Part 35
"Bagaimana kalau aku serius dengan ucapanku tadi?"
Gerakan tanganku yang hendak mengunci sabuk pengaman, terhenti saat suara Satria terdengar bertanya.
Pria itu hendak mengantarku pulang, tapi agaknya Satria sengaja mengulur waktu. Padahal kami sudah berada di dalam mobil dan aku hanya perlu memakai sabuk pengaman, sedang Satria tinggal menyalakan mesin.
"Ucapan yang mana?" tanyaku bak orang linglung. Aku enggan untuk menggali ingatan kembali saat aku, Satria, dan mamanya berbincang di ruang tamu tadi.
"Aku menyukai kamu, Na."
Hatiku terenyak. Dalam sekejap aku merasa tak bisa bergerak dan otakku berhenti bekerja. Pengakuan Satria barusan benar-benar di luar dugaan. Ini sangat mengejutkan. Membuat dadaku terguncang parah.
Jadi, candaan Satria dengan mamanya bukan sekadar lelucon biasa? Kecurigaanku ternyata cukup beralasan. Satria memang memiliki maksud tersembunyi di balik semua ini.
"Kamu pasti sudah sering mendengar ungkapan cinta pada pandangan pertama, kan?" Satria menatapku dengan intens. "Itulah yang kurasakan padamu, Na. Mungkin ini terdengar konyol dan seperti rayuan gombal, tapi aku benar-benar serius dengan perasaanku."
Aku mengalihkan wajah sebelum Satria selesai dengan kalimatnya.
Tiba-tiba saja aku merasa terjebak di sebuah ruang sempit yang tidak berpintu, padahal tadinya aku berada di hamparan padang rumput yang luas. Semua ini tidak ada dalam skenario. Satria hanya memintaku agar berkunjung ke rumahnya untuk bertemu dengan mamanya yang hingga kini masih berduka atas kepergian Dewangga, tapi rupanya pria itu memiliki maksud pribadi terhadapku.
"Kalau hanya untuk mengatakan semua ini, kenapa kamu menyuruhku datang ke rumahmu dengan dalih agar aku menghibur mamamu yang masih berduka atas kematian Dewangga? Kamu bisa jujur sejak awal tanpa perlu menyusun skenario ini, Sat."
Di saat aku telah siap mengajukan argumen, aku kembali menatap seraut wajah Satria. Pria itu pasti tidak pernah menduga aku akan bereaksi seperti ini. Tapi, sungguh aku merasa sangat kecewa karena secara tidak langsung Satria memanfaatkan situasi yang tidak menguntungkan. Mamanya dan Dewangga hanyalah sebagai kedok untuk melancarkan rencananya.
Aku tidak menilai Satria jahat, tapi aku sama sekali tidak menyukai caranya.
"Kamu tahu, aku merasa dijebak olehmu," ucapku kembali. Dengan terang-terangan aku menunjukkan rasa kecewa di hadapan Satria.
"Aku tidak bermaksud ingin menjebakmu, Na. Sungguh. Aku hanya ingin mengekspresikan perasaan dan keseriusanku padamu. Maka dari itu aku memintamu untuk bertemu dengan mama. Karena aku ingin memperkenalkan kamu sejak awal pada mama, bukan nanti-nanti saat kita sudah saling mengenal lebih jauh." Satria terlihat bersungguh-sungguh dengan ucapannya dan mungkin ia benar-benar serius dengan perasaannya. Tapi aku sama sekali tidak bisa menerima situasi ini. Aku merasa ditipu mentah-mentah.
"Antar aku pulang sekarang," ucapku tak ingin memperpanjang perdebatan.
"Tapi kamu belum menjawab perasaanku... "
"Perasaan apa? Aku bukan orang yang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama seperti yang kamu lakukan. Maaf." Kalimatku sedikit ketus dan mungkin melukai perasaan Satria. Tapi aku tidak peduli. Aku terlanjur kecewa pada pria itu. Seandainya Dewangga tahu adiknya juga menyukaiku, apa yang akan dilakukannya? Pria itu juga pasti sama kecewanya sepertiku.
Satria tertegun menatapku. Perasaannya telah kulukai tanpa canggung.
"Aku bisa menunggu," kata pria itu lirih dan terkesan pasrah.
"Jangan menungguku. Aku ingin fokus pada kuliah dan tidak ingin terganggu dengan hal lain," ketusku tanpa memikirkan perasaan pria itu. Tanpa sadar aku kembali melukai perasaan Satria.
"Tidak. Aku akan tetap menunggumu. Dua atau tiga tahun lagi, itu bukan waktu yang lama."
Aku menghela napas panjang.
Kenapa kami bersikap seolah-olah telah mengenal satu sama lain untuk waktu yang cukup lama? Kami hanyalah orang asing yang ditakdirkan bertemu beberapa kali, lantas kenapa kami bersikap seperti pasangan yang sedang bertengkar? Agaknya kami telah lupa jika kami tidak seakrab itu.
Satria yang keras kepala.
"Antar aku pulang sekarang," ucapku mengulangi perintah yang tadi diabaikan Satria.
"Baiklah."
Satria menyalakan mesin dan tak lama kemudian mobil yang kami tumpangi melaju perlahan meninggalkan halaman rumah mewah milik keluarganya.
Aku merasa beruntung karena tidak menunjukkan rumah kost yang kutempati bersama Silvi pada Satria. Aku akan memintanya agar menurunkanku di tempat titik pertemuan kami tadi pagi.
Selama dalam perjalanan aku lebih memilih untuk membuang tatapan ke samping, sedang Satria tak bersuara dan mengarahkan fokus matanya ke depan. Namun aku tahu jika sesekali pria itu mencuri tatap ke arahku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top