15. Be Your Black Knight

Enggak tau siapa yang duluan antara telur dan ayam, aku tidak pernah tahu apa jawabannya. Sama seperti alasan mengapa aku mau saja menuruti perintah Fariz—tanpa sepengetahuannya—untuk melakukan stek bunga mawar putih, padahal sebelumnya mana pernah kulakukan hal demikian. Tanya saja pada nenek kalau tidak percaya, sebab saat pertama nenek memergokiku membawa lima batang bunga mawar sepulang dari Toko Bunga Dahlia, beliau sempat bertanya kemudian tertawa geli setelah mendengar jawabanku.

"Mau stek bunga mawar?" Nenek bertanya seolah barusan aku mengigau, "kamu yakin? Siapa yang bisa bikin cucu nenek tiba-tiba pengen bercocok tanam? Mau dibantuin bikin kartu namanya juga? Atau ...." Dan beberapa pertanyaan serta tawaran dari nenek yang tidak perlu kusebutkan lagi karena intinya, wanita itu tahu bahwa keinginan tersebut merupakan hasutan seseorang untuk orang lain.

Beruntung, nenek enggak kepo tentang siapa yang mau kukasih karena jika tahu, mungkin belau bakalan langsung ngajak ketemu orang tua Annora sambil bawa hadiah untuk lamaran. Ingat 'kan bagaimana waktu pertama kali ketemu Annora dan membawanya ke rumah kami, dia happy banget bahkan langsung memberikan tuduhan bahwa kami pacaran. Idih, demi lihat bekicot beranak, enggak banget kawin muda!

Tapi ngomongin masalah kawin muda dan pacar-pacaran, sebenarnya sempat kepikiran juga tentang ucapan Annora saat penutupan acara prodi. Waktu kembang api lagi heboh memecah kegelapan langit malam dan kesunyian di antariksa, cewek itu sempat-sempatnya melakukan pelukan beruang—untung aja enggak ada yang sadar—sambil ngomong, 'Bagaimana pun keadaannya, aku tetap cinta sama kamu.' Serius enggak salah dengar, apalagi salah baca!

Jadi karena kepikiran omongan Annora itulah aku jadi setuju aja waktu Fariz ngajakin buat stek bunga mawar putih. Sengaja dipilih jenis tersebut karena memiliki arti tulus, suci, dan bersih. Bukan berarti membalas perasaan Annora, hanya saja hatiku melembut kemudian memutuskan untuk menghargai Annora dengan minjam nama nenek—nanti—kalau bunganya sudah mekar.

"Darka." Aku menoleh ke arah seseorang—Pak Nizar—yang memanggilku dari arah kampus, melangkah menghampiriku di jembatan. "Lagi enggak ada kelas atau bolos?"

"Bolos itu mustahil, sedangkan—"

"Mau teh kotak?"

Kedua alisku terangkat. Ini pertama kalinya Pak Nizar memotong ucapanku, apa pertanyaan barusan adalah basa-basi? Selain itu, menawarkan teh kotak kemudian bersandar pada pagar jembatan, menimbulkan praduga bahwa Pak Nizar bakalan lama di sini.

Jerapah jongkok, terlalu rumit memikirkan perangai Annora, menyimpan rahasia di hadapan Fariz tentang persetujuanku tentang stek mawar, dan stress karena khawatir apakah batang tersebut akan melahirkan mawar yang indah? Terlebih belum sempat menjelajahi Google buat cari tahu berapa lama proses perkembangan mawar.

Kemarin malam, hanya dengan bermodalkan tanya-tanya terselubung ke nenek, aku pun mendapatkan cara merawat mawar dari batang sampai berbunga. Mulai cara menyiram, mandi matahari, dan pemupukan, tapi kalau tentang jangka waktu ....

... aku lupa bertanya, sekaligus enggan juga. Sebab belajar dari pengalaman perempuan adalah detektif handal dan itu tidak menutup kemungkinan nenek akan mengetahui alasanku suatu saat nant. Tapi semoga tidak, melakukan hal romantis kepada cewek asing bukan Darka banget!

Kembali ke Pak Nizar, aku menerima teh kotaknya setelah mengucapkan terima kasih. Kami menikmati minuman tersebut bersama-sama, di tengah sang raja siang sedang marah besar hingga tanpa sepengetahuan Pak Nizar, sebenarnya ada keinginan tersembunyi sebelum beliau datang. Yaitu nyebur ke parit besar, mencari kesegaran bersama para ikan koi. Dugong lompat, jika bukan karena Annora yang pernah membuatku terjerembab ke dalam parit tersebut, sekali pun tidak pernah terpikir bahwa genangan air sepinggang tersebut bisa dijadikan ajang berenang.

