21. Journal of Memory

Tidak ada kata sebentar kalau sudah nemenin nenek ke rumah sakit, karena sudah pasti bakalan lama banget dan jika tetap memilih duduk di bangku tunggu selama berjam-jam, maka percaya, deh bisul di bokong pun akan pecah dalam sekejap. Jadi demi membunuh rasa bosan, biasanya buku-buku kesehatan atau koran harian di rak kayu sebelah bangku, tepatnya di bawah lukisan pemandangan desa akan menjadi target sasaranku untuk dibaca—terutama kalau batrai HP sudah sekarat.

Sebenarnya kalau dari tadi enggak main HP, mungkin batrainya bakalan bertahan jauh lebih lama dan bisa dipakai untuk dengerin lagu, tapi namanya orang cemas bin galau—kalau memang kondisi sekarang cocok disebut galau—aku tidak bisa sekali pun berhenti buat nelepon Annora. Seriusan, demi ngeliat Spiderman tiba-tiba jadi Iron Man, semua bom telepon dan chat enggak ada satu pun yang diangkat atau dibalas Annora. Gara-gara ini, sekarang jadi paham gimana perasaan menunggu, digantung, diabaikan sama cewek, begitu pula kalau ingat posisi Annora yang chat atau teleponnya sering kucuekin.

Dan demi menghilangkan perasaan gundah gulana karena dicuekin, khawatir, dan kangen berat sama Annora, akhirnya buku-buku di rak ini pun menjadi sasaranku, sambil nungguin nenek. Tanganku bergerak cepat, memilih sampul mana yang paling menarik hingga terakhir berhenti di buku warna merah magenta. Satu-satunya sampul paling berwarna di antara sampul lainnya, serta satu-satunya sampul dengan judul bukan tentang kesehatan, tetapi 'Journal of Memory'. Menarik, karena ditulis tangan menggunakan seni hand lettering plus ada gambar beruang memeluk seorang anak kecil perempuan dari belakang. Seketika jadi ingat Annora kalau lihat gambar ini.

"Jadi penasaran sama isinya, jangan-jangan cerita bergambar yang juga ditulis tangan. Siapa pun yang bikin, pasti punya banyak waktu luang sekaligus jiwa seni tinggi." Sambil kembali ke tempat semula kemudian mengambil posisi duduk paling nyaman, aku memutuskan membuka halaman pertama buku tersebut.

Dan beneran, deh apa yang tadi aku pikirkan tentang buku ini ternyata jauh lebih bagus dari ekspektasi. Satu halaman memiliki satu gambar berukuran sedang, lengkap dengan background, gradasi perubahan warna yang bagus banget, beberapa deret kalimat sebagai narasi tentang peristiwa tersebut, hand lettering untuk judul, dan terakhir kulihat ada tanggal kapan cerita ini digambar serta ditulis, lalu ada nama di sudut bawah sebelah kiri halaman. Tulisan bersambung, aku selalu kesulitan membacanya.

"Itu punyaku."

Kecoa asma! Suara itu mengejutkan, bahkan sukses membuat mataku jatuh ke halaman buku Journal of Memory yang kutemukan di rak buku bacaan tadi dan karena terlalu kaget, refleks aku menutup buku lalu menyembunyikan benda tersebut di balik punggung. Sudah kayak maling ketahuan nyuri dan ketika melihat ke arah suara barusan, seorang gadis yang beberapa hari ini kucari-cari sedang duduk manis di kursi roda. Tangan kiri diinfus, selang oksigen terpasang di hidung, dan tangan kanannya menengadah, seolah meminta barang tersembunyi di balik punggungku.

"Annora, kamu—"

"Itu bukuku, balikin. Kamu sudah baca tanpa izin. Enggak lihat kalau disampulnya ada tulisan 'Private! Only the owner can read this book'?"

Annora menggoyang-goyangkan tangan kanannya, membuatku sedikit panik lalu buru-buru ngembaliin buku tersebut. Sebenarnya berat banget, tapi karena ternyata punya Annora dan dia minta dibalikin mau enggak mau, ya sudah, dibalikin.

"Aku harus pergi sekarang. Makasih, untung kamu yang nemuin bukunya kalau orang lain bakalan repot. Bego banget bisa kehilangan barang penting kayak gini."

