14. Be Considerate

Dan kau hadir.

Mengubah segalanya.

Menjadi lebih indah.

Kau bawa cintaku.

Setinggi angkasa.

Berdua kumerasa sempurna.

Demi bebek bantat! Kalau dua jamur di kepala kiri-kananku bisa bicara, dijamin, deh, mereka bakalan meronta kebosanan karena terus-menerus mendengar lagu Lebih Dari Indahnya Adera.

Mau gimana lagi, gara-gara usulan kurang kerjaan Fariz a.k.a manggung di penutupan acara prodi, meski cuma kebagian sebagai pembawa musik pengiring yaitu gitar akustik, hal itu ternyata malah berefek fatal pada tingkat kegeeran Annora.

Awalnya semua berjalan biasa saja, aku memetik senar gitar teramat santai tanpa rasa gugup dan Fariz bersama suara merdunya mampu menghipnotis para cewek yang mendengar (termasuk Annora, sempat kulihat ia menggenggam kedua tangan sambil komat-kamit kayak dukun). Namun, di bagian akhir lirik lagu sekaligus penutupan aksi panggung kami, demi sambalado pake kopi, aku enggak nyangka Fariz bakal bilang, 'Lagu ini dipersembahkan khusus buat Annora Almeta dari Darka Sagraha.'

What!!! Cuma itu yang terlintas di kepalaku tanpa bisa berucap apa-apa. Syok berat, dong karena namanya diseret-seret tanpa persetujuan. Apalagi kalau sudah berhubungan sama Annora! Sekarang jadi tahu, 'kan gimana tengilnya anak itu.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, sesekali tutup telinga, lebih sering ngomel sambil nutup mulut Annora—saat dia nyanyi—pakai potongan roti buatan nenek untuk bekalku hari ini karena nyaris terlambat lagi. Fariz yang melihat kericuhan kami pun hanya menampilkan cengiran kuda, padahal dialah biang keroknya.

"Demi cintaku pada Kak Darka, dari kemarin lagu itu jadi favorit aku." Annora berbicara lagi setelah menelan sumpalan roti yang kuselipkan secara paksa di mulutnya. "Jadi itu beneran?"

Melotot lebar-lebar, kupandangi wajah bule Annora yang beneran bikin gedeg. "Aku enggak pernah bilang itu buat kamu," kata ketus, tapi Fariz malah geleng-geleng kepala seolah ucapanku adalah kebohongan.

"Darka cuma terlalu gengsi buat bikin pengakuan, padahal dia muji-muji poffertjes buatan kamu terus kemarin." Fariz mengambil potongan roti di kotak bekalku, melahapnya santai, mengabaikan tatapan tajamku. "Kalau bukan cinta apa lagi?"

"Korban pemaksaan, tanpa keikhlasan." Aku menatap Fariz dengan gemas kemudian berubah sinis saat beralih ke arah Annora. Sengaja terus-terusan bersikap judes, niatnya supaya Annora melepaskan rasa kegeerannya itu, tapi ....

... seperti ayam buntal makan besi. Itu sulit bin mustahil.

"No need to worry, aku ikhlas mencintai kamu, kok, kak." Annora cengir-cengir macam kuda dan itu melayangkan dorongan di keningnya, menggunakan telunjukku.

"Dengar, ya, ikan buntal." Masih mendorong-dorong kening Annora, aku berdiri tepat di hadapannya sambil membungkuk agar tinggi badan kami setara sebab Annora duduk di atas rerumputan, bersila, sembari makan sosis siap santap. "Mau ikhlas atau terpaksa sekali pun, aku enggak peduli. Jadi please, apa pun yang dikatakan Fariz kemarin anggap aja angin lalu."

"Bagaimana cara melupakan kalau angin lalu pun ternyata bisa menimbulkan efek terhadap apa saja yang disentuhnya?"

Kedua alisku refleks terangkat. Ternyata selain tukang gombal, Annora juga jago ngeles. Aku terdiam sejenak, hingga Annora menangkap jari telunjukku.

Namun, segera aku melepasnya karena tidak ingin menambah masalah. "Intinya, lagu itu bukan dariku buat kamu," kataku entah yang keberapa kali untuk menegaskan fakta tersebut, tapi selalu menerima gelengan kepala Annora.

Dan sebelum cewek itu meluncurkan kalimat penuh kehaluan, kuputuskan untuk pergi meninggalkan dua manusia perusak ketenanganku. Fariz memanggil, ketika aku sedang memanjat bidang miring berbahan semen penghubung antara rerumputan samping parit besar dan paving block yang biasa digunakan para warga perumahan dosen untuk jogging.

