20. Where's She? I Miss Her

Ada dua tipe manusia dalam menghadapi masalah atau kehilangan, yaitu mereka yang melepaskan semua kesedihan dan memilih untuk bahagia, serta mereka yang memutuskan untuk pura-pura bahagia. Tipe kedua dalam ilmu psikologi disebut sebagai Eccedentesiast—hal yang menarik perhatianku, karena mereka menyembunyikan rasa sakit atau masalah melalui senyum bahagianya.

Beberapa orang akan mengatakan bahwa tipe seperti ini adalah ciri-ciri munafik, tapi sebenarnya ungkapan itu salah. Senyum palsu hadir karena lingkungan sosial menganggap bahwa kesedihan adalah hal yang tabu. Tidak perlu mengelak tentang fakta tersebut sebab percaya enggak percaya, setiap kali melihat seseorang sedang bersedih maka kita akan menuntut agar mereka bahagia. Bukan karena peduli, tapi karena melihat orang bersedih itu tidak menyenangkan dan inilah yang kurasakan ketika tiba-tiba saja teringat dengan keberadaan Annora.

Aku khawatir, jika ternyata Annora menyembunyikan sesuatu dari balik senyuman hanya demi menghindari perasaan cemas dari orang-orang di sekelilingnya. Terlebih setelah kami melakukan lomba renang di parit besar tanpa kenal waktu, kulihat perubahan signifikan dalam diri Annora. Wajahnya pucat seperti kertas polos, sering kali menarik napas seolah aktivitas tersebut merupakan hal terberat, dan ketika mobil jemputan Annora datang seorang lelaki tampak mengomelinya—lebih terdengar panik—kemudian memberikan tatapan membunuh ke arah kami.

Masih menjadi misteri kenapa lelaki itu harus se-panik itu, tapi setelah beberapa hari pasca kegalauan hakiki karena tidak bertemu Annora dan akhirnya hanya mampu mendengar pesannya melalui radio yang dibacakan Rinjani--sang penyiar SBS--kurasa aku bisa menemukan jawaban berupa praduga.

Akan kuberitahu isi pesan Annora, meski tak sepenuhnya sama. Kurang lebihnya seperti, 'Aku baik-baik saja. Enggak tau, nih siapa yang Kak Darka maksud (bagian ini, serius dia sebut namaku dan itu menimbulkan reaksi lebay dari si penyiar radio) jelasnya hatiku masih sama kamu. No need to worry, karena sekarang aku lagi dalam perjalanan bisnis ikut papa ke Yunani sekalian pulang kampung.' Setelahnya, ia meminta agar lagu RAN yang judulnya Dekat Di Hati.

Senang, sih akhirnya dapat kabar dari Annora. Namun, enggak ada musim panas, enggak ada liburan, aku juga menaruh curiga bahwa ada yang tidak beres terhadap diri Annora Almeta.

Seperti slogan orang-orang di zaman dulu, yaitu buang perangai di mana itu memiliki arti kurang baik dalam hal peruntungan, semacam pertanda buruk. Pasalnya mana ada mahasiswa yang rela pulang kampung berlama-lama dimusim ujian akhir tengah semester seperti ini?

Sudah seminggu Annora tidak terlihat di mana pun. Bahkan saat aku memutuskan untuk datang ke kelasnya. Waktu itu teman-teman Annora mengatakan, bahwa sudah enam hari lebih cewek itu tidak masuk kuliah dan kalau dihitung-hitung, berarti dia mulai menghilang setelah kami makan ikan koi bakar bareng setelah capek berulang kali balapan renang di parit besar. Semakin diingat-ingat juga waktu kita; aku dan Fariz nganter sampai depan gerbang kampus, Annora tampak lagi enggak enak badan lalu saat bekerja di toko, Putri bilang ada percikan darah di ujung baju bagian depan. Sempat membuatku bertanya-tanya, sih karena sebelumnya aku sempat mampir sebentar ke toko bunga buat kasih tau Boss Benji, bahwa ada teman satu angkatan yang katanya mau gantiin posisi sementaranya Kirana.

