadaan itu memberikan efek negatif pada tubuh, terutama paru dan pankreas.

Kedua alisku saling bertautan ketika membaca salah satu artikel di Google mengenai cystic fibrosis di komputer warnet, padahal baru paragraf pertama dan tangan kananku sudah menyentuh dada bagian kiri—seketika rasa teriris-iris ditambah guyuran air garam di dalam sana semakin terasa menyakitkan.

Sebelum mampir ke warnet, saat pulang kampus, di perjalanan Annora mengirimkan chat untukku sekadar memberikan gombalan receh dan foto dirinya di ruangan bercat putih, sambil memamerkan senyum paling lebar di dunia—caption-nya pun hanya tiga stiker hati berwarna ungu lalu dia menuliskan 'I purple you' enggak tahu maksudnya apa, tapi pasti bukan hal buruk karena hati berarti cinta. Di waktu bersamaan, tanpa bertanya pun aku juga mengetahui, bahwa Annora masih terjebak di rumah sakit dalam kondisi lemah—dia masih saja menjadi karakter eccedentesiast—melepas selang oksigen, menyembunyikan tangan kiri terinfus, dan mengenakan sedikit make up demi menyembunyikan wajah pucatnya, demi membuatku merasa baik-baik saja.

Padahal sampai sekarang perasaanku tidak sedang baik-baik saja. Beneran, deh kekhawatiranku semakin memuncak, hingga terasa ingin meledak dan jika tak bertemu Annora atau bersikap semestinya bakalan berakhir seperti virus menggerogoti kesehatan manusia. Seriusan, demi cabai keriput, aku bukan tipikal manusia yang jago melakukan fake smile disituasi kayak sekarang.

Mungkin Annora sengaja untuk tidak menyadari, tidak mengetahui, dan tidak memedulikan senyum sok tegarku yang selalu kuperlihatkan di setiap malam video call kami. Jika Tante Jane tahu, bahwa anak gadisnya bergadang semalaman hanya demi berbincang hal tidak penting dengan cowok kurang ganteng lalu mengabaikan kesehatannya, maka bisa jadi aku akan menjadi sasaran pembunuhan. Namun, Annora terlalu pintar menyembunyikan hal tersebut, dia bersembunyi di balik selimut lalu tetap memaksaku untuk mengobrol, meski yang kulakukan hanya menyahut karena lebih mengkhawatirkan kesehatan cewek itu.

"Perjanjian supaya enggak ember, enggak kepo, enggak galau? Bodo amat! Itu bukan perjanjian yang menguntungkan, Ann! Kamu dilarang untuk memaksakan orang lain supaya bisa bersikap sama kayak kamu." Aku memukul meja komputer kuat-kuat, hingga menimbulkan bunyi dan berhasil menarik perhatian. Beberapa orang menegurku, agar lebih santai kalau diputusin cewek atau memang kalah main game. Enggak aneh, warnet dekat kampus sekarang berubah haluan jadi tempat tongkrongan para gamers, sejak dua tahun lalu.

"Kalau enggak boleh tanya sama siapa pun, bukan berarti aku enggak boleh tanya sama Google. Dia mesin, bukan manusia jadi ini bukan ingkar janji dan perjanjian supaya jangan kepo, anggap aja lupa." Kembali mengklik laman selanjutnya, mataku kembali membaca deretan kalimat memusingkan mengenai cystic fibrosis.

Demi mutasi gen-X manusia super! Mataku seketika membulat bahkan rahangku bisa saja terjatuh ke atas keyboard kalau saja bukan cipataan Tuhan. Barusan aku mendapatkan fakta bahwa penyakit yang diderita Annora merupakan salah satu penyakit langka. Di Indonesia, kejadian seperti ini bahkan kurang dari 150 kasus per tahun dan sampai sekarang belum ada obat untuk menyembuhkan cystic fibrosis.

Ya Tuhan, sekali pun aku enggak pernah mengira kalau Annora punya penyakit separah itu, jadi dua kata untuk Annora 'Aktris terbaik'. Dia terlalu pintar menyembunyikan rasa sakitnya di depan orang-orang sekitar.

"Jadi selama ini Annora cuma dikasih perawatan untuk meringankan gejala dan mencegah komplikasi. Dia selalu bilang 'Supaya aku bakalan kangen kalau dia enggak ada.' Maksudnya ... astaga kentang beranak!" Setelah teringat dengan perkataan-perkataan aneh Annora, akhirnya aku mendapatkan kesimpulan yang menyakitkan, yaitu bisa jadi umur cewek itu enggak sepanjang semestinya sehingga buru-buru kutinggalkan warnet dan pergi ke rumah sakit. Bodo amat kalau nanti dia marah atau bakal ngusir kayak ibu tiri, yang penting sekarang kudu ketemu dulu.

