Bab 6
Rian membaca laporan dari Tim Inafis sambil minum kopi tanpa gula. Dia membaca lembar demi lembar laporan itu.
"Risin," gumam pria itu sambil mengernyitkan dahi.
"Iqbal, kamu pernah dengar pembunuhan dengan risin di Indonesia?"
Ajudannya yang duduk di depannya sambil membaca laporan itu menggeleng.
"Setahu saya racun itu dibuat dari biji jarak. Saya pernah baca berita kalau racun ini dipakai untuk usaha pembunuhan presiden Amerika. Saudara tiri Presiden Korea Utara, Kim-Jong-Nam diduga dibunuh pakai risin, Pak. Kalau di Indonesia belum pernah dengar, Pak."
"Kedua korban diracun pakai risin. Ini kebetulan saja atau saling berkaitan," gumam Rian sambil meletakan laporan itu di meja. Dia menyatukan kedua telapak tangannya dan menempelkannya kedua jari telunjuknya di kening.
"Herman Adiwijaya dibunuh. Siapa yang punya motif? Aku yakin istrinya punya motif. Sekretarisnya masih jadi teka-teki untuk kita. Aku yakin sekali ada sesuatu antara Elsa dan Herman Adiwijaya. Ani, pembantunya tidak punya motif. Apa yang diperolehnya dari kematian bosnya kecuali kalau dia adalah selingkuhan bosnya?"
"Rasanya tidak mungkin Ani kekasih gelap Herman Adiwijaya," komentar Iqbal.
Rian tidak menanggapi Iqbal dan meneruskan pembicaraannya. "Lalu Andi Haryanto. Arsitek yang namanya sedang naik daun. Tidak punya saudara dan istri." Inspektur itu berhenti sebentar mengambil napas lalu berkata, "di botol kemasan kopi itu ada racunnya, hanya ada sidik jari korban dan pembantunya. Di gelas pecah di apartemen Andi hanya ada sidik jari korban. Yang lebih aneh, kenapa ponselnya juga tidak ada. Apa ada petunjuk mengenai pembunuhnya di ponsel Andi? Bal, kalau begitu kemungkinan saat Andi menelepon teknisi, si pembunuh masih ada ruangan apartemen Andi."
"Iya, Pak. Mungkin si pembunuh turun saat Beni naik. Bisa saja Beni berpapasan dengan pembunuhnya, Pak."
Tok tok tok, suara ketukan terdengar di ruangan itu.
"Masuk," kata Rian.
Seorang petugas muda memasuki ruangan berdinding putih itu.
"Ini, Pak. Video CCTV dari semua lift di gedung D apartemen Rose Residence kemarin," kata pemuda itu sambil menyerahkan amplop.
Rian dan Iqbal segera melihat video itu sesudah petugas muda itu keluar.
Dari CCTV itu terlihat bahwa Andi turun jam 7 pagi dan kembali pada jam lima lebih sepuluh sore. Andi terlihat sehat.
"Bal, setelah ini kita amati siapa saja yang naik ke lantai 12," kata Rian.
Setelah jam 5.10, ada beberapa orang yang naik ke lantai 12, tidak ada yang menarik perhatian Rian sampai dia melihat gadis itu naik ke lantai 12. Itu Elsa, sekretaris Herman Adiwijaya. Gadis itu naik pukul 5.25. Mungkin tidak ada hubungannya dengan Andi, tapi bagaimana bisa gadis itu naik? Apa dia salah satu penghuni? Beni sendiri, si teknisi naik pukul 6.03 dari lift sebelah barat.
"Sayang di lorong apartemen tidak ada CCTV-nya," keluh Rian, "Yang naik turun dari lantai 12 antara jam 5.10 sampai jam 6 cukup banyak. Kita tidak bisa menginterogasi orang-orang ini satu persatu. Tapi aku penasaran kenapa Sekretaris Herman Adiwijaya bisa naik ke lantai 12 apartemen itu. Gadis itu turun pukul 6.05 dari lift sebelah timur dan naik lagi pukul 7.55, lima menit setelah kita naik dan turun jam 9.15."
"Apa Pak Rian mencurigainya?" tanya Iqbal.
"Entahlah, kebetulan saja hanya dia yang aku kenal di antara banyak orang yang naik turun lift. Kalau untuk pembunuhan Herman Adiwijaya dia mungkin punya motif tapi kalau Andi ini. Ayo kita cari tahu. Sebelum kita temui gadis itu, kita harus menemui beberapa orang dulu."
***
Twin's Café pagi itu tidak begitu ramai. Kafe itu tetap buka walaupun sang pemilik masih terbaring di rumah sakit. Siska melihat kartu tanda pengenal kepolisian milik Rian dan Iqbal dengan bingung.
"Iya, Pak. Bagaimana?" tanya Siska. Sebenarnya dia takut berhadapan dengan polisi tapi apa daya, hanya dia yang sedang tidak sibuk di kafe.
"Apa mereka pernah datang ke sini?" tanya Rian sambil memperlihatkan foto Herman Adiwijaya dan Andi Haryanto.