"Ann, kamu sakit sampai begini kenapa enggak bilang-bilang dan malah hilang? Tahu enggak kalau aku ...." Untuk pertama kali, mungkin karena perasaan melankolis yang memuncak, akhirnya kugenggam tangan kanan Annora dan air mata sudah kayak mau berubah haluan jadi air terjun, tapi segera aku tahan kuat-kuat. Ya, kalik mewek di depan Annora yang ada bakal diledekin terus tersebar di seluruh Indonesia Raya.

Namun, bukannya balas menggenggam atau kasih pelukan hangat kayak di drama-drama, Annora malah mukul keningku dengan ujung buku lalu tertawa terbahak-bahak. "Kalau aku apa? Kak Darka mau bilang kalau kamu kangen berat sama aku, ya?" tanya Annora, sambil menutupi deretan giginya dengan menggunakan tangan kiri. Memamerkan selang infus yang tertanam di sana dan membuatku ingin menuntut, bahwa sekarang bukan waktu ber-haha-hihi.

"Tau enggak aku begini karena apa?" Setelah meletakkan Journal of Memory di pangkuannya, Annora menatapku lekat-lekat dan sukses membuat jantung jumpalitan tak keruan. Ia mengembuskan napas pelan. "Karena kalau dekat-dekat kamu, aku suka lupa gimana cara bernapas dan lupa cara tidur yang benar lalu ujung-ujungnya malah drop."

"Kalau sakit bilang aja, enggak usah sok kuat gitu. Beberapa hari tanpa kamu, aku jadi kepikiran apalagi waktu itu di penutupan acara kampus aku enggak sengaja lihat batuk kamu berdarah dan di buku itu ada tulisan cystic fib—" Annora menutup mulutku dengan tangan kanannya lalu setelah menoleh ke kanan dan kiri, dia mengerucutkan bibir.

"Darka, eh, Kak Darka sudah bongkar buku ini sampai mana? Ah, bodo amat, pokoknya sebagai penebusan dosa kamu harus janji jangan ngomong aneh-aneh atau aku enggak bakal mau kasih seribu ... eh, bukan, tapi sejuta cintaku lagi untuk Kak Darka." Annora melepaskan tangannya di mulutku kemudian tanpa ragu langsung mendorong jidatku dengan telapak tangan. Sama seperti yang dilakukan Fariz, jadi jelas ini anak belajar dari Fariz.

"Annora, pemeriksaannya sudah selesai. Ayo balik ke kamar lagi." Wanita berusia sekitar empat puluhan lebih menghampiri kami dan berdiri di belakang kursi roda Annora.

Karena seketika suasana canggung menyeruak, akhirnya aku cuma senyum kaku kayak boneka nutcracker lalu mengangguk.

"Tunggu sebentar, Ma," kata Annora, sambil menahan tangan perempuan itu. "Kakak tingkatku, namanya Darka. Dia yang sudah bikin hatiku selama ini jadi klepek-klepek. Direstui enggak, Ma?"

Seketika mataku membulat. Maksudnya? Bebek penyot! Gimana bisa Annora bilang gituan ke mamanya? Enggak ngerti, deh itu anak makan apaan, rasanya sampai mau menguburkan diri saja kalau sudah begini. Gara-gara dia suasananya malah makin canggung. Oh, God, semoga emaknya enggak ngadain wawancara dadakan.

Melihatku yang semakin kaku dan canggung akibat ucapan barusan, Annora malah ketawa renyah lalu memberikan bombardir wink tanpa sepengetahuan mamanya dan di waktu bersamaan, penilaian secara visual pun dilakukan. Takut-takut kulirik wanita di belakang Annora, beliau menatapku dari ujung kaki sampai rambut kemudian ada tatapan terkejut di sana. Samar, sih, tapi pupil di mata hijau pekatnya melebar dan seketika tersadar, akhir-akhir ini jadi sering ketemu orang bermata hijau. Mulai dari aku sendiri, Annora, terakhir tante berwajah mirip Annora.

Kalau ingat perkataan bapak tentang ibu, mungkin beliau agak mirip kayak mamanya Annora, sama-sama bule. Namun, jangan kira mukaku ikutan bule karena aslinya kulitku kuning, wajah pribumi abis, dan cuma postur tubuh, hidung, rambut cokelat gelap yang kucat hitam, serta mata hijau pekat doang yang bule. Mungkin jika ada kesempatan ketemu ibu, meski hanya jarak jauh bisa kita bandingkan seberapa banyak gen ibu ada padaku.

