Part 34
"Apa dia teman yang kamu bilang mau datang ke rumah?"
Perhatian wanita itu seketika teralihkan begitu tatap matanya tertumbuk padaku.
"Iya, Ma. Dia Hana. Dia temanku dan dia masih kuliah," ujar Satria memperkenalkan diriku pada mamanya. Apa mama Satria tidak akan merasa curiga pasalnya aku masih kuliah dan usia Satria beberapa tahun lebih tua dariku? Apalagi penampilanku yang 'ala kadarnya' seperti ini.
"Saya Hana, Tante." Aku maju beberapa langkah lantas mengulurkan tangan, memperkenalkan diri secara langsung pada mama Satria. Dan aku merasa beruntung karena wanita itu menyambut uluran tanganku dengan hangat.
"Selamat datang di rumah kami."
"Terimakasih, Tante."
"Silakan duduk." Mama Satria mempersilakan aku untuk menempati salah satu kursi yang kosong di ruang tamu keluarga mereka.
"Aku ke dalam dulu, Na." Di saat seperti ini Satria justru pamit. "Ma, tolong temani Hana sebentar. Aku mau ganti baju dulu."
Mama Satria hanya mengangguk.
"Jadi, apa kamu benar-benar menyukai Satria?"
Aku langsung syok ketika mama Satria melempar pertanyaan tidak terduga padaku setelah putranya pergi meninggalkan ruangan.
"Maksudnya?" Aku tegang. Suaraku terbata. Ini di luar ekspektasiku.
"Sebelumnya Satria tidak pernah membawa seorang gadis ke rumah. Dan kamu adalah gadis pertama yang dibawa Satria ke rumah. Jadi, kamu pasti istimewa di mata Satria," ujar wanita itu mengungkapkan hal tentang pribadi Satria.
Andai saja wanita itu tahu yang sebenarnya, batinku. Jika bukan karena Dewangga, aku tidak akan pernah mengenal Satria.
"Bukan seperti itu, Tante. Kami hanya teman, tidak lebih dari itu," ucapku menjelaskan agar wanita itu tidak salah paham lebih jauh. Dalam pikiranku tidak pernah terlintas hal semacam itu.
"Mungkin sekarang kalian masih teman, tapi nanti kalian bisa menjadi teman hidup. Siapa tahu?"
Mama Satria pasti bercanda.
"Apa Mama akan memberi restu seandainya aku dan Hana menikah?"
Suara Satria tiba-tiba terdengar menyela pembicaraanku dengan mamanya. Pria itu muncul entah dari mana. Kulihat pakaiannya tidak ada yang berbeda. Jadi Satria menipu kami tadi? Ia sengaja pergi untuk memberi ruang pada Mamanya agar mengembangkan imajinasinya tentang kami?
Mataku melotot menatap Satria. Bisa-bisanya pria itu membahas pernikahan padahal kami tidak pernah menyinggungnya sebelum datang kemari. Apa sebenarnya yang direncanakan Satria padaku?
"Tentu. Mama akan menyetujui siapapun yang kamu pilih." Mama Satria juga seolah memakan umpan yang dilemparkan putranya. Atau mereka sekongkol untuk menjebakku?
"Tapi Hana ini masih kuliah, Ma. Dia masih harus bekerja keras untuk meraih gelar sarjana. Untuk saat ini dia harus fokus pada kuliahnya dan tidak boleh memikirkan hal lain. Lagipula sebenarnya kami cuma teman, Ma," ucap Satria seolah ingin mematahkan percakapan sebelumnya.
"Mama tahu. Hana sudah bilang pada Mama tadi."
Tapi kenapa tadi mereka bicara cukup serius? batinku sedikit kesal.
"Maaf, Na. Biasanya mama hanya bicara pada daun-daun di belakang rumah. Jadi begitu lah. Sekali ada yang diajak bicara, jadi ke mana-mana pikirannya," ujar Satria bermaksud meledek mamanya sendiri.
"Dasar." Mama Satria menggerutu merespon ledekan putranya. Satria beruntung karena posisinya berdiri sedikit agak jauh. Jika saja ia berada dekat dengan jangkauan tangan mamanya, wanita itu pasti akan mendaratkan pukulan kecil di punggung Satria.
Pasti sulit bagi Satria untuk mengembalikan keceriaan Mamanya setelah kepergian Dewangga. Ia mesti berusaha payah mencairkan suasana di setiap ada kesempatan untuk membuat mamanya melupakan kesedihannya. Dan sepertinya upaya Satria tidak gagal kali ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top