16. Be A Criminal For Today
IDN Times pernah menyebutkan alasan kenapa setelah berenang perut akan cenderung merasa lapar, awalnya kukira itu cuma sugesti. Namun, sesudah membacanya kupikir logis juga. Selama berenang tubuh harus tetap menjaga suhu 37° C, di mana suhu air rata-rata sekitar 28°-29° C. Hal ini menyebabkan tubuh harus melakukan pembakaran kalori agar tetap hangat kemudian menghasilkan ghrelin yaitu hormon penyebab kelaparan.
Seperti sekarang setelah beberapa kali berenang bolak-balik serta memiliki hasil imbang antara Annora dan Fariz, mereka mengeluh kelaparan, sampai melangkah gontai layaknya zombi. Sedangkan aku ....
... jangan ditanya. Aku kalah dalam sekali ronde karena mengalami kram kaki. Alhasil selama mereka—Annora dan Fariz—lomba renang, naik-terjun dari jembatan berulang kali, aku hanya menghabiskan waktu membosankan hanya dengan duduk menahan nyeri, sambil nyemil buah seri. Menyedihkan. Sungguh, tapi lebih baik daripada berakhir kelaparan hingga bingung bagaimana cara mendapatkan kebutuhan tersebut dengan cepat serta praktis.
"Lapar!!!" jerit Fariz sambil mengusap perutnya, tapi masih enggan untuk beranjak dari parit besar dan justru memilih duduk-duduk di dalam air. "Darka pesan makanan di aplikasi ojek online, dong."
Aku mengangguk. "Kamu yang traktir. Lagi tanggal tua, nih," kataku sungguh-sungguh, sembari membuka aplikasi ojek online yang menyediakan pesan antar makanan.
Sayup-sayup kudengar Fariz mendecak, mengataiku banyak sandiwara. Namun, berakhir dengan isyarat persetujuan dari acungan dua jempol.
"Pesan aja, tapi jangan lebih dari lima puluh ribu untuk satu porsiannya."
"Tunggu!" Suara cempreng bagaikan dia panci saling bertabrakan, mengalihkan perhatian kami hingga harus menoleh ke arah jembatan.
Annora berdiri di pagar jembatan, kayaknya mau lompat lagi. Enggak ngerti lagi, ini anak punya kapasitas kekuatan seberapa besar sampai di saat semuanya sudah kelelahan, dia masih saja bergerak kayak gasing. Memencet hidung menggunakan tangannya, dalam hitungan ketiga, Annora melompat lagi kemudian mengucapkan kata 'Ah' seperti reaksi bintang iklan minuman segar, setelah melukan terjun bom.
Namun, bukan hanya ucapan 'Ah' yang dikatakan Annora karena beberapa saat kemudian, ia mengangkat kedua lengannya dengan memperlihatkan hasil tangkapan ikan koi berukuran besar. Sepasang pupilku seketika melebar, meraba-raba apa yang sedang dipikirkan Annora di balik senyum semangat itu.
"Enggak usah pesan makanan, kita bakar ini aja!" seru Annora yang tentu saja membuatku terkaget-kaget dan mungkin Fariz juga karena beberapa saat setelah Annora mencetuskan ide gila bin ajaibnya, Fariz langsung tenggelam padahal tadi sedang berenang-renang manja menggunakan gaya punggung. Mau menikmati matahari terik katanya, tapi gagal karena kejutan dari Annora.
"What?!" Fariz berdiri menghadap Annora. Bertolak pinggang. "Emang ikan koi bisa dimakan?"
"Berenang di sini aja, sudah bermasalah. Terus kamu mau bakar ikan pakai ikan koi-nya Dananjaya. Seriously?" Sama terkejutnya dengan Fariz, aku pun turut berdiri di tepi parit besar, mengabaikan rasa nyeri di betis kanan akibat kram. "Aku enggak mau dapat surat teguran atau surat skorsing, gara-gara kasus perusakan properti."
Wajah Annora memberengut kaya baju enggak pernah disetrika setahun, kemudian melemparkan ikan koi tak bersalah ke wajahku, hingga ia menggelepar di atas tanah. Kalau kalian kepo gimana rasanya, maka kuberitahu seperti, bayangkan kena cipratan hujan, tapi kali ini disertai benda padat berlendir, amis, dan hobi goyang-goyang. Geli banget, deh pokoknya!
Annora tertawa terbahak-bahak, hingga ia harus membungkuk sambil memegang perut. Di lain sisi, Fariz malah memberikan tatapan ngeri. Enggak tau pandangan tersebut di arahkan ke siapa yang jelas, dia sampai terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa.