"Salam kenal. Semoga, Annora enggak bikin kamu kerepotan. Kamu bisa panggil saya Tante Jane." Sambil mengangguk ramah, mamanya Annora alias Tante Jane melemparkan senyuman untukku. "Maaf merusak acara temu kangen kalian, karena Annora masih butuh istirahat. Tenang, dua hari lagi Annora bakalan balik dan kalian bisa ketemu lagi."

"Enggak bakal ketemu kalau Kak Darka, enggak bilang janji, jadi aku tunggu janjinya sekarang atau lewat Line."

"Hah? Janji apaan?"

"Jangan pura-pura enggak tau, deh, Kak Darka. Kamu 'kan sudah lihat sampai ke dalam-dalamnya. Udah, ah, ayo Ma kita balik. Pokoknya kamu harus tanggung jawab karena sudah menyentuh sampai bagian pribadi!" Annora tertawa riang lalu buru-buru mengisyaratkan Tante Jane agar segera menjauh, sebelum aku menyusul demi menuntut agar mendapat kalimat yang lebih jelas.

Sadar enggak, sih kalau kalimat Annora itu ambigu banget dan berhasil bikin orang-orang di sekitar kami malah kepikiran yang aneh-aneh. Dikira mereka mungkin aku sudah nge-hamilin anak orang, sampai mau bunuh diri terus karena si anak gadisnya malah senang-senang saja, orang tuanya makin senewen lalu memilih memisahkan kami berdua demi harga diri keluarga akibat perbedaan kasta. Demi nasib gajah duduk kena sleding Ronaldo, khayalanku berubah haluan jadi lebih dramatis gara-gara kebanyakan nonton drama bareng nenek.

"Lalu lupa tanya ruangan Annora di mana dan lupa nama penyakit asing yang dia tulis di Journal of Memory. Pokoknya kudu cari setelah sampai di rumah, karena jelas itu pasti bukan penyakit biasa. Gambar dia terlalu suram untuk dikatakan penyakit ringan. Bodo, ah, kenapa enggak dikejar aja?" Setelah memukul kepala sendiri, akhirnya kakiku tergerak untuk menyusul Annora, tapi baru berlari beberapa langkah nenek malah memanggilku.

"Darka! Kamu mau ke mana? Nenek bilang jangan pergi jauh-jauh, 'kan? Ayo pulang, obatnya sudah ditebus." Nenek mengambil tas yang kuletakkan di bangku tunggu lalu menyampirkan benda tersebut di bahu rentanya. Ketika kulirik sesaat, ternyata diam-diam nenek mengikuti arah pandangku. "Perempuan yang ngobrol sama kamu sambil bawa anak gadis di kursi roda, kayaknya Nenek tau. Kamu kenal dia?"

"Itu An, eh bukan." Seketika ingat janji Annora kalau enggak boleh bilang macem-macem jadi dengan sejuta maaf untuk nenek terpaksa bohong dan bilang, "Itu tadi pasien anak yang ikutan check up dan mamanya ikutan nganter jadi ngobrol, deh sambil nungguin Nenek. Loh, Nenek kenapa mukanya kayak berpikir keras gitu?"

"Ah, enggak pa-pa, cuma kayak enggak asing. Ayo pulang. Oh, kamu sudah telepon Annora?"

"Sudah, Nek. Katanya dia memang lagi enggak enak badan dan terpaksa harus istirahat di rumah dulu jadi jarang main HP," ujarku bohong, tanpa berani menatap nenek.

Kebohongan pertama yang pernah kulakukan di hadapan nenek dan semua itu karena si buku merah magenta berjudul Journal of Memory punya Annora. Bukan hanya itu, tapi juga karena enggak mau buat nenek cemas, masalahnya firasatku bilang kalau penyakit Annora pasti tidak seringan yang dipikirkan Fariz, sebab kalau ringan pasti enggak bakal pakai selang oksigen.

Cystic fibrosis, akan kucari semua informasi tentangnya melebihi rasa kepoku dengan jawaban tugas-tugas kampus atau tren merangkai bunga terkini. Semoga bukan berita buruk yang kudapat, karena menjadi karakter eccedentesiast bukan keahlianku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top