Part 36
"Apa kamu tidak berlebihan, Na?"
Sorot mata Silvi seperti sedang menyalahkan atas sikap kasarku pada Satria siang tadi.
"Hah?" Aku melongo. "Menurutmu aku berlebihan, begitu?" Aku merasa ditipu habis-habisan wajar jika aku merasa kesal dan kecewa. Lantas di mana letak berlebihannya?
Pundak Silvi terangkat dua-duanya dan kembali turun sesaat kemudian.
"Terkadang seseorang dengan orang lain berbeda cara mengekspresikan rasa sukanya, Na. Mungkin Satria hanya menemukan cara itu untuk mengungkapkan perasaan sukanya padamu," ujar Silvi berusaha memberi penjelasan.
"Terus terang aku tidak suka cara dia mengekspresikan perasaannya, Sil," tegasku. "Aku merasa ditipu mentah-mentah."
"Kenapa kamu tidak menerima saja kenyataannya? Toh, semua sudah terjadi, kan? Kalau kamu tidak menyukai Satria, kamu bisa menolaknya dengan cara baik-baik. Marah-marah hanya akan menguras energi kamu, mengerti?" Gadis itu menepuk pundakku dengan senyum tipis menghias bibir. Ia sedang berlagak menjadi seorang bijak.
Aku bahkan tidak bisa fokus belajar karena terus-terusan memikirkan Satria dan trik liciknya.
"Tapi, kenapa kamu tidak suka pada Satria? Bukannya dia tampan dan kaya? Bagian mana yang kamu tidak sukai dari Satria, Na?"
Pertanyaan Silvi memaksaku memalingkan wajah padanya.
"Maksudmu apa aku harus menyukai Satria hanya karena dia tampan dan kaya raya? Apa cinta hanya terpaku pada fisik semata?"
Silvi tertawa miris.
"Bukannya Dewangga juga memiliki kriteria yang sama dengan Satria? Dewangga juga tampan dan kaya, kan? Tapi kenapa kamu hanya menyukai Dewangga saja? Umm..
Kalau dipikir-pikir Dewangga juga menggunakan cara yang tidak wajar untuk mendekati kamu, kan? Pada awalnya Dewangga menguntit kamu dan itu lumayan lama, Na. Tapi, pada akhirnya kamu menyukai Dewangga, kan?"
"Dewangga sudah tidak ada di dunia ini, Sil. Jangan bawa-bawa dia lagi. Kasihan Dewangga."
"Siapa bilang aku tidak kasihan pada Dewangga?" sangkal Silvi. "Aku juga kasihan pada Dewangga, Na. Tapi itu kan sudah takdir. Lebih baik kamu memikirkan kembali perasaan Satria."
Kenapa Silvi terus-menerus mendorongku agar menerima Satria? Ini sedikit mencurigakan.
"Apa Satria membayarmu untuk mempengaruhi pikiranku?" Aku mendelik saat menginterogasi Silvi.
"Tidak," tegas Silvi dengan keyakinan tinggi.
"Kalau tidak, kenapa kamu terus menyuruhku untuk menerima Satria?"
"Aku hanya berpikir secara logis, Na. Apa kamu perlu mencurigaiku seperti itu?"
"Karena kamu pantas dicurigai, Sil," desahku lelah. Aku akan melewatkan malam ini tanpa belajar sama sekali jika aku dan Silvi terus-terusan memperdebatkan Satria.
"Tega kamu, Na. Masa kamu curiga pada sahabatmu sendiri?"
"Aku tidak punya pilihan, Sil."
Silvi mengembangkan senyum getir usai mendengar pernyataanku. Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur, sementara aku masih mempertahankan posisi dudukku yang bersandar pada tembok. Buku dalam genggamanku telah terlepas sejak awal aku menceritakan perihal pertemuanku dengan Satria tadi siang.
Agaknya perdebatan kami berakhir begitu saja tanpa ada pemenangnya. Aku dan Silvi terdiam cukup lama.
"Satria adalah jalan ninjamu untuk merubah nasib, Na."
Aku sempat mengira Silvi tertidur karena gadis itu tidak bergerak selama beberapa menit. Mungkin tadi ia terdiam karena sedang berpikir keras.
Tanpa perlu penjelasan apapun aku langsung paham maksud ucapan Silvi.
Silvi menoleh.
"Bukankah tadi kamu bilang Mama Satria menyambutmu dengan hangat? Kamu tahu, itu merupakan sinyal kalau kamu diterima dengan baik oleh keluarga Satria."
"Tapi aku tidak menyukai Satria, Sil."
"Karena kamu masih memikirkan Dewangga?" tebaknya.
"Dewangga adalah kakak Satria."
"Aku tahu, aku belum lupa hal itu. Tapi Dewangga datang padamu saat dia sudah tidak ada di dunia ini, Na. Kamu tidak bisa menunggu orang yang sudah pergi selamanya."
Tapi Dewangga terlanjur membekas di hatiku. Mungkin akan sedikit sulit bagiku untuk melupakan Dewangga. Dan aku yakin kehadiran Dewangga bukan tanpa alasan. Ada sesuatu yang mungkin ingin disampaikan Dewangga padaku atau pada orang-orang yang ditinggalkannya. Bagaimana jika kematian Dewangga disengaja dan belum terungkap hingga sekarang?
"Aku akan fokus pada kuliah, Sil. Aku tidak bisa memikirkan hal-hal seperti itu sekarang," putusku setelah menimbang sejenak. Sembari melupakan kenangan singkatku bersama Dewangga, aku akan kembali fokus pada belajar.
"Terserah kamu, Na. Aku hanya memberi saran."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top