"Mending diam aja, deh, daripada dapat tembakan amis kayak, Darka." Itu komentar Fariz lalu pergi meninggalkan parit besar, melangkah ke rerumputan, sambil matah-matahin ranting pohon seri.
Aku mengamatinya sejenak, hingga lampu di kepala kembali berfungsi memberikan cahaya Illahi.
"Aku yang nangkap ikannya, Kak Fariz cari kayu bakarnya, dan Kak Darka ...." Annora menggantung kalimatnya. Mungkin berpikir karena ia sedang mengetuk-ngetuk hidung menggunakan telunjuk. "Kamu yang paling payah, sampai berenang aja belum apa-apa sudah kram. Kak Darka jadi tukang jaga aja, deh."
Mengembuskan napas kesal, secepat mungkin kulakukan relaksasi dengan menutup mata, membayangkan hal-hal indah, hingga muncul senyuman dari sosok tak diinginkan.
Makan sambalado sambil minum teh.
Serius! Amit-amat jabang bayi, deh!
"Dari semua kejahatan, tugasku yang paling berat," kataku sambil menaiki semen bidang miring, setuju untuk menjadi satpam dadakan.
Annora berhasil mendapatkan satu ikan koi lagi, menyimpannya di kemeja kotak-kotak merah hitam kemudian menatapku. "Oh, ya?"
Landak waxing, anak itu sedang meremehkanku, ya? Ngapain pakai naikkin sebelah alis segala?! Harusnya dia sadar jika di masa pengawasan aku lengah sedikit pun, maka tidak menutup kemungkinan kita akan benar-benar bermasalah. Lagi-lagi aku mendengkus kesal, mengabaikan ucapan menyakitkan hati dari Annora dan berdiri di ujung jembatan. Mengamati, mengawasi, sekaligus menjaga keamanan tindak kriminal kami.
"Makasih, Kak." Ucapan Annora membuatku menoleh, meski jarak kami kini terpaut cukup jauh. Aku berdiri di jajaran paving block, sedangkan Annora masih berada di parit besar. "Tolong jaga kami, ya." Kemudian ia membungkkan tubuh seperti salamnya orang Jepang.
"Ya, buruan sana cari ikannya sebelum ada orang lewat," kataku ketus sambil mengibas-ngibaskan tangan, kayak lagi ngusir ayam pemakan nasi kering setiap kali nenek pengen bikin rengginang.
Berdiri sambil bersandar di ujung jembatan, kuamati dua manusia ajaib tersebut. Fariz masih sigap mengumpulkan ranting, Annora menangkap ikan menggunakan kedua tangannya, dan itu mengingatkanku dengan aktivitas pura-pura survive di alam liar.
Kukatakan pura-pura survive di alam liar karena waktu SMA pernah mengalaminya, yaitu kegiatan pramuka. Namun, pihak sekolah menyuruh kami membawa snack pengganjal lapar di kawasan hutan wisata. Aneh. Katanya survive, tapi enggak memanfaatkan kekayaan alam sebagai kebutuhan dasar.
"Darka sudah selesai, ayo turun. Kita bakar ikannya di kolong jemabatan aja biar enggak ketahuan," tutur Fariz setelah beberapa kali membawa ranting-ranting ke bawah jembatan, tempat di mana aku biasa berteduh jika nongkrong di parit besar. Namun, tiba-tiba kejebak hujan.
"Kita nyalakan apinya pakai metode batang yang digesek-gesek itu, ya!" Annora berujar dengan penuh semangat, tapi justru menimbulkan reaksi mustahil di dalam benakku.
Mustahil karena menyalakan api yang seperti itu tidak bisa menggunakan sembarang batang kayu. Kondisinya harus benar-benar kering, mudah terbakar, tanpa memiliki kelembaban sedikit pun, seperti jenis kayu paper-birch yang menghasilkan ranting serupa kertas. Dan karena kita tidak berada di tengah hutan, melainkan di kampus maka satu-satunya barang yang bisa digunakan mungkin adalah kaca pembesar atau kacamata, kertas kering, serta jika ingin lebih simpel lagi mengapa tidak langsung menggunakan pemantik saja? Toh, Fariz selalu bawa pemantik ke mana saja sebab ia membuka jasa meminjamkan pemantik kepada para perokok.