Jantung Siska berdegup kencang ketika melihat foto kedua orang itu. Dia mengenali keduanya.
Rian melihat perubahan di wajah gadis berambut pendek itu.
"Apa anda mengenali mereka berdua?"
"Ya," jawab Siska dengan gugup, "mereka pernah ke sini, Pak."
"Kapan?"
"Yang ini Herman Adiwijaya, kan? Yang meninggal kemarin?" tanya Siska sambil menunjuk foto Herman Adiwijaya.
Rian mengangguk.
"Herman Adiwijaya datang ke sini dua hari yang lalu, Pak. Di hari sebelum kematiannya. Soalnya saya inget sore itu saya antar makanan ke mejanya, besoknya ada berita kalau dia meninggal."
"Hari itu jam berapa Anda mengantar makanan ke mejanya?"
"Sekitar jam 6."
"Apa yang dia pesan?"
"Nasi Goreng spesial."
"Minumnya?"
"Saya kira dia pesan es capucino. Bukan saya yang mengantar minumannya."
"Apa ada pelanggan yang datang ke mejanya selama dia makan?"
"Jujur saja saya tidak ingat, Pak. Saya sibuk melayani pelanggan yang lainnya."
"Lalu yang ini," kata Rian menunjuk foto Andi, "kapan dia ke sini?"
"Dia langganan tetap, Pak. Seringnya datang pagi-pagi sebelum ke kantor."
"Anda tahu namanya?"
"Iya, namanya Andi Haryanto."
"Apa Anda mengenal mereka secara pribadi?"
"Tidak," jawab gadis itu cepat.
Walaupun gadis itu berkata 'tidak' tapi wajah gadis itu tidak bisa berbohong. Rian tidak bisa mendesak gadis itu, semakin gadis itu didesak maka dia akan terus bungkam. Cepat atau lambat dia pasti bisa menguak rahasia antara gadis berlesung pipit itu dan kedua pria itu.
***
Wanita berkerudung berusia akhir dua puluhan melayani mereka. Wajahnya biasa saja. Wanita yang tidak punya keterampilan yang mengadu nasib di Jakarta.
"Bapak-bapak polisi, silakan duduk," kata Ani mempersilakan, "Nyonya masih di atas. Mau saya panggilkan?"
Rian dan Iqbal duduk di sofa dari kayu jati yang antik. Ruangan itu didominasi warna putih. Ruang tamu itu langsung menghubungkan ruang keluarga dengan perabotan antik. Foto pernikahan Herman dan Kartika terpasang dengan apik di ruang tamu.
"Saudara Ani," panggil Rian.
"Iya, Pak."
"Bisa kita berbincang dulu sebentar?"
"Soal apa ya, Pak?" tanya Ani sambil memeluk nampan hijau yang tadinya berisi dua cangkir kopi.
"Wanita yang datang menemui majikan Anda. Bisa Anda jelaskan sekali lagi?"
Ani menoleh ke Iqbal. Ani sudah merasa bahwa dia sudah menceritakan apa yang dia tahu ke polisi dan tidak perlu bercerita untuk yang kedua kalinya. Namun Iqbal memberinya kode bahwa dia harus menceritakannya.
Mau tidak mau Ani bercerita lagi. Penuturan Ani sama seperti yang sudah didengar Iqbal. Tidak ada perubahan.
"Jadi Anda tidak bisa melihat wajah wanita yang menemui majikan Anda itu?" tanya Rian setelah wanita berwajah tirus itu selesai bercerita.
"Iya, Pak."
"Di mana Anda berdiri saat itu?"
"Saya tidak berdiri Pak. Dari kamar saya ke kamar mandi, saya harus menyeberangi ruang keluarga, Pak. Pas saya lewat, tentu saja saya melihat Pak Herman. Pak Herman dan tamunya berdiri di dekat pintu. Tamunya pasti perempuan karena dia pake rok."
"Rambutnya panjang atau pendek?"
"Tidak kelihatan, Pak. Ketutupan tudung. Bisa saja rambutnya diikat," kata Ani.
"Soal botol kopi, Anda yang membersihkan kamar Tuan dan Nyonya?"
"Iya, Pak."
"Apa ada pembantu lain?"
"Cuma saya, pembantunya. Ada Pak Sarno tapi beliau datang dua minggu sekali untuk mengurus taman dan kebun."
"Apa nyonya Anda tahu tentang botol kopi itu?"
"Saya tidak tahu, Pak."
Rian menghentikan sesi tanya jawab itu sejenak dan berpikir apa pertanyaan selanjutnya yang harus dia tanyakan kepada Ani. Rian menatap pembantu yang kelihatannya jujur. Ani menjawab pertanyaan Rian dengan nada tegas dan lugas.
"Hari Selasa," Rian melanjutkan sesi tanya jawabnya, "jam berapa Pak Herman pulang?"
"Saya tidak pernah tahu jam berapa Pak Herman pulang. Saya selalu tidur cepat supaya bisa tahajud. Hanya beberapa kali saja Pak Herman pulang sebelum magrib. Setelah itu selalu pulang di atas jam 9. Bu Kartika yang biasanya menunggu."
