Bab 1
Twin's Cafe ramai sekali dengan pengunjung. Tak jarang ada tamu-tamu yang harus pulang dengan kecewa karena tidak mendapatkan tempat duduk. Pada jam 6, memang wajar kafe itu sangat ramai, apalagi masakan di kafe milik Doni Nugraha itu memang terkenal sangat lezat dan tempatnya sangat strategis. Dekat dengan pusat perkantoran di mana karyawan-karyawan yang lapar bisa mampir dulu ke situ untuk mengganjal perut mereka.
Siska, salah satu pelayan di kafe itu tidak henti-hentinya mondar-mandir melayani pelanggan. Dia duduk sebentar di konter dapur karena kelelahan.
"Siska, antar ke meja nomor 6, ya!"
Juru masak itu menyodorkan nampan berisi nasi goreng ke tangan Siska. Gadis berambut pendek itu mau tidak mau mengantarkan makanan pelanggannya sebelum makanan itu dingin. Dia sendiri belum lama kerja di kafe milik kakak kelasnya—Doni Nugraha. Kakak kelasnya itu menyuruhnya kafenya. Kakak kelasnya membuatnya berhenti menjadi kupu-kupu malam. Penghasilannya tak sebesar saat dia menjadi WTS, namun itu sudah lebih dari cukup untuk dirinya yang masih lajang.
Meja demi meja dia lewati sampai dia tiba di meja nomor 6. Dia terkesiap melihat pelanggan yang duduk di situ. Herman Adiwijaya!
Siska menundukkan wajahnya agar lelaki itu tidak melihat wajahnya. Siska langsung menaruh nasi goreng itu di meja dan bergegas menuju konter dapur.
"Tidak bisa dimaafkan," kata Siska dengan marah.
***
"Mas Herman!" teriak gadis cantik berusia seperempat abad itu marah. "Apa-apaan ini, Mas! Jawab!"
Herman Adiwijaya hanya termanggu di pinggir ranjang. Perselingkuhannya dengan gadis itu selama memang berjalan mulus sampai gadis itu menyatakan bahwa dia hamil dan meminta pertanggungjawaban Herman untuk menikahi gadis itu.
Menikahi Melina? tanya Herman dalam hati. Herman menggeleng. Citra yang selama ini dibangunnya akan hancur. Pernikahannya dengan Kartika juga akan kandas. Dia memang tidak pernah mencintai istrinya. Satu-satunya wanita yang dia cintai hanyalah Wulan, gadis yang 25 tahun lalu menghiasi hatinya dan sampai sekarang masih menghiasi hatinya.
Herman menatap wanita sedang marah itu. Apa yang bisa dia lakukan untuknya? Melina yang cantik dan tinggi semampai itu bisa mengalihkan hatinya dari Wulan. Tapi sekarang perempuan itu menjadi sosok yang sangat berbeda. Jujur saja Herman bingung tidak tahu bagaimana menghadapi perempuan yang sedang kalap itu.
Herman tidak menanggapi kemarahan Melina. Dia hanya bangkit lalu mengambil botol kopinya dan membanting pintu apartemen itu keras-keras.
Melina menjatuhkan diri ke Kasur dan menangis sejadi-jadinya. Orang tuanya pasti akan marah jika tahu kalau dia hamil di luar nikah. Ayahnya yang notabene seorang kyai akan marah besar padanya. Melina terus menangis dan menangis sambil memegangi perutnya.
***
Jam sudah menunjukan pukul 22.00 namun Elsa masih berkutat dengan komputernya di kantor. Tadi tepat sebelum jam pulang kantor, bosnya—Herman Adiwijaya—menyerahkan setumpuk draf surat dan menyuruhnya menyelesaikan draf itu sebelum peluncuran anak perusahaan barunya besok pagi. Bosnya memang selalu begitu, suka memberinya tugas banyak dan mendadak.
Bip-bip-bip ....
Elsa mengambil ponselnya. Pesan dari Doni.
"Ya Tuhan, aku lupa janjiku sama Doni. Kira-kira dia bakal marah nggak ya ...."
Dia berusaha untuk menelepon pacarnya namun tidak ada jawaban.
Elsa cepat-cepat menyelesaikan tugasnya. Ternyata dia selesai menyelesaikan tugasnya itu pukul 22.25. Dia segera bersiap pergi ke tempat dia janjian dengan Doni. Elsa turun ke lantai dasar menggunakan lift dan mengucapkan salam pada satpam yang bertugas malam di gedung itu.
***
Restoran itu sudah mulai sepi. Tamu-tamu terakhir sudah mulai bersiap pulang setelah menghabiskan makanannya. Doni yang sudah menunggu di sana lebih dari dua jam belum memesan makanan. Dia masih menunggu kekasihnya. Dia mengambil kotak kecil dari saku celananya dan membukanya. Di dalamnya ada sebuah cincin emas bermata berlian. Malam ini dia berniat melamar gadis yang paling dicintainya. Gadis yang selama ini selalu memenuhi pikirannya. Tawa renyah gadis itu adalah hal yang paling disukainya.
