Bab 3
Pemuda itu tidak memperhatikan apa yang sedang dimasaknya. Dia tenggelam dalam pikirannya. Pikirannya sangat kalut karena kejadian yang dilihatnya semalam. Dia melihat Doni dipukul seseorang di tempat sepi. Orang itu menggunakan masker sehingga dia tidak mengenalinya. Dia melihat orang itu memasukan tubuh Doni ke mobil dan mobil itu pergi.
Bau gosong yang tercium menyadarkan pemuda itu. Ayam yang digorengnya hitam seperti arang.
"Duh Den Rangga, kenapa tidak minta tolong ke saya," keluh wanita paruh baya yang lari tergopoh-gopoh ke dapur.
Pemuda itu menatap nanar pada ayam yang digorengnya. Dia bukan tipe orang yang suka membuang makanan tapi kalau segosong itu, dia juga tidak mampu memakannya.
"Ya udah Bi Tinah, tolong gorengin lagi," kata Rangga pada wanita berdaster itu sambil meninggalkan dapur.
***
Elsa benar-benar benci bau rumah sakit, tapi demi pria yang dicintainya, dia rela menepiskan rasa benci itu. Dia melapisi bajunya dengan baju khusus sebelum masuk ke ruang ICU. Bunyi alat-alat kesehatan memenuhi ruangan itu.
Kepala Tania terkulai di sisi kakaknya. Dia sama sekali tidak bergerak saat Elsa masuk. Pandangan Elsa melayang ke pemuda yang dicintainya. Matanya nanar melihat orang yang dicintainya begitu pucat, di wajahnya terpasang masker oksigen dan di tubuhnya dipenuhi berbagai macam selang.
Elsa memegang tangan kiri Doni dan menangis. Air mata itu mengenai tangan Doni. Elsa mecoba mengingat kenangannya bersama Doni.
Dia pertama kali berkenalan dengan Doni saat dia masih kuliah. Mereka berasal dari jurusan yang berbeda namun mereka sering dipertemukan dalam forum kemahasiswaan. Melina saat itu selalu mencomblangkannya dengan Doni padahal Melina tahu kalau dia sedang dekat dengan Rangga.
Dia tidak tahu alasan Melina begitu gigih mencomblangkannya dengan Doni. Segala upaya dilakukan Melina agar dia berpacaran dengan Doni. Pada akhirnya dia memilih Doni dan melupakan Rangga. Dan sampai sekarang dia masih berpacaran dengan Doni.
Tangan Doni yang lemas itu tiba-tiba menggenggam tangannya. Elsa segera menyeka air matanya dan melihat wajah Doni. Mata Doni yang terpejam bergerak dan akhirnya matanya terbuka sempurna.
"Doni!" pekik Elsa dengan penuh rasa syukur. "Tania!" panggil Elsa sambil mengguncang tubuh Tania. "Tania, Doni sudah sadar."
***
Siang itu Hendra memarkir motornya di teras kontrakannya. Sebagian halaman rumahnya masih dipasangi garis polisi. Apa gerangan yang terjadi? Lingkungan rumah termasuk lingkungan padat penduduk dan warganya sangat giat melakukan siskamling. Saat malam hari, jalan kecil di depan rumahnya ini masih dilalui karyawan-karyawan dan mahasiswa yang pulang malam. Sangat aneh baginya kalau ada seorang pemuda yang dipukul di rumahnya tapi tidak ada yang mengetahuinya.
Pria paruh baya itu masuk ke rumahnya dan menjatuhkan dirinya ke sofa. Baru saja dia menaruh pantatnya di sofa, suara ketukan tiba-tiba terdengar. Dia membukanya. Di depannya berdiri seorang pria yang cukup tampan berusia antara empat puluh lima tahun sampai lima puluh tahun.
"Pak Hendra!" sapa pria itu, "lama tidak bertemu."
Andi! Untuk apa dia muncul di hadapannya sekarang? Hendra sebenarnya tidak ingin menerima tamunya namun tak urung dia penasaran apa tujuan Andi kemari.
"Pak Hendra sudah mendengar tentang kematian Herman Adiwijaya?" tanya Andi setelah menjatuhkan diri di kursi.
"Ya, saya sudah dengar dari Elsa."
"Elsa. Bagaimana kabar anak itu sekarang?"
Hendra geram mendengar pertanyaan itu. Apa hak Andi menanyakan kabar Elsa. Setelah ibu Elsa meninggal, Andi, pamannya yang harusnya mengasuh Elsa malah lari dari tanggung jawabnya. Elsa kecil ditelantarkan sendirian. Hendra sebagai tetangganya merasa iba dengan Elsa. Hendra yang tidak punya anak dan ditinggal mati istrinya beberapa hari setelah pernikahannya itu mengurus Elsa seperti anaknya sendiri.