Rian manggut-manggut mendengar keterangan Ani. Rian mengeluarkan foto Andi dari sakunya.
"Apa Anda pernah melihat orang ini?"
Ani berpikir sejenak. Mengingat-ingat. Pria di foto itu terlihat seperti pria yang berkecukupan. Ani tidak ingat apakah dia pernah melihat orang itu sebelumnya.
***
Kartika melihat kedua polisi itu dengan pandangan menyelidik. Dia tidak suka polisi datang ke rumahnya. Dia hanya ingin kedua polisi itu menghentikan penyelidikannya dan mengatakan bahwa suaminya meninggal karena serangan jantung mendadak.
"Apa yang bapak-bapak inginkan," kata Kartika tidak ramah. Ingin rasanya Kartika mengusir kedua perwira itu.
"Begini, setelah tubuh suami Anda diotopsi ...."
"APA?!" teriak Kartika memotong kalimat Rian, "Berani-beraninya kalian membedel tubuh suami saya!"
Wajah ayu Kartika merah padam karena marah.
"Kami punya wewenang untuk itu," kata Rian dengan wajah datar.
"Begini, Bu Kartika," Rian mengamati wajah Kartika sebentar sebelum melanjutkan, "suami Anda dibunuh. Dia diracun."
Kartika kaget hingga terlonjak dari duduknya. Bola mata janda itu hampir keluar dari tempatnya.
"Dibunuh?! Siapa yang mau membunuhnya?!" tanya Kartika garang.
"Anda sendiri punya motif untuk membunuhnya," ucap Rian masih dengan wajah datar.
"Maksud Anda?"
"Racun adalah senjata wanita, Bu Kartika."
Kartika diam saja. Nada bicara Rian datar-datar saja namun justru itu yang membuatnya jengkel.
"Apa Bu Kartika pernah dengar Risin?" tanya Rian.
"Apa itu?" Kartika bertanya balik dengan lugu.
"Racun yang dibuat dari pemurnian biji jarak."
"Dari biji jarak?" tanya Kartika bingung. Seumur hidupnya dia baru pernah mendengar nama racun itu.
"Biji jarak," ulang Kartika tidak mengerti.
"Dulu orang tua saya selalu melarang saya makan biji jarak," tutur Kartika, "suami saya diracun dengan racun dari biji jarak?"
"Iya, Bu Kartika."
"Di mana racunnya ditemukan?"
"Di botol kopi, di kamar Anda?"
"Di kamar saya? Apa kalian masuk ke kamar saya?" tanya Kartika jengkel.
"Saya yang masuk kamar Anda." Iqbal akhirnya angkat suara setelah dari tadi sibuk mencatat.
Kartika melotot ke Iqbal. "Anda!"
"Saudari Ani menelpon saya dan memberitahukan ada botol kopi di kamar Anda," kata Iqbal juga dengan nada datar seperti atasannya.
"A ...." Baru saja Kartika akan menyebut nama pengurus rumahnya itu tapi Rian mengangkat tangannya.
"Ani tidak salah. Dia hanya menjalankan kewajibannya."
Rian menarik napas sebelum melanjutkan sesi tanya jawabnya lagi. "Apa anda tahu bahwa kemarin, jam 3 pagi, suami Anda menemui seorang wanita?"
Kartika menatap kedua perwira itu tanpa ekspresi, sama seperti yang dilakukan kedua perwira itu.
"Saya tahu suami saya keluar kamar tapi saya tidak tahu jam berapa karena saya tidak melihat jam. Kalaupun dia menemui seorang wanita lain di rumah ini, itu sangat tidak wajar. Buat apa wanita itu masuk ke kandang musuhnya dengan resiko terlihat oleh saya," ucap Kartika setengah melamun.
Rian mengeluarkan foto yang tadi sudah diperlihatkannya pada Ani.
"Apa Bu Kartika kenal dengan orang ini?"
Deg!
Itu foto kekasih gelapnya. Apa gerangan yang akan ditanyakan kedua polisi itu tentang kekasihnya itu?
"Saya tahu ... sebentar ... kalau tidak salah dia muncul di acara home décor. Arsitek ... Andi Haryanto," jawab wanita itu.
Polisi yang lebih tua itu mengangguk. Dia memandangi nyonya rumah yang memakai setelan rok berwarna emas itu. Sepertinya warna emas adalah warna favoritnya. Sebelumnya wanita itu memakai kebaya berwarna emas, sekarang dia memakai warna itu lagi.
"Apa Bu Kartika kenal secara pribadi dengan Andi Haryanto?"
"Tidak." Kartika spontan menjawab pertanyaan itu tapi Rian dapat menangkap adanya getaran dalam suara Kartika.
"Andi Haryanto dibunuh dengan racun yang sama seperti suami Anda," kata Rian sambil beradu pandangan dengan Kartika. "Di mana Anda kemarin sore, antara jam 5 sampai jam 6 lebih sedikit?"
Kartika mengangkat bahunya. Dia memalingkan wajahnya dari pandangan kedua polisi itu. "Saya ada di kamar saya," jawab Kartika lalu berdiri meninggalkan kedua polisi itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top