Bodohnya, diawal aku mengira itu darah nyamuk dan di waktu bersamaan Putri malah nuduh aku habis berantem atau diserang orang di jalan. Saat kutanya kenapa Putri bisa berpikir demikian, alasannya pun enggak elit banget, yaitu karena berita terakhir yang dia tonton hari ini adalah tentang seorang pemuda yang sekarat akibat menjadi korban pengeroyokan massal.

"Berarti darah di baju kamu itu punya Annora, dong," kata Fariz menyimpulkan semua curhatanku. "Kayak di TV kalau tokohnya sakit dan batuk-batuk, pasti keluar darah di saputangannya. Terakhir muka Annora pucat enggak?" Fariz meminum teh botolnya lalu bersandar pada pagar jembatan, sambil ngeliatin ikan koi yang sedang sibuk makan pelet.

"Enggak sama sekali, tapi batuknya itu sudah kayak suara kucing kejepit."

"Maaf-maaf aja, deh. Enggak pernah dengar suara kucing kejepit." Fariz menggaruk kepalanya, membuatku gemas karena gagal paham dengan perumpamaanku tadi.

Aku mengatur napas, berusaha merileksasikan emosi dan kembali berkata, tanpa mengumpat. "Itu perumpamaan, Kecoa buntal! Maksudnya batuk yang sampai kepayahan dan kayaknya Annora doyan banget kasih fake smile ke orang-orang."

"Fake smile. Munafik, maksudnya?" Sebelah alis Fariz terangkat. "Apa hubungannya dengan batuknya Annora?"

Wah, gila, ini anak otaknya sudah digulung ombak sampai sekarang masih enggak paham. "Aku sabar, loh, Riz. Maksudnya, Annora itu—"

"Oh, iya, paham-paham. Maksudnya pura-pura bahagia, pura-pura sehat, padahal lagi sakit karena enggak mau buat orang-orang di sekitarnya khawatir. Ya elah, itu drama banget! Optimis aja, lah bahwa memang Annora enggak lagi sakit parah."

Fariz beranjak dari tempatnya lalu menyusulku untuk duduk di semen bidang miring. Menepuk pundakku pelan, dia merebut pelet ikan koi dan melemparkan sedikit-sedikit ke parit besar.

"Enggak ada penyakit ringan kalau sampai batuk berdarah, Riz. Aku kepikiran buat nelepon dia dari beberapa hari lalu."

"Kangen, ya?" tuduh Fariz. "Wajar, sih kangen. Dia 'kan sudah kayak bayangannya kamu ke mana-mana selalu nempel, mungkin kalau ke toilet cowok atau tempat lain bisa bareng, Annora juga bakalan ikut. Oh, satu lagi siapa bilang enggak ada penyakit ringan kalau sampai batuknya berdarah?"

"Ya, aku, lah, jamur!" seruku enggak kuat buat nahan gemas lalu memberikan bonus jitakan di kepala Fariz. Ini anak cakep-cakep, tapi bikin kesal kayak enggak niat mau nyimak curhatan teman.

"Dengerin dulu, astaga! Kamu jadi sensitif gara-gara lima hari enggak ketemu Annora, ya?" Kali ini Fariz yang mendorong keningku dengan telapak tangannya lalu kembali melanjutkan kalimatnya. "Gini, deh, batuk berdarah itu memang kebanyakan mengarah ke penyakit yang parah-parah. Itu karena di TV keseringan dibuat begitu, padahal aslinya ada juga, kok yang cuma karena dia lagi iritasi tenggorokan.

"Nah, iritasi tenggorokan itu karena ada perasaan gatal luar biasa dengan tenggorokan biasanya, sih bakal hilang selama dua minggu, tapi ya tetep kudu periksa ke dokter. Jadi ya positive thinking aja. Enggak usah lebay mikirin yang aneh-aneh."

Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Fariz, akhirnya aku hanya bisa melongo karena berpikir, ini anak dapat ilham dari mana? Lalu bukannya itu terlalu optimis, maksudku kita harus siap-siap juga dengan keadaan terburuk. Jujur, deh kalau sudah nyambung-nyambungin omongan Annora dan tingkah laku cewek itu rasa khawatir malah semakin menjadi-jadi.