"Satu lagi, Annora suka bunga matahari. Pasti ada alasan kenapa dia menyukai, jadi kalau pun diusir enggak bakalan sedih-sedih amat. Oke, sekalian izin telat sama Boss Benji."

***

Pukul tiga sore, di Rumah Sakit Tanosudibyo, suasana masih seramai seperti biasa. Bahkan di bagian rawat jalan terlihat penuh sesak di beberapa tempat, rombongan perawat magang melintasiku di dekat ruang pemeriksaan spesialis penyakit kulit, sesekali beberapa pasien di atas kursi roda juga terlihat di lorong menuju bagian rawat inap dan radiologi, sedangkan tujuanku sendiri mungkin pusat informasi.

Sok-sok-an mau kayak cowok romantis, jenguk enggak bilang-bilang, pakai bohong segala, dan sekarang hati was-was takut Annora enggak ada di ruangannya, terus malah ketemu dengan orang tua cewek itu, dan berakhir dengan wawancara dadakan. Beneran kayak cowok cemen, tapi yang kukhawatirkan nanti adalah obrolan kami jadi tidak berbobot dan cenderung menceritakan cerita memalukan tentang kelakuan kami berdua. Kalau diingat-ingat kita memang enggak pernah bikin kegiatan berarti, kebanyakan hanya main-main di parit besar, berenang bareng ikan-ikan koi, makan ikan koi bakar hasil nangkep diam-diam di parit besar, dan terakhir manjat pohon lewat jendela kamar sambil ngomongin reinkarnasi.

Enggak jelas dan enggak berfaedah banget, 'kan? Eh, tapi ada satu, ding yang bermanfaat, yaitu bantuin Fariz jualan poffertjes sekaligus berpartisipasi dalam event ulang tahun Prodi Hubungan Internasional.

Dasar enggak peka! Aku memukul kepalaku. Waktu itu Annora jelas-jelas kasih kode dan orang bego ini malah memperparah keadaan dengan ngomong kalau dia sudah kayak orang mau mati. Oh, Darka, terkutuklah!

"Permisi, boleh saya tanya di mana ruangan atas nama pasien Annora Almeta?" tanyaku, berlagak kayak omongan mba-mba customer service di bagian informasi, ralat di ruang perawat bagian rawat inap.

Mbak perawat terlihat berusaha menahan tawa lalu matanya sempat tertuju pada tiga tangkai bunga matahari di tanganku. "Bunganya buat Annora, ya?"

Ditanya malah balik nanya. Kalau ujian semester bisa begini, enggak perlu lagi yang namanya belajar supaya bisa ngejawab. "Bukan, tapi buat Tante Jane biar beliau kasih ke orang yang lebih tepat." Dan orang itu Annora, tapi enggak mungkin bilang terang-terangan ke perawat itu. Sudah ketebak duluan, kalau di-iya-in bisa besar kepala perawat di depanku ini kemudian berlanjut jadi kepo dan akhirnya waktu bertemu dengan Annora jadi makin sedikit. "Jadi kamarnya di mana, ya?"

Kuda liar ketemu mantan! Ini perawat malah ketawa ngakak, receh banget sumpah, padahal barusan aku enggak ada ngelawak sedikit pun atau tanpa kusadar tadi ada komedian yang barusan lewat.

Memilih diam dan menunggu mba perawat tenang, aku juga ngerasa lucu sendiri kalau ingat solusi Putri waktu kubilang pengen kasih bunga matahari ke Annora. Namun, bukan sekadar bunga, aku mau yang memiliki arti lebih dalam, jadi kuputuskan buat iseng cari jumlah gen pada tubuh manusia. Awalnya, santai-santai saja karena kupikir jumlah yang banyak itu bisa diakali dengan bunga-bunga berukuran kecil. Akan tetapi, Putri malah mematahkan ideku dengan mengatakan kalau Annora cuma suka bunga matahari, sehingga karena jumlah gen manusia sekitar 21.000 menurut David Bodine, Ph.D dan uangku jelas enggak cukup untuk beli bunga matahari sebanyak itu, Putri menyarankan agar menggunakan metode penjumlahan 2+1=3 jadi bunga yang kuberikan adalah tiga tangkai.

Berkelas, irit, dan cerdas kalau nanti Annora nanya. Ya, semoga saja dia nanya 'kan biar keliatan romantis. Ingat banget waktu Fariz ngasih tips PDKT, di mana kata Fariz cewek itu paling suka kalau diromantisin.

"Annora di kamar VIP, lantai empat. Dari pintu lift belok kanan terus di kamar No. 13 paling pojok. Butuh peta?" tawar si perawat yang seketika membuatku mengernyit heran. Memangnya aku keliatan kayak orang bingung atau gampang tersesat, ya? Enggak lihat ini almamater apa? Enggak lihat ini badan segede apa? Ya, kalik kalau nyasar malah mewek yang ada, seluruh cowok dua puluh satu tahun di Indonesia bakalan malu kalau denger berita gituan.