Tentunya kegiatan tersebut bersifat illegal, loh, ya!

"Saya pernah dengar cerita teman," kata Pak Nizar memulai perbincangan kami, sambil memandang lurus ke depan, masih bersandar pada pagar jembatan. "Dia pernah jatuh cinta, mendapatkan cinta, tapi terlepas begitu saja karena LDR lalu ketika kembali malah jadi pihak ketiga."

Tersedak. Aku yakin ini bukan kisah teman Pak Nizar, melainkan curhat terselubung. Bukannya tukang gosip atau apa, tapi kabar tentang kisah cinta Pak Nizar sempat tersebar dan yang dibicarakan beliau hampir mirip dengan gosip tersebut.

Kalau sudah begini, jadi bingung mau ngomong apa. Sehingga satu-satunya langkah hanyalah menunggu sambil terus menyedot teh kotak seperti bocah nunggu emak belanja sayur.

"Menurut kamu, apa teman saya itu berada di posisi yang salah?" tanya Pak Nizar, membuatku geleng-geleng kepala—meski samar—terlalu kaget mendapat serangan curhat dadakan ini. Secara diri ini jomblo dan malah dikasih pertanyaan ginian. "Coba pilih salah satu, kalau kamu berada di posisi teman saya. Menunggu, merebut, atau mencari orang lain untuk merawat hati?"

Waduh, sambalado pake cabai lima kilo! Pak Nizar salah orang, nih. Berpikir sejenak sambil mijat-mijat kening, kulirik Pak Nizar mencoba membaca ekspresi meski hasilnya nol karena aku bukan ahlinya. Sehingga setelah menarik napas bahkan berusaha membayangkan menggunakan logika, jawabannya adalah ....

"Saya belum kepikiran soal cinta-cintaan, Pak. Jadi kalau ditanya pendapat bakalan jawabnya pake logika. Mendingan cari hati yang lain aja, daripada nunggu tanpa kepastian." Iya, deh moga aja Pak Nizar enggak baper karena dapat jawaban apa adanya.

"Logikanya sih begitu, tapi teman saya itu emang kuat. Dia bela-belain nunggu, meski ceweknya masih bertahan sama suaminya."

"Oh, mungkin teman Bapak tahu kalau dia punya celah. Itulah kenapa dia ...." Tunggu-tunggu, kenapa obrolan ini malah mirip dengan adegan gosipin orang? Kenal juga enggak, ngapain menduga-duga kalau salah yang ada malah nambah dosa.

Pak Nizar tertawa kecil kemudian mengempiskan teh kotak yang telah kosong, melipatnya dalam satu lipatan dan tetap memegang, tanpa membuang. Ingat, buang sampah sembarangan adalah contoh manusia bodoh tanpa adab.

"Kamu benar, dia punya celah karena hubungan pernikahan yang retak." Tersenyum lagi, Pak Nizar mengalihkan pandangannya ke arah perumahan dosen. Enggak tau, deh ada apaan di sana? Aku menolak untuk kepo dan berharap Pak Nizar segera pergi demi memberiku kesempatan untuk terjun bebas.

"Ha-ha, aneh, ya karena tiba-tiba saya ajak ngobrol ginian?" Iya, beneran aneh kayak kuda laut melahirkan kuda nil. "Biasanya kita ngobrol cuma seputar kampus, keahlian memelihara tambak air tawar, dan sesekali tentang isu politik. Terus tiba-tiba saya ngomongin teman saya, yasudahlah saya mau pergi dulu dan ...." Pak Nizar menepuk pundakku dengan tangan kirinya, "jangan terlalu sering pakai logika kalau tentang hati, karena mereka tidak akan pernah bisa bersatu, selain menyakiti diri sendiri."

Itu kalimat terakhir Pak Nizar dan sukses membuatku ternganga-nganga. Maksudnya, ada apa ini? Enggak ada isu kenaikan harga cabe di pasar, kenapa Pak Nizar bisa kasih nasihat begitu?

Serius. No idea.

Lima menit setelah kepergian Pak Nizar dengan segala keanehannya hari ini, kesendirian pun kembali menjadi teman baikku. Aku melangkah mendekati tong sampah dekat salah satu pohon ceri kemudian menoleh ke kanan-kiri, mengendap-endap kembali ke jembatan, menaruh tas di sana, serta setelah yakin akan keamanan situasinya, untuk pertama kali aku membuka kemeja serta celana kain hingga menyisakan kaos oblong dan boxer.