"Pas pulang nanti, aku bakal telepon dia." Beranjak dari semen bidang miring, aku memperbaiki letak tas lalu bersiap untuk pergi.

"Kenapa harus tunggu pulang? Butuh banyak waktu buat sampai ke rumah, tau!"

"Beli pulsa dulu, Riz. Emang kamu mau ngasih?"

"Enggak. Ya sudah, ayo pulang. kampus juga palingan sudah sepi. Terlalu rajin buat lama-lama di sini, nanti dikira mau nyolong ikan atau kalau mau lebih heboh lagi kita malah dipikir siluman ikan koi." Fariz tertawa renyah lalu merangkul bahuku dan melangkah menuju tong sampah samping jembatan untuk membuang bungkus pelet sekaligus botol mimunya.

Kalau Annora ada di kampus, pasti itu anak juga ikutan nongkrong di sini lalu menimpali semua obrolan kami dengan gombalan recehnya, sekaligus terkadang hobi berbagi tips PDKT kesukaan cewek untuk Fariz. Alhasil parit besar yang dulunya cuma diisi oleh kesendirianku yang kadang-kadang ditemani Fariz, jadi ramai luar biasa sama suara cempreng Annora. Serius, deh, enggak perlu bohong lagi, beberapa hari tanpa Annora terasa sepi, ditambah rasa khawatir sebab pesan atau video call lewat aplikasi Line juga tak kunjung datang.

Terkadang juga suka mikir sekaligus membodohkan diri sendiri, kenapa dari kemarin-kemarin waktu Annora ada enggak pernah nanya alamat rumahnya atau kalau mau modus sekalian diantar saja waktu pulang ngampus.

Akan tetapi, buat ngelakuin itu memang berat, sih masalahnya Annora itu ngeselin dikasih hati suka ngelunjak dan bakal koar-koar ke sana-kemari, naik sepeda bareng pun beritanya sudah sampai ke mana-mana. Asal kalian tahu, malam setelah kejadian tersebut Annora nyebar status di seluruh akun medis sosialnya dengan tulisan; Lihat punggung tegapmu, memelukmu dari belakang seperti pelukan beruang, lalu dengar kayuhan sepedamu, rasanya mengalahkan melodi dan pemandangan surga. Terima kasih untuk hari ini @Dsagraha saranghae.

See? Annora itu norak! Belum lagi dengan status-status lainnya tentang momen kebersamaan kami, tapi sekarang malah bikin kangen.

"Semoga yang dibilang Fariz itu bener," kataku setelah menerima beberapa lembar uang kertas dari supir angkot lalu berjalan masuk ke dalam komplek perumahan, sambil melepas dasi seragam kampus yang melilit leher.

"Darka!"

Baru saja keluar dari kios pulsa sambil jajan es lilin, tiba-tiba seseorang memanggilku lalu menghentikan motornya dengan suara mesin yang sungguhan enggak asing lagi di telinga. Si pengendara motor melepaskan helm-nya lalu menyerahkan benda tersebut untukku.

"Ikut nenek ke rumah sakit. Kamu yang bawa motor, kepala nenek sudah muter-muter enggak keruan." Nenek menarik tangan kiriku, menyerahkan helm tersebut dan setelah memarkirkan motor, tanpa persetujuanku nenek sudah duduk di jok penumpang.

Oh, oke ini penculikan secara tidak langsung. Nenek bahkan enggak nawarin dulu mau makan di rumah atau di luar, tapi ya sudah, lah daripada nenek nanti kenapa-kenapa di jalan. Aku pun segera menghabiskan es lilin yang barusan kubeli di warung pinggir jalan di depan perumahan, kemudian cepat-cepat memasang helm dan mulai mengendarai motor.

"Nenek enggak minum obat hipertensi-nya lagi, ya?" tanyaku, selalu curiga kalau nenek mengeluh kepalanya sakit atau terasa berputar. Bukan maksud menyalahkan, tapi nenek memang suka lupa dan selalu bosan kalau terus-menerus minum obat katanya enggak bagus buat ginjal. Padahal, dokter pernah bilang supaya nenek rutin minum obat, bukan hanya kalau lagi tekanan darah naik.

