17. Confusion

Cuma bercanda. Itu kata Annora, tapi aku yakin bahwa yang dikatakannya bukan candaan. Warna putih pudar, sorot pandangan kuyu, dan nyaris jatuh saat memanjat bidang miring adalah alasan mengapa aku meragukan keterangan Annora ketika kami; aku serta Fariz membantunya pergi meninggalkan parit besar.

Memang merasa lemas selepas makan banyak atau bahasa Inggrisnya disebut Food Coma merupakan hal wajar karena hal tersebut bisa saja disebabkan oleh terlalu banyak mengonsumsi makanan tinggi gula, tinggi protein, dan karbohidrat olahan.

Namun, jika diingat-ingat lagi menikmati lima ekor ikan koi bakar akan terasa berlebihan kalau ternyata itulah penyebabnya. Memikirkan pemicu terburuk pun seperti menganggap Annora sedang mengidap penyakit parah saja, sebab Kirana pernah mengatakan Food Coma adalah ciri-ciri dari gangguan pencernaan dalam melakukan penyerapan makanan.

Enggak tau, deh, beneran atau bohongan. Intinya, perangai Annora benar-benar patut dicurigai, terlebih setelah seorang lelaki memarahinya—lebih mirip mengkhawatirkan—serta memberikan tatapan membunuh ke arah kami seolah kitalah biang kerok dari semua ini.

"Aaahh, lihat Iron Man main kuda lumping. Semakin lama dipikirin malah bikin pusing." Melempar sepatu kets ke arah pagar kayu picket halaman depan rumah (Padahal enggak ada ayam atau kucing nakal) aku pun bersandar pada kursi plastik, memijat kening kayak lagi galau bin stress berat karena judul skripsi belum di terima-terima.

"Minum es teh sambil ngemil semangka. Kamu enggak ada kerjaan ya ngelempar sepatu sampai ke sana?"

Kuda bantat! Menoleh ke arah halaman samping, tapi masih sedikit menjorok ke depan—merupakan area kebun mini nenenk—punggungku menegang seketika. Kaget gila, Bro! Masalahnya aku enggak pernah tahu sejak kapan nenek ada di sana dan apakah beliau sempat dengar monolog gaje-ku tentang Annora? Kupikir, mungkin saja nenek mendengar karena tiba-tiba saja melontarkan pantun balasan yang jarang sekali dilakukannya.

Menampilkan cengiran ala kuda. Aku mengusap kepala bagian belakang, bangkit dari kursi, segera mengambil sepatu kets tak berdosa yang sebelumnya menjadi objek limpahan kegelisahanku. Di mana, sebenarnya bukan hanya karena kepikiran tentang Food Coma, melainkan juga karena cowok bule yang muncul di mobil jemputan Annora, serta kedekatan Fariz dengan cewek itu.

Oh, demi liat topeng monyet pakai kacamata kuda, yang kalian pikirkan itu adalah kesalahan besar. Buat apa cemburu? 'Kan sudah kubilang bahwa cinta bukan prioritasku saat ini, sehingga Annora tidak ada dalam list rencana jangka pendek, menengah, atau pun panjang.

"Darka." Nenek memanggilku, membuyarkan pikiran-pikiran enggak penting, tapi memusingkan hingga entah sudah keberapa kali otakku ngedumel sendirian. "Pulang-pulang sudah pasang muka kusut, kamu lagi ada masalah, ya?"

"Bukan apa-apa, Nek. Cuma ...." Menggantung kalimat, sebenarnya aku merutuki kata terakhir tersebut. Buat apaan coba?! Kalau sudah kayak gini, pasti ditungguin nenek buat nyelesaiin ucapannya dan—

"Cuma apa?" Tuh, 'kan benar ditanya nenek. Padahal mustahil kalau aku bilang apa yang terjadi sama nenek karena reaksinya pun bisa diprediksi.

"Cuma ... bukan masalah besar lah, Nek. Aku mau naik dulu," kataku buru-buru lalu segera melipir masuk ke dalam rumah, setelah meletakkan sepatu kets di rak, sambil pura-pura enggak dengar nenek memanggil untuk sesuatu.