Badut nakal di dalam sana pun mulai bertindak aktif, memukul-mukul jantungku hingga terdengar jelas di telinga dan seperti tidak tahu malu memanjat jembatan hingga berdiri di pagarnya dengan keseimbangan penuh. Jaraknya sepuluh langkah kaki lelaki dewasa, di dalamnya terdapat beberapa ikan koi, dan tinggi genangannya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Jika ingin menikmati sensasi, maka pastikan dalam posisi tubuh menekuk sehingga dalam hitungan ketiga serta teriakan ala tarzan mengudara ....

... aku melompat, meninggalkan bunyi bom air luar biasa, percikan yang yakin, deh tumpah-ruah di sana-sini bersamaan dengan perasaan terangkat di dalam dada plus kesejukan saat mandi di tengah hawa panas super luar biasa ini.

"Gila kalau begini ceritanya bisa—" Kuda ngepet! Ucapanku terputus bersamaan dengan suara bom air tepat di samping kanan, ketika aku baru saja berdiri sambil senyum-senyum puas kepengen lompat lagi. Seriusan, deh karena kehebohan sesaat tadi, jadi kepo siapa gerangan yang mengikuti jejak illegalku sehingga setelah beberapa detik menunggu sosok siluman air itu menampakkan wujudnya.

Berambut cokelat karamel, bermata hijau terang, berkaos putih polos, memeluk salah satu ikan koi bau amis, tersenyum lebar ala kudanil, menatap ke arahku dengan pandangan berbinar.

Tidak salah dan tidak bukan, dia Annora.

Hilang, deh rasa ingin lompat lagi karena keingatan saat terakhir kali nyebur di parit besar, kami malah ketangkapan dan menerima hukuman ringan dari Pak Nizar. Jadi tanpa perlu berujar apa-apa aku hanya melengos, membalikkan tubuh ingin meninggalkan Annora, tapi malah ditahan oleh cewek itu.

"Serius, enggak pernah terjun bebas kayak gini dan akhirnya terkabul bareng, Kak Darka." Annora menarik lenganku, melangkah mendekat sampai menjauh pun terasa sulit karena kekuatan dari genggamannya. "Awalnya mau teriak karena takut, kalik aja kamu mau bunuh diri. Aku 'kan enggak mau sendirian di sini, tapi pas dengar teriakan tarzan kamu, aku jadi kepengen ikut dan ... makasih, ya."

"Sama-sama. Sekarang enggak usah gandeng-gandeng, ayo buruan naik," perintahku bernada ketus, tapi malah disambut gelengan. "Enggak ingat, ya waktu terakhir kita di sini malah dapat hukuman dari Pak Nizar?"

Buset, dah! Bukannya nurut atau merenung, ini cewek malah senyum-senyum enggak jelas. Sumpah, ngomong sama Annora kayak ngomong sama alien karena bakalan tulalit tanpa akhir terbaik.

"Enggak mau naik sebelum kita lomba renang dan dapat pemenang," cetusnya hingga membuat kedua mata ini membulat maksimal. "Kalo nolak tanda cemen dan itu bakal tersebar dengan kekuatan—"

"Gaboleh asik-asikan tanpa Fariz, kalau masih ngotot bakalan diaduin, loh!" Suara lain kembali hadir di antara kami, tanpa sempat aku mengelak omongan Annora dengan omelan khas emak-emak.

Kali ini Fariz, beneran enggak tahu deh sejak kapan siluman buaya itu ada di atas jembatan dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan boxer. Sama sepertiku, ia berteriak ala tarzan kemudian melompat dan ....

... percaya, dua rius kita sedang dalam masalah karena ikan-ikan koi itu pasti stress berat akibat bom air dari berat badan kami masing-masing.

Annora tertawa keras, hingga memamerkan seluruh deretan giginya ketika Fariz mengibaskan air ke arah kami berdua, sambil berteriak kesenangan hingga ujung-ujungnya mereka malah bermain siram air menggunakan tangan dan aku hanya melongo karena—lagi—kedatangan tamu dadakan.

"Ayo lomba renang dan temukan rajanya!" seru Annora kemudian mendapat sahutan persetujuan dari Fariz dan mereka berdua bersorak kegirangan.

"Lompat dari jembatan dulu baru langsung berenang. Batasnya sampai pohon ceri terakhir!" kata Fariz enggak kira-kira karena jarak dari jembatan ke pohon ceri terakhir kurang lebih sepuluh meter dan jika dilakukan tanpa pemanasan, maka—

"Setuju! Ayo, Kak." Annora lagi-lagi menarik lenganku, senyumnya benar-benar menampilkan kebahagiaan beda banget sama yang diceritakan Fariz di toko bunga kemarin. "I'll be your black knight to protect you."

"Huh? Y-yes, apaan, dah aku enggak ngerti," kataku mau tidak mau menurut saja karena sudah diseret paksa oleh dua alien tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top