"Mau ke mana, Dar?" tanya Fariz, tidak berusaha menyusulku dan masih bermain dengan binder beralih fungsi sebagai gendang. "Konsernya belum selesai, lagian kita 'kan lagi gabut banget karena enggak ada angin, enggak ada badai, para dosen kompak libur."

Koala bintilan, Fariz mah ngaco! Mana ada yang nama liburan buat para dosen. Menurut keterangan dari Pak Nizar, mereka katanya sedang rapat bersama untuk menentukan bagaimana nasib mahasiswa tua sebelum benar-benar menerima surat DO.

Sejarah selalu berulang, itu kataku saat Pak Nizar mengeluh lelah memberi nasihat agar para mahasiswa skripsi tersebut tidak membebani dosen pembimbing. Namun, jika sudah stuck dengan kesulitan data, judul skripsi tak kunjung diterima, jadwal temu antara dosen pembimbing dan mahasiswa tak kompak, serta rasa malas menyerang, maka mau bagaimana lagi? Nasihat-nasihat itu pun akan berakhir seperti kopi tanpa ampas.

"Woy, Darka!" panggil Fariz lagi, ketika kakiku benar-benar telah berdiri sempurna di paving block. "Seriously be considirate, dong!"

Menoleh sambil memicingkan mata, kulipat kedua lengan di atas dada. Be considirate, be considirate apaan? Maksudnya conditioner, ya?

"Kelamaan di sini, ketenanganku semakin rusak. Jadi daripada buang-buang waktu, mending ke toko bunga ngejar bonus lembur," kataku sambil menaikkan sebelah alis, melirik ke arah Annora yang menatapku.

Menatapku ....

... dengan pandangan ....

Enggak tau, deh. Malas banget buat nyebutin karena kalau boleh jujur rasanya kayak ada cenat-cenut di dada. Silakan artikan sendiri apa maksudnya sebab sebelum Fariz kembali berbicara, serta Annora—mungkin—bakal mencegat, aku segera melangkah pergi. Setengah berlari seperti ingin mengejar matahari terbenam paling hangat, sehangat kedua pipi dan telinga yang memerah.

Jerapah cacingan. Mustahil semua ini terjadi sebagai efek dari tatapan Annora. Apa pelukan di atas sepeda, kejadian di stand poffertjes, dan lagu Lebih Dari Indah bisa berefek seaneh demikian? Siapa saja tolong jawab aku!

***

"Serius, demi Neptunus!"

Kuangkat kepalaku saat Fariz bersama aroma keringat di sore hari bercampur collogne-nya menggebrak meja kemudian mendorong jidatku menggunakan telapak tangan.

Sekarang pukul enam sore. Artinya, aku telah meninggalkan kampus—parit besar—Fariz dan Annora selama dua jam. Enggak tahu, deh mereka berdua pada ngapain setelah kepergianku karena tiba-tiba saja, masih mengenakan baju yang sama Fariz datang ke Toko Bunga Dahlia seperti penagih hutang.

Membanting pintu, berteriak memanggil namaku, meminta waktu bicara sebentar dengan pelangganku, kemudian mengucapkan kalimat demi Neptunus, dan lain-lain hingga menimbulkan tanda tanya di kepalaku seperti ....

Ada apa gerangan?

"Kamu harusnya peka, dong!" Terdengar seperti tuntutan dan aku hanya mengernyit sebelum bertanya. "Gara-gara kamu pergi, hati seseorang jadi terluka!" Fariz makin nge-gas, membuatku akhirnya sadar ke mana arah pembicaraannya.

Lagi-lagi Annora. Duh, ini anak ngapain lagi, coba!

"Annora nangis-nangis waktu kamu pergi. Katanya dia cuma suka kamu, tapi kenapa kamu ... ah, gila bener! Padahal jelas keliatan banget—secara alamiah—kamu-nya punya respon bagus, tapi kenapa?!"

Makin dramatisir saja. Fariz sampai menepuk jidatnya kemudian merebahkan kepala di atas meja, sambil menangis tersedu-sedu.

Yang terakhir itu bohongan karena mustahil Fariz menangis dengan nada seperti bocah usia lima tahun. Jadi, aku menjitak kepalanya, meminta maaf pada pelanggan karena harus terhambat iklan kacangam, dan lanjut merangkai bunga, mengabaikan Fariz.