"Elsa sudah menjadi gadis yang cantik dan kebetulan bekerja di perusahaan milik Herman Adiwijaya," jawab Hendra datar.
"Oh," kata Andi sambil memegang dagunya yang licin.
Selama beberapa saat kedua pria itu terdiam. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
"Pak Hendra." Andi akhirnya memecah keheningan diantara mereka. "Ngomong-ngomong apa Elsa tahu kalau Herman Adiwijaya itu ayah kandungnya?"
"Eh! Apa?!" Jujur saja Hendra kaget mendengar pertanyaan Andi.
"Dulu, Mba Wulan pernah pacaran sama Pak Herman dan hamil. Saya waktu itu sama sekali tidak ingin ikut campur dengan masalah percintaan kakak saya. Sepertinya kakak saya menyembunyikan kehamilannya karena saat itu Pak Herman menikah."
"Mungkin saja kakakmu tidak cuma pacaran sama Herman," kata Hendra kurang yakin dengan cerita Andi.
"Sebenarnya tidak baik membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal tapi ...." Andi berhenti sebentar. "Tapi ... Kakak saya termasuk wanita yang matrealistis. Dia selalu ingin pacaran sama pria-pria yang kaya. Saya ingat betul kalau Mba Wulan hanya ingin berpacaran dengan pria selevel Herman Adiwijaya. Semua pacar Mba Wulan semuanya orang kaya tapi pacar Mba Wulan yang terakhir, Herman Adiwijaya adalah yang paling kaya di antara semua pacar Mba Wulan." Andi mengakhiri ceritanya lalu melihat jam tangannya. "Maaf, saya pamit dulu."
Setelah tamunya pulang, Hendra termenung. Herman Adiwijaya ayah kandung Elsa. Apakah suatu kebetulan saja kalau Elsa bekerja di perusahaan sang jutawan itu? Apa Elsa tahu bahwa bosnya itu adalah ayah kandungnya? Hendra ingin menanyakan hal itu pada Elsa tapi dia tidak tahu bagaimana caranya.
***
Aiptu Iqbal sudah bersiap pulang ketika petugas administrasi memanggilnya. Sebenarnya telepon itu ditujukan kepada Inspektur Rian tapi karena dia tidak ada di tempat maka sebagai ajudannya, Iqbal yang menerima telepon itu.
"Ya. Ini dengan siapa?"
"Ini Ani."
"Ya saudari Ani, ada apa?"
"Anu ... anu, pak, saya PRT di rumah Pak Herman Adiwijaya. Anu pak, kalau enggak salah jam tiga pagi, waktu saya mau ambil wudhu buat tahajud, saya tidak sengaja lihat Pak Herman bicara sama seseorang, mungkin masih gadis."
"Apa Anda ingat nama gadis itu? Bagaimana ciri-ciri gadis itu?"
"Saya tidak tahu, Pak. Saya tidak bisa mendengar percakapan mereka karena bicara mereka pelan sekali. Ciri-ciri gadis itu saya juga tidak tahu. Dia pakai jaket bertudung. Kepalanya tertutup tudung jaket. Kepala gadis itu tertunduk."
"Baik, saudari Ani, saya terima informa ...."
"Masih ada satu lagi, Pak," kata Ani memutus kalimat Iqbal.
"Iya ...."
"Saya menemukan botol kopi kemasan di keranjang sampah kamar tuan sama nyonya."
"Botol kopi?" tanya Iqbal
"Iya, botol kopi kemasan. Kadang-kadang Pak Herman suka minum kopi kemasan, Pak. Kalau Bu Kartika tidak pernah minum kopi."
"Iya ...."
"Siapa tahu di botol kopinya ada racunnya," kata Ani sok penting.
"Saudari Ani, saya akan segera meluncur ke sana."
***
Untuk kesekian kalinya dia bekerja untuk orang mati. Bekerja di bagian reserse kriminal tidak jarang membuatnya bertemu dengan mayat-mayat. Dia menggerakkan kaki panjangnya itu ke ruangan penuh dengan mayat-mayat korban kejahatan.
Di pojok ruangan, temannya itu masih meneliti mayat Herman Adiwijaya. Dia melangkah mendekati temannya—Robbi Tanjung.
"Rian, sepertinya kamu sudah tidak sabar menunggu hasilnya," kata dokter forensik itu.
"Ya, aku sudah tidak sabar."
"Sekarang ini aku baru saja mulai, paling cepat hasilnya keluar nanti malam."
Rian mengamati wajah pucat itu. Garis-garis wajahnya mirip dengan wajah sekretarisnya yang ditemuinya tadi siang. Mungkinkah ada suatu hubungan khusus di antara mereka.
Ponsel di saku celananya bergetar. Dia menerima telepon itu dan segera meninggalkan ruangan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top