"Ah, enggak terima kasih." Tanpa basa-basi dan ngebiarin mbak perawat ngomong aneh-aneh lebih lama lagi, aku pun segera pergi menuju lift, menekan angka empat dan menunggu.

Di dalam lift bukan hanya aku, tapi ada cowok lain tepat di sebelahku. Sambil main HP, dia mengangguk-anggukkan kepala, telinga kanannya terpasang earphone, dan semakin dikepoin muka cowok itu terasa enggak asing. Kalau bicara masalah gaya, orang di sampingku ini beneran K-Popers abis, rambut dicat abu-abu silver lalu di dagu serta hidungya tersangkut masker hitam. Seriusan, deh baru tahu kalau sekarang masker berubah tugas yang dulu jadi pelindung hidung dan mulut, sekarang malah jadi pelindung mulut dan dagu.

Beberapa kali pandangan kami bertemu, pertanda kalau diam-diam cowok K-Popers itu sedang merhatiin aku dan sumpah, deh ini malah bikin penasaran sekaligus parno kalau-kalau ternyata dia penyuka perjaka. Namun, semoga dia bukan salah satu penganut LGBT yang suka sama berondong usia dua puluhan. Beneran, situasi kayak gini bahaya banget, apalagi sekarang kita lagi berduaan di ruangan sempit serta cuma ditemani kamera CCTV. Akibat mikir yang aneh-aneh, seketika waktu menuju lantai empat jadi terasa bertahun-tahun, ditambah cowok K-Popers itu sesekali tertawa pelan.

Halo, aku dengar, loh. Apa kita saling kenal, pernah ketemu atau kamu salah satu pelangganku di toko bunga?

Denting lift akhirnya berbunyi. Buru-buru aku melangkah keluar lalu berbelok ke arah kanan menuju kamar 13—angka horror menurut kepercayaan barat dan sekarang emang beneran horror karena ternyata, cowok K-Popers lagi ngikutin. Seketika sudah kayak cewek yang ketakutan karena ada cowok mesum di belakang mereka. Andai dulu pilih ekskul beladiri pasti enggak bakal separno ini, tinggal tonjok masalah selesai, tapi berkelahi bukan kesukaanku. Jiwaku cenderung feminin, tapi bukan berarti banci.

Lagipula, bukankah kedamaian lebih menyenangkan dan lebih menenangkan?

"Hai, Bung!"

Seketika suara itu menghentikan langkahku dan refleks menoleh ke belakang.

"Sunflowers," katanya lalu tertawa sebentar. "I know you, man! Kamu yang kerja di Toko Bunga Dahlia dekat rumah sakit, 'kan?"

Aku mengangguk lalu belum sempat ngomong macam-macam, cowok K-Popers nyerocos lagi.

"Aku yang pernah kamu layanin waktu pesan sunflowers pakai pita biru lalu kamu tinggal gitu aja karena ada yang nyuri bunga kamu. Astaga! Apa boss-mu marah padamu?"

Dan akhirnya kepingan-kepingan ingatan itu tersusun sempurna, pantesan kayak enggak asing sama mukanya. Mas bule yang waktu itu ternyata sekarang lagi pindah haluan menjadi K-Popers, sampai gaya fashion-nya saja keren abis, rambutnya pun berubah warna jadi abu-abu silver. Enggak lama lagi mungkin dia bakalan daftar buat jadi Idol di Big Hit Global Audition, sama kayak ambisi Fariz kalau dia gagal masuk Universitas Brawijaya, maka pilihan terakhir adalah mengadu nasib di Korea Selatan jadi pedagang atau Idol, katanya.

Setiap kali Fariz bilang begitu, maka yang kulakukan adalah memukul kepalanya. Dia kebanyakan kena racun drama nenek, makanya jadi ikutan berencana buat mengadu nasib di Korea Selatan dan salah satu alasannya adalah karena cewek di sana rata-rata imut bin bening.

"Untungnya enggak," kataku super pendek, karena memang Boss Benji enggak marah waktu itu dan hal tersebut terjadi berkat Annora. Entah apa yang mereka bicarakan, aku masih belum tahu sampai sekarang yang penting kejadian itu sudah berakhir dan menjadi awal kehadiran Annora sebagai biang keributan dalam kehidupanku.

"Sorry, itu ulah sepupuku dan ...." Mas bule alias cowok K-Popers mengalihkan pandangannya ke tiga tangkai sunflowers yang tergenggam rapat di tanganku lalu tersenyum ramah. "Sunflowers for Annora, right?"

"Hah? Kok tau?" Enggak ngerti kenapa orang-orang di sini pada berubah jadi cenayang. Banyak banget yang nanya rasa nuduh dan itu bener semua.

"Dia sepupuku, makanya tadi kubilang maaf. Oke, let's meet her. Nanti akan kuceritakan versi lengkapnya. Oh, ya, aku Amber dan kamu Darka. Everyone know you, so no need to worry."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top