Part 32
Semenjak Satria memberitahuku fakta sebenarnya tentang Dewangga, pria itu tidak pernah lagi muncul di area kampus atau di sekitar rumah kost kami. Pun mobilnya juga tidak pernah lagi tampak. Seolah-olah
Dewangga tahu jika aku sudah mengetahui kenyataan sesungguhnya tentang dirinya.
Kehidupanku pun kembali seperti sedia kala meski tidak bisa sepenuhnya normal. Bagaimanapun juga kehadiran Dewangga memberikan kesan tersendiri dalam hatiku dan terkadang aku masih memikirkan dirinya. Ada saat-saat di mana aku merindukannya, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Kami sudah berbeda dunia. Mungkin di kehidupan selanjutnya kami bisa bertemu lagi dan menuliskan kisah yang lain.
Sebulan telah berlalu sejak aku bertemu dengan Satria. Aku masih belum berniat untuk menghubungi pria itu dan menyatakan kesiapanku bertemu dengan mamanya. Entahlah, mungkin aku tidak akan pernah menghubungi pria itu lagi. Lagipula aku juga punya kesibukan sendiri. Setelah semua yang terjadi aku ingin kembali fokus pada kuliah. Meskipun pria itu sudah tidak ada lagi di dunia ini, aku tetap punya janji pada Dewangga akan berusaha semaksimal mungkin demi meraih IPK tertinggi.
Kupikir seiring berjalannya waktu Satria juga perlahan melupakan pernah bertemu denganku. Namun, kenyataannya tidak demikian. Satria masih mengingatku hingga hari ini. Pada akhirnya pria itu menghubungiku.
Aku tak bisa mengabaikan panggilan Satria.
"Halo?"
"Hai. Apa kamu masih mengingatku?"
Tentu saja, batinku menyahut dengan sigap. Satria bukan orang yang gampang dilupakan.
"Ya, tentu saja. Maaf, seharusnya aku yang menghubungimu lebih dulu." Aku merasa canggung saat Satria meneleponku lebih dulu padahal aku yang sudah menjanjikan akan mempertimbangkan tawarannya untuk mengunjungi mamanya.
"Aku tahu kamu pasti sibuk. Aku juga pernah jadi mahasiswa seperti kamu," ujar Satria memaklumi. "Tapi, besok kamu libur kan?"
Besok hari Minggu dan aku libur. Aku juga tidak ada rencana pergi ke suatu tempat atau menghadiri sebuah acara. Aku sedang tidak berminat untuk pergi ke perpustakaan esok hari. Rencananya aku hanya akan tinggal di kost, istirahat sampai siang hari dan malamnya mengerjakan tugas.
"Ya." Aku tidak bisa berbohong dan mengatakan punya rencana sebelum pria itu bertanya lebih lanjut. Rasanya aku bisa menebak ke mana arah perbincangan kami.
"Apa kamu punya rencana besok?"
"Tidak ada."
"Kalau kamu tidak keberatan, apa kamu mau berkunjung ke rumah? Nanti aku jemput. Kamu kirimkan saja alamat kost kamu."
"Ya, baiklah. Nanti aku kirimkan alamatnya."
"Oke, sampai jumpa besok."
Aku baru meletakkan ponsel dan Silvi tiba-tiba menegur. Gadis itu sedang menekuri ponsel saat aku berbincang dengan Satria. Kupikir ia terlalu fokus dengan ponselnya dan tak memperhatikan sekitar.
"Telepon dari siapa, Na?"
"Dari Satria."
"Satria yang itu?"
Silvi pasti masih mengingat tentang Satria. Ia juga pernah bertatap muka dengan Satria kala itu.
"Ya Satria yang itu, adik Dewangga," jelasku.
"Kenapa dia menelepon? Bukannya masalah Dewangga sudah kelar?" Silvi juga tahu jika Dewangga sudah tidak pernah lagi muncul, apalagi menguntitku dari kejauhan. Tidak ada yang tidak Silvi ketahui tentangku.
"Satria ingin aku berkunjung ke rumahnya... "
"Kenapa?"
"Dia ingin aku menemui mamanya dan menghiburnya. Sepertinya mama Satria belum bisa melupakan kepergian Dewangga. Tapi Satria memintaku untuk tidak menyebutkan nama Dewangga sama sekali di depan mamanya. Dia takut mamanya akan sedih," ujarku menjelaskan.
"Kasihan sekali mamanya Dewangga," desah Silvi turut iba. "Tapi kenapa mesti kamu yang diminta Satria untuk menemui mamanya? Maksudku dia pasti punya kerabat atau teman dekat yang sudah dikenal lama, kan?"
"Maka dari itu, Sil." Aku menukas. "Aku juga tidak habis pikir kenapa Satria memintaku untuk menemui mamanya. Saat itu dia hanya mengatakan tiba-tiba kepikiran untuk mempertemukan aku dan mamanya."
"Apa kamu tidak mencurigai sesuatu?"
"Curiga apa, Sil?"
"Aku takut kamu dibawa ke suatu tempat yang jauh dan sepi... "
"Silvi!" Aku berteriak panik. "Jangan menakutiku!" Ucapan Silvi jelas-jelas mengarah pada hal negatif dan ia berhasil membuatku takut.
"Aku tidak menakutimu, Na. Aku hanya menyampaikan kekhawatiranku."
"Tapi itu sama saja dengan menakutiku," gerutuku kesal. "Tapi, sebenarnya aku tidak semenarik itu sampai-sampai Satria ingin berbuat jahat padaku. Dia kaya dan pasti mudah baginya mendapatkan gadis cantik kalau dia benar-benar ingin berbuat hal negatif. Untuk apa menipu orang sepertiku?"
"Ya, kamu benar." Gadis itu manggut-manggut setelah beberapa saat merenungkan kalimatku. "Tidak ada gunanya menipu orang-orang miskin seperti kita."
"Justru mereka yang akan rugi, kan?"
Aku dan Silvi serempak tertawa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top