"Bukannya enggak minum, tapi obatnya habis dan nenek lupa harus kontrol lagi. Pas lagi sakit begini baru ingat. Biasalah ingatan tua."

"Jangan tunggu sampai sakit banget baru berobat. Aku belum mau pisah sama nenek, cukup bapak yang tiba-tiba pergi," kataku sendu dan mendapat respon usapan di bahu. Seketika rasanya mau mewek, karena nenek adalah orang terdekatku dan satu-satunya perempuan yang merawatku sejak kecil.

"Siap enggak siap yang namanya kematian pasti datang," kata nenek. "Sudah, parkir di sini aja enggak usah jauh-jauh."

Aku menuruti ucapan nenek dan memarkirkan motor di dekat pintu keluar parkiran khusus motor. Berjalan di sisi nenek menuju gedung Rumah Sakit Tanosudibyo kemudian melangkah ke bagian rawat jalan.

Sebenarnya, aku hampir melupakan niat awalku untuk menghubungi Annora, jika nenek tidak menanyakan keberadaan gadis itu dan ternyata, bukan cuma aku yang rindu Annora, tapi nenek juga bahkan Boss Benji dan Putri pun ikut-ikutan kirim chat lewat Line pake bilang 'Kangen Annora' plus stiker sedih.

"Aku baru mau nelepon dia habis isi pulsa, Nek. Tapi nenek keburu datang dan ngajak ke sini jadi nanti aja, lah neleponnya waktu sudah pulang."

"Telepon aja sekarang, lebih cepat lebih baik. Enggak cuma kamu yang khawatir sebenarnya nenek juga, tapi nenek lupa terus tiap mau tanya kamu. Ya sudah, kamu tunggu di sini, nenek mau kontrol dulu," kata Nenek, sambil menyerahkan tas berisi buku-buru pelajaran SD dan masuk ke salah satu ruangan ber-plat 'Spesialis Penyakit Dalam'.

Seorang perawat yang sebelumnya memanggil nama nenek tersenyum ramah lalu pintu pun tertutup ketika dua perempuan beda usia itu memasuki ruangan.

Berada di rumah sakit di jam segini bukanlah hal aneh lagi bagiku, padahal siang-siang seperti ini pasien rawat jalan selalu penuh sesak. Bahkan tidak jarang nenek harus menunggu lama hingga sore karena nomor urut yang terlalu jauh. Namun, itu juga bukan masalah besar buat nenek sebab bagi nenek menelantarkan murid-murid di sekolah adalah hal fatal bagi seorang guru jadi beliau selalu memilih pergi ke rumah sakit sekadar kontrol setelah selesai mengajar.

Sikap nenek itulah yang selalu mengingatkanku kalau tiba-tiba rasa malas untuk pergi ke kampus menerjang dan memilih buat bolos. Maksudnya di saat para guru atau dosen rela mengajar bahkan dalam kondisi yang kurang fit kenapa kita yang sehat malah malas-malasan? Harusnya sebagai murid/mahasiswa malah menghargai waktu guru/dosen karena mereka rela meluangkan waktu berharga untuk menyelesaikan tanggung jawab. Kalau dihitung-hitung beberapa kali aku juga lalai dalam hal tanggung jawab, kadang jika kelelahan suka tertidur di kelas.

Yakin, deh, kalau nenek tahu tentang hal itu pasti beliau bakal ngambek seminggu dan suasana rumah bakal berubah jadi horror. Enggak ada lagi omelan penuh perhatian serta cubitan gemas jika aku mulai mengomentari drama yang ditonton nenek.

Mengingat banyak waktu yang kuhabiskan bersama nenek, aku jadi merasa makin enggak kuat kalau suatu saat nanti nenek juga ikutan pergi menyusul bapak. Namun, mengingat nasihat dari bapak, aku harus tetap ikhlas dengan ketentuan Tuhan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top