Iya. Sesuatu. Enggak begitu jelas mendengar karena suara langkah kakiku saat berlari manaiki tangga kayu terlalu mendominasi, saking buru-burunya.

Sesampainya di kamar, segera kututup pintu, mengunci, dan menebarkan pandangan mencari objek tanaman pertamaku. Tidak ada. Di mana? Terakhir kuletakkan di bawah kasur. Enggak mungkin, 'kan pot bunga berukuran kecil bisa jalan sendiri kayak di dunia dongeng? Kecuali kalau diam-diam di rumah ini memiliki kekuatan magic, tapi mustahillah!

Jadi sebelum grasak-grusuk heboh nyari batang bunga yang menjadi objek pertama usaha menanamku di seluruh sudut rumah, sekali lagi kucoba untuk mengedarkan pandangan di kamar. Perbedaannya bukan hanya memandang, tapi juga membuka setiap tepi tersembunyi seperti; di kolong kasur terdalam (Awalnya memang kuletakkan di sana. Namun, malah hilang seketika.) menggunakan flash HP, di kolong meja, belakang pintu sampai di dalam lemari (Kalik aja khilaf, hingga 'tak sadar menaruhnya di tempat tidak terduga.) dan nihil. Masih belum ketemu, hingga tersisa bagian jendela yang berhadapan langsung dengan kasurku.

Pukul lima sore, debu kota masih merajai hari. Terbukti dari tingkatan cahaya kurang wajar dari semestinya, di mana saat maghrib langit cenderung jingga. Namun, sekarang masih dengan warna keemasan seperti donat lokal saat digoreng. Setelah mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan alergi, kusibakkan tirai putih di jendela yang terbuka jika nenek berada di rumah lalu ....

... seolah ribuan semut sedang party, kulit wajahku mulai terasa gatal hingga menimbulkan gerakan refleks garuk-garuk ringan.

"Nongkrong di sana, ya?" Seperti orang sinting, kulemparkan pertanyaan tersebut pada batang bunga mawar yang tertancap di dalam tanah gembur dengan pot berukuran sedang. "Siapa yang naruh kamu di sini?"

Menarik kursi ke arah jendela, aku pun duduk menantang debu, menghadap jendela terbuka yang memiliki pemandangan pohon mangga di halaman samping, sekaligus atap rumah Aling. "Hai, enggak tau, deh ini harus disebut apaan, tapi kayaknya lagi kehilangan semangat.

"Biasanya cuek aja, lalu sekarang ...." Menggeleng cepat, segera kutangkis pikiran aneh bin ajaib itu, kemudian menatap tumbuhan tanpa daun bunga itu lekat-lekat. "Enggak mungkin, 'kan kalau itu ... ah, sebodo amatlah."

Menunjuk-nunjuk batang bunga mawar yang belum berbunga apalagi berdaun, aku sudah merasa seperti anak gadis sedang galau berat. Padahal kenyataan bilang kalau aku itu cowok tulen, enggak pernah jatuh cinta terlebih mikirin. Rasanya alergi banget, tapi gara-gara hal kecil di parit besar, kenapa malah berefek sebegitu besar? Bahkan robot-robot kecil di dalam dada bekerja lebih pelan, seolah kehilangan tenaga seperti pemiliknya.

No idea. Ini bukan galau, cemburu atau apa pun itu. Melainkan hanya efek dari Food Coma, seperti yang dialami Annora.

"Kira-kira kapan kamu bisa berbunga?" tanyaku lagi dan semakin sinting saja. "Haruskah diabadikan pakai foto, buat kenang-kenangan pertama kali bercocok tanam?" Merogoh saku celana, kuputuskan untuk mengambil beberapa foto, menyimpannya di galeri. Namun, malah teralih ke chat enggak penting antara aku dan Annora kemudian membacanya seperti cowok merindu, tapi gengsi.

Gengsi, ya? Kayaknya itu bukan Darka banget. Tapi kenapa malah ketagihan ngebaca balon chat Annora yang jarang banget kubalas ini. Bahkan sampai ... sudahlah, ogah banget ngelanjutin!