"Maaf, Mas. Restorannya sudah hampir tutup."
Doni melihat ke sekeliling restoran. Benar saja, sudah tidak ada pengunjung lain di restoran selain dia.
Elsa kemana, sih? tanyanya dalam hati. Padahal katanya sebentar lagi akan datang.
Pelayan muda itu mengangguk ke arah jam dan mau tidak mau Doni harus pergi.
***
Taksi yang mengantar Elsa sampai di depan Restoran Ladinda. Elsa langsung turun dari taksi dan menuju pintu restoran. Restoran itu sudah tutup.
"Aduh, udah tutup ya ...," kata Elsa yang berdiri di depan pintu restoran.
Elsa bingung harus bagaimana. Dia sudah pusing dengan urusan kantor dan dia tidak mau bertengkar dengan Doni karena dia sudah melupakan janjinya. Dengan langkah gontai akhirnya Elsa memilih pulang karena besok dia harus datang pagi-pagi untuk melakukan persiapan.
"Elsa!"
Ada suara yang sudah familiar di telinganya memanggilnya. Tapi tidak mungkin dia mendengar suara itu di sini.
"Elsa," panggil suara itu lagi.
Elsa menoleh, bosnya memanggilnya dari dalam mobil.
"Pak Herman."
Herman Adiwijaya masih tampak menarik di usia lima puluhan. Pesonanya tidak kalah dengan bintang film papan atas dan rambutnya masih hitam. Tingginya pun lebih tinggi dari kebanyakan laki-laki Indonesia—188 cm. Tubuhnya terlihat atletis dalam balutan kaus ketat. Sesaat Elsa terpesona dengan bosnya. Belum pernah Elsa melihat bosnya memakai baju seperti itu.
"Kamu belum pulang?"
"Eh ... belum, Pak."
"Kalau begitu sekalian saja aku antar kamu pulang. Rumah kita searah bukan?"
"Iya, Pak. Tapi tidak usah repot-repot, Pak ...."
"Nggak papa, cepat naik!" kata Herman memerintah.
Mau tidak mau Elsa naik ke mobil bosnya. Hening. Selama beberapa waktu mereka terdiam tanpa bersuara. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Herman menghentikan mobilnya.
"Elsa, saya mampir dulu sebentar, ya." Suara Herman memecah keheningan.
Elsa tidak menjawab. Dia tampak sibuk dalam pikirannya sendiri. Mata gadis itu menatap kosong, bukan hanya kelelahan yang terpancar dari mata bulat itu tapi juga kepedihan.
Bertengkar dengan pacarnya, pikir Herman.
"Elsa!" panggil Herman setengah membentak.
Elsa terbangun dari lamunannya. "I-i-iya, Pak!"
"Kamu tunggu di sini ya. Saya mampir sebentar."
"Iya, Pak."
Elsa mengambil ponselnya. Jam di ponselnya menunjukan pukul 23.15. Dia mencoba menghubungi Doni lagi. Nomernya sudah aktif tapi Doni tidak mengangkatnya. Elsa gelisah memikirkan Doni. Doni memang manusia paling sabar yang pernah dikenalnya. Selama ini Doni belum pernah marah padanya. Tapi kesabaran Doni juga ada batasnya, keluh Elsa dalam hati.
Tidak lama kemudian Herman kembali ke mobilnya. Sebelum mengemudi, Herman mengambil botol yang ada di sebelah joknya dan meminum isinya.
"Tidak tahu kenapa rasanya hari ini saya capek sekali."
Elsa tidak menanggapi keluhan bosnya karena saat itu dia melihat gadis belia yang dikenalnya. Rok abu-abu terlihat di balik kardigannya. Di tangannya ada amplop warna putih dan wajahnya tersenyum aneh.
Tania ... dia belum pulang ..., kata Elsa dalam hati.
Tak lama kemudian mobil mewah warna silver itu berhenti di depan rumah Elsa. Kendaraan itu tampak kontras dengan rumah Elsa yang sederhana.
"Terima kasih, Pak sudah mengantar saya," kata Elsa sambil membuka pintu mobil.
"Oh ya, untuk besok pagi. Jangan sampai terlambat ya."
"Iya, Pak."
Elsa turun dari mobil Herman dan melangkah ke teras rumahnya. Motor bebek ayahnya belum terparkir di situ. Ayahnya pasti masih mengantar penumpang. Waktu itu jam menunjukan pukul 23.30.
Elsa memasukan kunci ke lubangnya dan mencoba membukanya. Sebelum dia membuka pintu, dia mendengar suara seseorang mengerang hebat. Dia mendekati sumber suara itu. Dia menemukan tubuh pemuda itu di bawah pohon mangga yang gelap di halaman kontrakannya.
"Doni!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top