"Karena pacar-pacaran bukan urusan penting untuk sekarang." Lama-lama kesal juga membiarkan sandiwara menangis Fariz yang bising bukan main. "Sekarang yang kupikirkan adalah, mencari penghasilan tambahan, lulus kuliah tepat waktu, dan punya masa depan cukup baik supaya uang warisan bapak enggak sia-sia."

"Tch! Hidupmu kaku abis, Dar." Fariz bergerak lemas, duduk di bangku besi yang berhadapan dengan ember-ember berisi bunga kemudian menatap lurus ke depan. Sambil bergumam enggak jelas juga dan jika sudah seperti itu ....

"Enggak bisa dibiarin gitu aja," cetus Fariz, tiba-tiba duduk tegak hingga membuat pelanggan manisku tampak tersentak karena ponsel di tangannya hampir jatuh. "Kami harus dirukiyah," kata Fariz ngaco.

"Karangannya sudah selesai," kataku berbicara pada si pelanggan manis, "tiga ratus lima puluh ribu, Mba." Sambil menyerahkan karangan bunga mawar putih, aku menerima lembaran kertas berwarna merah dan tersenyum.

Sayup-sayup kudengar Fariz mendecak lagi karena diabaikan demi pelayanan maksimal pelanggan. Bahkan bukannya mengubris, justru niat iseng memanas-manasinya seketika muncul sehingga seolah mendapat pelanggan paling spesial, kuputuskan untuk mengantar si gadis berambut pirang sebahu itu sampai di depan pintu, membukakannya pintu, mengatakan 'Silakan datang kembali lain waktu.'

Sederhana. Menuai tepuk tangan dari Boss Benji atas sikap ramah tamah seorang pedagang, tetapi juga menghasilkan jitakan dari Putri dan Fariz.

Enggak tau, deh anak dan bapak itu muncul atau merhatiin sejak kapan karena belum sempat melakukan klarifikasi, seperti kameo mereka langsung bubar jalan gitu aja. Meninggalkan aku dan Fariz bersama wajah memberengutnya.

"Sama cewek lain bisa manis-manis begitu, tapi kalau sama Annora—"

"Kamu kenapa jadi kayak di kubu cewek itu, sih?"

"Bukan kayak, tapi kenyataannya." Fariz mengembang-ngempiskan hidugnya, "kalau beneran enggak suka, setidaknya kasih kepastian tanpa melukai hati."

Sebelah alisku terangkat. Memang ada yang seperti itu? Kupikir penolakan akan selalu berakhir dengan luka. Seperti penolakan ibu terhadap bapak, begitu pula denganku bahkan tanpa tahu apa salahnya.

Melangkah menuju bangku yang sebelumnya diduduki Fariz, kutatap pemandangan di luar toko. Sekarang pun masih musim berburu Pokemon, banyak orang berjalan kaki sambil memegang ponsel, sesekali saling bertabrakan, menyapa, dan ada pula yang mengumpat. Aku tidak tertarik dengan penampakan tersebut, tetapi seperti bisikan bawah alam sadar sorot mataku beralih pada sosok wanita berambut cokelat madu, bermata hijau terang, berkulit pucat, bersama tinggi badan yang hanya sebahu.

Entah memang pernah bertemu atau memiliki kemiripan, aku merasa sesuatu yang tidak asing dari wajah wanita itu. Ia mendorong pintu toko bunga, menciptakan gemerincing lonceng, menebarkan kehangatan di tengah suasana mendung kota Bandung. Sempat terpesona, meski usia sudah tak muda lagi dan senyum itu mengingatkanku pada ....

Lele tengkurap! Kenapa malah muka Annora yang terlintas di pikiranku di saat dalam situasi terkagum-kagum seperti ini. Segera menggelengkan kepala kuat-kuat, aku bangkit dari bangku bersamaan dengan sapaan hangat wanita itu.

Melirik ke arah Fariz, ia pun tak sadarkan diri dan lupa cara menutup mulut.

"Saya perlu bunga matahari, sebagai poin utamanya untuk buket bunga berukuran besar," katanya tanpa basa-basi, seolah memesan karangan bunga adalah kebiasaannya hingga tidak perlu bertanya ini dan itu.

Aku hanya mengangguk. Segera bergegas melakukan pesanannya, tanpa harus mengagumi kecantikan wanita paruh baya itu lebih lama lagi. Namun, aktivitas itu terhambat saat Fariz menahan lenganku.

"Ayo lakukan stek mawar putih untuk Annora dan tunggu, sampai bunganya mekar," kata Fariz bagai hujan di padang pasir, membuatku bertanya-tanya.

Demi lihat siluman badak, untuk apa, Fariz?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top