Mengambil gitar akustik yang tergantung di dinding samping jendela, aku pun memutuskan untuk memetik senar secara acak. Bukan acak seperti asal-asalan, hanya membentuk melodi singkat sambil memikirkan lagu apa yang cocok untuk suasana sekarang. Sore-sore, di samping zigot bunga mawar putih, di antara rembesan celah-celah matahari di antara dedaunan pohon mangga, dan dalam keadaan hati ....

... ketupat loyo! Kalau di katakan secara gamblang, maka itu akan terasa memalukan.

Tapi, kira-kira Annora lagi ngapain di sana? Apa dia beneran enggak apa-apa, setelah mengalami food coma? Belum lagi kalau dilihat, food coma dia lebay banget sampai cowok yang jemput dia harus bersikap demikian saat melihatku serta Fariz. Lalu cowok itu siapa dan Fariz ....

... apa dia mau main tikung-tikungan?

Kacang kedelai diolah jadi tahu.

Jangan sampai ini perasaan cemburu.

Meletakkan jemari di senar, kucoba untuk mengingat chord gitar dari lagu yang terlintas di kepala. Sebenarnya enggak sulit, hanya saja karena ini mewakili hati jadi terasa seperti beban dan harus berhati-hati. 

D, G, D, G kemudian D, F, Em, A.

Area wajahku memanas. Lebih tepatnya di bagian dua jamur kiri dan kanan bagian kepala, hingga dalam hitungan ketiga setelah melodi percobaan barusan terdengar mulus, maka kuputuskan untuk bernyanyi dengan suara super pas-pasan ini.

"Jikalau kau cinta. Benar-benar cinta. Jangan katakan, kamu tidak cinta. Jikalau kau sayang. Benar-benar sayang. Tak hanya kata atau rasa, kau harus tunjukkan." 

Wah, gila bener, dah! Ini kenapa lagunya Judika jadi galau banget?!

Sambil menatap langit yang hampir menuju jingga, saling melilit di antara kabel-kabel listrik dengan burung gereja bertengger di antaranya, otomatis jadi teringat Annora. Enggak baper-baper amat, sih karena waktu itu kita cuma duduk bareng di ranting pohon mangga, di mana Annora sudah kayak monyet liar di sana demi memancingku supaya mau bergabung. 

Annora juga mengacak-acak kamarku, membuka seluruh buku tahunan masa sekolah, bahkan menyalakan komputer tanpa repot mematikannya sebelum pergi meninggalkan. Oh, gajah duduk kelindas motor, kenapa susah banget buat peka kalau semua tindakan Annora adalah upaya dia buat nyari perhatianku, padahal sudah dikasih tau Fariz berulang kali kalau Annora itu ....

... enggak usah disebutin. Rasanya kayak makan gula satu kilo dicampur sirup marjan satu galon, plus cabe merah seribu ton. Manis pedas jadi satu, sampai wajah memerah dan otak tidak bisa lagi berpikir.

Sekarang sudah tahu, gimana rasanya dicuekin dan mungkin ditikung.

Mengembuskan napas panjang, kembali kumainkan gitar sambil bernyanyi lagi sebab kata nenek jangan jadi penjual kaset yang mana cuma nyalain lagu separuh, kemudian ganti ke lagu selanjutnya. Begitu terus sampai kadang melahirkan kekesalan karena keasikan nyanyi, eh udah diganti aja.

"Jangan sampai, hingga waktu perpisahan tiba. Dan semua yang tersisa hanyalah, air mata. Hanya air mata."

"Kak Darka lagi sedih, ya!?" 

Beruang pahit! Nyanyian penuh rasa bawang seketika terhenti ketika mendengar celoteh cadel ala Aling dari bawah sana, tepat di bawah jendela kamarku, tanpa mengenakan baju dan celana, hanya bermodal sempak dengan sekujur tubuh dilumuri pupur dingin berwarna kuning.

