12. Be Gentle And Give Her A Song
Akhirnya diputuskan untuk menjual poffertjes karena ringan, enak, mudah dibuat, serta semua kalangan bisa menyantapnya sebagai cemilan. Beberapa hari kami; aku dan Fariz mempelajari cara pembuatannya dengan beraneka ragam topping di rumahku, kami tidak pernah tahu bahwa ternyata nenek ahli dalam membuat poffertjes. Kata nenek, dulu waktu masih kuliah, dia pernah punya teman orang Belanda dan dari sanalah beliau mempelajarinya, hingga menjadi camilan favorit mereka berdua.
Bahkan meski Annora jarang berkumpul bersama kami untuk membicarakan event, ternyata diam-diam dia juga mempelajarinya seorang diri. Aku mengetahui hal tersebut ketika iseng nanya—sewaktu kita sedang chat—bagaimana dia bisa sampai di rumah, ketemu nenek, lalu menciptakan kejutan dengan menjadi tamu dadakan plus menghasilkan poffertjes bersama nenek dalam bentuk lebih mini, lebih imut, sekali suap, seperti kue cubit. Kata Annora, masalah ketemu nenek itu memang kebetulan karena sama-sama berada di toko perlengkapan kue dan Annora sedang kebingungan nyari baking powder. Sehingga kedatangan nenek pun membantu Annora untuk pilih-pilih sampai berakhir dengan perkenalan tak disengaja.
Kurang lebih seperti itu penjelasan Annora. Aku antara percaya dan enggak percaya, soalnya di dunia ini yang namanya kebetulan hanya sepuluh persen dari seratus persen.
Lalu Fariz, saat kuceritakan tentang Annora yang tiba-tiba menjadi tamu kejutan kemarin, hingga berakhir dengan melihat sunset dari sudut pandang berbeda dan berboncengan menggunakan sepeda pun justru memiliki pandangan lain. Yaitu pandangan yang membuatku berharap tidak pernah mendengar, sekaligus tidak pernah curhat sama Fariz.
Flaminggo makan ikan.
Serius, enggak mau banget kalau dibilang kegeeran.
"Kamu itu enggak pede-an banget, sih. Coba lebih peka dikit dan rasakan gerak-gerik, sekaligus aura Annora kalau lagi dekat kamu," kata Fariz sambil menerima bungkusan plastik berisi tepung terigu protein sedang dan bahan-bahan kue lainnya di bagian kasir. "Yakin, seratus persen Annora naksir kamu, Ka. Yaa ... sebenarnya rada kesel juga karena itu cewek malah naksir kamu, padahal masih ada cowok paling peka di depan dia."
"Siapa?"
"Menurut kamu?" Fariz malah balik bertanya, seolah adab komunikasi sekarang mengalami penambahan yaitu bertanya juga bisa dibalas dengan pertanyaan.
Aku mengedikkan bahu, mengabaikan pertanyaan Fariz dan mengucapkan terima kasih pada penjaga kasir di toko bahan-bahan kue.
Bukannya enggak pede atau pura-pura enggak tau siapa yang dimaksud Fariz, cuma masalahnya kenapa kita harus ngomongin Annora, sih? Secara aku belum tahu kalau dia—mungkin—naksir aja sudah hebohnya se-alam semesta, gimana kalau dia tahu kalau aku menyadarinya, bisa jadi surga dan neraka pun ikutan dibuat Annora heboh. Tapi selain itu, sepertinya aku belum siap untuk menjalin hubungan karena masih terlalu malu buat dekat sama cewek, serta khawatir jika nanti akan berakhir seperti ibu yang meninggalkan bapak.
Bukan meninggalkan karena menyambut tangan Tuhan, tapi meninggalkan karena lebih memilih tangan lelaki lain, daripada bapak. Jika kalian berada di posisiku, bisa kebayangkan bagaimana rasanya saat mengetahui kenyataan itu, bukan? Marah, benci, dendam, seolah berharap tidak pernah dilahirkan dari rahim wanita tersebut pasti menjadi benalu di dalam dada dan akan sulit terobati andai tidak dirawat dengan baik. Beruntung, dua sosok berarti dalam hidupku; bapak-nenek selalu memberikan pengertian terbaiknya, yaitu mengatakan bahwa tidak ada yang abadi jika kita berharap pada manusia dan tidak akan menguntungkan jika keburukan dibalas dengan hal serupa.
Jadi, karena pengalaman di masa lalu jika berbicara mengenai cinta antara laki-laki dan perempuan, aku sedikit memiliki jiwa ....
... apatis.
"Jadi, kamu tanyain Annora enggak tentang alasannya kenapa dia enggak bisa datang hari ini?" tanya Fariz sambil menyerahkan helmku, setelah memberikan satu kantung plastik berukuran besar untukku.
Aku menggeleng dan Fariz mengembuskan napas panjang, seolah sebelumnya ia mengalami gagal paru-paru.
"Dengar," perintahnya sudah kayak boss mau marahin anak buahnya. Aku hanya menaikkan kedua alisku dan memasang helm selama beberapa detik lalu bersiap naik ke jok belakang motor Fariz, tapi malah ditahannya. "Jangan naik dulu sebelum urusan kita benar-benar selesai."
Jerapah terbang, urusan apa lagi yang dimaksud Fariz? Perasaan sejauh ini kita baik-baik aja, kenapa seketika jadi kayak punya masalah serius? Jangan bilang ini masih menyangkut masalah Annora, ogah banget ngomongin dia, apalagi kalau ingat gimana dia sukses bikin aku berdebar-debar cuma lewat pelukan dari belakang dan ucapan saranghae-nya. Sungguhan enggak matching banget sama perkataan apatis yang kusebutkan tadi, tapi manusiawi aja jika tindakan Annora menghasilkan reaksi demikian karena aku laki-laki dan dia perempuan.