"Kita enggak hidup di daerah antah berantah, pakai pemantik ajalah. Daripada nanti keburu ketahuan terus bukannya dapat makan, malah dapat surat teguran," protesku realistis bahwa kita tidak sedang melakukan aktivitas survival.
"Iyalah, ususku sudah enggak bersahabat lagi. Dari tadi main band mulu, sampai cacing-cacingnya pada lemes terus meronta supaya cepat dikasih makan," kata Fariz mendukungku secara tidak langsung kemudian berlari kecil mengambil pemantik yang ada di dalam tas ranselnya. "Pake ini aja, biar cepat, efisien, dan supaya kesegaran ikannya enggak hilang."
Seketika pupilku kembali melebar. Bukan karena Annora yang lagi-lagi cemberut karena keinginannya ditolak lagi dan bukan juga karena Fariz memberikan pemantik kepada Annora, sambil mengedipkan mata.
Namun, karena baru sadar kalau kita bakalan makan ikan, tanpa diberi bumbu penghilang rasa amis. Minimal jika tidak ada apa-apa, bisa diganti dengan jeruk nipis atau garam. Bekicot ngebor! Enggak kebayang gimana rasanya nanti saat kita menyantapnya. Semoga saja dibakar sampai benar-benar matang.
Sambil menunggu pembuatan api unggun berukuran kecil untuk membakar ikan hasil colongan, daripada nganggur kuputuskan membersihkan perut ikan-ikan koi malang tersebut di pinggir parit besar. Pokoknya hari ini adalah saat terjorok kami dalam hal memanjakan perut, sebab tanpa air bersih dan barang-barang memadai kami mengolah ikan ternak Dananjaya menjadi santapan darurat pasca membuat kekacauan di parit besar.
Bahkan saking kalap dan laparnya, dua makhluk astral di hadapanku berhasil menghabiskan empat ekor ikan koi bakar. Sedangkan aku, satu ekor saja belum habis karena harus melawan pergolakan batin ketika harus menahan rasa amis luar biasa.
"Kak Darka," panggil Annora, membuatku mengangkat kepala. "Buka mulutnya a ...." Sambil melebarkan bibir hingga membentuk huruf 'O', Annora mengarahkan sepotong kecil daging ikan bakar yang terjepit di antara telunjuk dan ibu jarinya.
Dalam sekali lihat, aku tahu apa yang ingin dilakukan Annora. Sehingga tanpa memberikan reaksi apa pun, segera kukatakan, "Aku punya tangan dan bisa makan sendiri. Ogah banget disuapin kamu, yang ada nanti malah geer terus nyebar ke seluruh Indonesia Raya."
Memonyongkan bibir, bukannya menampilkan ekspresi sedih atau kecewa sekali pun, Annora justru berpindah posisi yaitu duduk tepat di samping sambil menempelkan bahunya di bahuku.
"Makan atau aku bakal teriak-teriak bilang, 'Annora suka Darka, Annora suka Darka, Annora suk—" Ucapan Annora terputus ketika mendapat serangan dadakan dan itu dari Fariz.
Cowok itu nyengir lebar. Selebar cengiran keledai sambil mengunyah apa yang dia curi. "Daripada dengerin kata-kata Darka yang nyelekit, kenapa enggak nyuapin aku aja?" tanya Fariz santai, "perutku masih bisa menampung satu ekor ikan bakarnya, kok." Lalu tanpa memikirkan risikonya, Fariz dengan enteng menggenggam tangan kiri Annora, mencubit sedikit daging ikan bakar di sana, dan menjepitkannya di antara telunjuk serta ibu jari Annora hingga adegan memuakkan tersebut terulang kembali.
Memalingkan pandangan, kukembalikan fokus pada bagaimana cara menghabiskan ikan bakar ini dengan sangat cepat, kemudian segera pulang ke rumah karena rasanya males banget, deh ngeliatin aktivitas alay antara Fariz dan Annora.
Bebek ngepet! Mereka udah kayak pacaran aja. Padahal hubungan tanpa status jelas itu, hanya akan menciptakan luka di akhir kisahnya. Memutar mata, aku jadi beneran eneg lama-lama di sini sehingga tanpa menunggu siapa pun, aku bangkit dari tempat dudukku, mengambil tas ransel kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kak Darka," panggil Annora, tapi kuabaikan dengan hanya mengangkat tangan kiri, sebagai isyarat bahwa aku selesai dan ingin pergi.
Namun, ternyata itu bukan keputusan final.
Fariz memanggilku, meminta pertolongan, mengatakan bahwa Annora ambruk secara tiba-tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top