Oh, ngomong-ngomong masalah pupur dingin, awalnya aku juga enggak tau itu wujud apaan. Namun, setelah mendengar penjelasan Aling bahkan sampai harus terjun langsung ke cara pembuatan, maka akan kuberitahu bahwa pupur dingin merupakan skincare alami dari Pulau Kalimantan. Campuran antara beras yang direndam pandan wangi, bunga melur, cempaka, dan tanjung selama tiga hari kemudian ditambah dengan bubuk jinten hitam, kencur, kayu manis dan kunyit. Pokoknya ribet buat yang suka praktis, tapi biasa untuk yang telaten.

Aku sendiri enggak tertarik mau coba bikinnya. Namun, kalau disuruh make, tentu bakal meng-iya-kan karena skincare yang satu ini seratus persen aman untuk kulit sensitif. 

Pergi ke Amerika pake pesawat udara.

Serius, yang kuceritakan di atas sudah kayak iklan aja.

Kembali ke Aling, aku menaikkan kedua alis seiring dengan dagu sedikit terangkat. Maksudnya, memberi isyarat seolah mengatakan, 'Kenapa?' tapi Aling malah diam aja, hingga kita berakhir seperti sedang melakukan adu tatapan.

"Dari mana kamu punya ide, kalau aku lagi sedih?" tanyaku akhirnya, daripada terus bertatap-tatapan khawatir nanti jatuh cinta.

"Itu." Aling menunjuk ke arah gitar menggunakan tangan kanan, di mana tangan satunya sedang garuk-garuk pantat. "Kak Darka lagi nyanyi lagu galau."

"Hah? Tau dari mana kamu bahasa galau? Emang paham artinya?"

Aling menggeleng, aku tersenyum geli. "Enggak tau, tapi teman-temanku sering bilang galau kalau cewek yang dia suka bilang benci sama dia."

Waduh! Anak kecil sudah main taksir-taksiran. Rasanya zamanku dulu, umur segini masih main tanah bareng. 

Geleng-geleng kepala, kugantungkan kembali gitarku di dinding dekat jendela kemudian memanjat salah satu ranting pohon mangga terdekat dan berpegangan, sambil melangkah berhati-hati mendekati pintu belakang Aling yang terbuka--hanya dibatasi oleh tembok tebal sebagai pagar pembatas. 

"Aku nyanyi lagu sedih bukan berarti sedih, tapi--"

"Maksud, Kakak?"

"Cuma pengen aja."

"Kakak sedih karena pengen sesuatu?" Aling bertanya polos, tapi sikap tersebut sebenarnya malah bikin gemas. Gimana tidak, orang ngomong dipotong, di jawab malah menimbulkan pertanyaan baru. Enggak nyambung pula!

"Bukan itu, cuma ... ya sudahlah, intinya aku enggak sedih dan enggak pengen sesuatu."

"Tapi tadi Kakak nyanyinya pake bilang air mata sama perpisahan." Aling tetap ngeyel dengan pembicaraan bernuansa kepo, meskipun ia pasti enggak ngerti juga kalau dijelaskan. "Emang Kakak mau pergi ke mana?"

"Hah? Enggak pergi ke mana-mana." Dugong jongkok, dari lagu beraroma kegalauan sampai kerumitan memikirkan perasaan diri sendiri, ternyata meluruskan sesuatu kepada anak kecil jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. "Kamu mau bakso dekat lapangan? Aku beliin, deh, tapi stop ngomongin ini, ya."

"Emang kenapa?"

"Bukan apa-apa karena nanti bakalan ada yang kepo."

"Siapa? Nenek?"

"Duh, bukan siapa-siapa ayo pake baju dulu sana, sebelum baksonya habis terus kita enggak kebagian," kataku buru-buru karena Aling makin kepo dan itu berbahaya jika dibiarkan, sehingga--

"Darka!" Suara nenek terdengar jelas dari jendela sebelah kamarku. "Kamu kalau lagi galau jangan coba-coba bunuh diri. Nanti biar Nenek yang bicara sama Ann--"

What??!! 

Serius. Es teh bahasa Inggrisnya ice tea.

Siapa yang lagi galau coba.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top