Jadi daripada ribut-ribut tidak jelas sama Fariz hanya karena Annora, aku pun segera to the point aja pake bilang, "Kalau mau ngomongin Annora, kenapa—"
"Be gentle, Dude," kata Fariz yang tanpa aba-aba, tanpa permisi memotong ucapanku dengan kefasihan tingkat dewa dalam pengucapan Bahasa Inggris. "Enggak mesti kamu harus suka balik ke Annora, tapi coba, deh bersikap lebih baik. Perempuan itu suka banget diperhatiin, dilembutin, dan disayang, nanti kalau sampai akhirnya enggak ada rasa apa-apa tinggal bilang sejujurnya aja."
Tinggal bilang sejujurnya aja, kata Fariz? Serius, belah duren pake gunting! Ini anak bercanda, ya? Boro-boro mau ngelakuin tiga hal yang disebutin Fariz barusan, deket sama cewek saja enggak pernah yang ada kalau terpaksa dilakuin akhirnya pun bakal malu-maluin diri sendiri.
Berdeham demi menghilangkan rasa tidak nyaman akibat kepikiran gimana jadinya kalau aku bertingkah ala Fariz saat godain cewek, aku menurunkan kaca helm Fariz dengan satu pukulan kuat. Rasanya pedas-pedas manis di telapak tangan, tapi kutolak untuk mengusap tangan di celana demi menjaga kehormatan kekuatan seorang lelaki muda, jadi kutatap Fariz dengan tatapan tajam setajam celurit.
"Aku enggak bisa bersikap kayak gitu," kataku, "meski kalau pun aku suka, rasanya bakalan bingung harus mulai dari mana karena dekat atau naksir cewek aja aku enggak pernah."
"Selama dua puluh satu tahun?" tanya Fariz sambil menaikkan sebelah alisnya, seolah tak percaya dengan pengakuanku barusan, tapi aku tetap mengangguk—menjawabnya penuh kejujuran. "Mustahil," kata Fariz kemudian mencibir.
"Enggak percaya juga bukan masalah." Berbicara dengan nada cuek, kuputuskan untuk segera naik ke jok belakang motor Fariz. Perjalanan kami belum selesai, harus pergi ke pasar buat beli alat-alat bikin kue seperti; cetakan kue cubit, kocokan tangan, dan celemek seragam agar tampak kece selayak di kafe-kafe, belum termasuk hal-hal lain jika nanti ada yang menarik perhatian kami. Setelah itu, sebelum kembali ke rumah kami juga harus ke kampus terlebih dahulu untuk menghadiri rapat kepesertaan event besok.
"Ayo jalan sekarang," perintahku, "kalau terus ngomongin hal-hal enggak penting yang ada kita bakalan kehabisan waktu."
"Enggak bakal kehabisan waktu kalau kita ngomongin Annora, secara dia cantik, populer di cowok-cowok, dan kamu—yang ditaksir dia—malah enggak ngelirik sama sekali." Fariz menghidupkan mesin motornya. "... atau jangan-jangan kamu homo, ya?" tuduh Fariz, sambil menjalankan motornya menuju pasar tradisional.
"Ayam beranak! Ya, enggaklah."
Tuduhan kurang ajar yang secara refleks menghantarkan sebuah bogem mentah di kepala Fariz. Demi ngeliat harimau makan daun, emang muka-muka kayak aku ada kemungkinan jadi homo, ya? Aku pun diam-diam berkaca pada spion Fariz, demi memastikan sembari mengingat-ingat bagaimana ciri seorang homo seks. Entahlah, no clue.
Yang kuingat hanya omongan Kirana dan Putri waktu mereka dilabrak sama seorang homo seks di pasar malam, hanya karena filtring ke pacar dia. Tapi enggak salah Putri sama Kirana juga, sih karena pada umumnya 'kan laki-laki diciptakan untuk perempuan, bukan untuk sesama jenis. Oh, bukan berarti rasis dengan kelompok pelangi, ya hanya saja sangat disayangkan.
"Tapi ngomong-ngomong, Riz, emang kamu bisa bedain yang mana cowok homo dan yang mana bukan cowok homo?" tanyaku masih sibuk dengan tema homo seks, saat Fariz memarkirkan motor di depan pasar tradisonal. Seketika suasana khas serta aroma pasar menyambut kami dan tentu saja ada kenangan bapak di sana.
"Enggak usah ngebahas mereka lebih lanjut," sergah Fariz, "kita bahas perasaan kamu dan Annora aja. Gimana kalau kamu coba kasih performance di penutupan nanti? Bukan sesuatu yang lebay, sih, tapi Annora pasti klepek-klepek.
"Kita bakal nyumbang aksi panggung besok malam." Fariz mengacungkan simbol dua jari; telunjuk dan jari tengah—berarti peace—bahasa Indonesianya, 'Maaf, cuma iseng jangan marah', tapi yang ada aku justru gemas bahkan langsung dorong jidat Fariz pake telapak tangan. Dasar koala kumal! Kenapa mutusin manggung tanpa pemberitahuan, sih? Kalau begini caranya, 'kan bisa bikin kacau karena enggak ada pemanasan. Selain itu ....
"Emang mau ngapain di atas panggung?" tanyaku bego karena emang enggak ada clue sama sekali.
Fariz tertawa renyah, serenyah keripik singkong di depan kampus lalu menatapku dengan tatapan jenaka. "Kamu nyanyi sambil main gitar," kata Fariz kemudian tertawa lagi dan kabur masuk ke dalam pasar, sebelum menerima serangan laser dariku.
Makan ikan asin pake nasi.
Sumpah aku enggak bisa nyanyi!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top