Part 31
Selama kami menyantap makan siang, Satria lebih banyak diam. Ia terlihat ingin memberi kesempatan padaku agar bisa menikmati makanan dengan nyaman tanpa terganggu pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja sudah memenuhi benaknya. Tentang Dewangga.
"Benar kakakku menguntit kamu selama ini?" Setelah isi piringnya tandas, Satria baru menginterogasiku.
"Bisa dibilang seperti itu." Aku dan Silvi yang menyepakati kata itu. "Setiap hari mobil itu selalu terparkir di tempat yang sama. Awalnya aku tidak menyadari kalau pemilik mobil itu sedang mengawasiku. Tapi pada akhirnya Dewangga keluar dari mobilnya dan menemuiku."
Aku masih ingat betul hari itu, di mana Dewangga muncul untuk pertama kalinya.
"Apa ini mobilnya?" Satria menyodorkan ponselnya ke hadapanku. Sebuah mobil sedan hitam dengan latar belakang sebuah garasi terpampang gamblang di layar ponselnya.
"Ya." Aku sangat mengenali mobil itu karena tak banyak yang memakai mobil serupa di area kampus.
Satria menarik ponselnya, lalu menyimpan benda itu kembali ke dalam saku celana.
"Sejak kecelakaan itu sampai sekarang, mobil Kak Dewangga tersimpan di garasi. Tidak ada yang berani menyentuhnya sekalipun itu keluarganya," tutur Satria.
Kehilangan Dewangga pasti berat untuk keluarganya.
"Apa ada ucapan Kak Dewangga yang paling kamu ingat darinya?"
Aku mengingat sejenak.
"Terakhir kali aku bertemu dengannya, Dewangga meminta maaf padaku. Padahal aku tahu dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi dia tetap meminta maaf." Aku menarik napas sejenak. "Kupikir hari ini dia akan datang seperti biasa. Tapi nyatanya dia tidak muncul. Mobilnya juga tidak tampak."
"Mungkin karena kamu bertemu denganku dan sudah mengetahui semua tentang dirinya. Maka dari itu dia tidak muncul."
Kesimpulan Satria bisa diterima akal. Tapi kami baru bisa membenarkan pernyataan itu setelah membuktikannya esok hari dan hari-hari setelahnya.
"Aku juga tidak menceritakan tentang kamu pada Mama," ucap Satria lagi. "Aku takut Mama akan sedih jika mengetahui tentang pertemuanmu dengan Kak Dewangga."
"Oh." Aku bisa memakluminya. Satria tampak sebagai orang yang baik hati dan penyayang. "Apa sebelum menikah Dewangga pernah menyukai seseorang?"
Satria memutar bola matanya. Ia berusaha mengingat sesuatu.
"Setahuku tidak ada wanita yang dekat dengannya. Makanya aku pikir sangat aneh kalau dia mendatangi kamu setelah meninggal. Kamu yakin tidak pernah bertemu atau melihatnya di suatu tempat sebelum dua tahun lalu, kan?"
"Ya, aku yakin." Aku mengangguk mantap. Meskipun aku tahu alasan Dewangga mendatangiku karena kehidupan kami di masa lampau, aku tetap bungkam. Lebih baik menyimpannya sendiri daripada menceritakannya pada Satria lantas ditertawakan.
"Bisa jadi dia mendatangi seseorang secara acak dan kebetulan kamu yang didatanginya."
"Mungkin saja."
"Lain kali aku ingin mengajakmu ke rumah untuk menemui mama. Itupun kalau kamu tidak keberatan dan tidak sibuk. Tapi, jangan salah paham dulu. Aku bukan ingin mempertemukan kalian untuk berbagi cerita tentang Kak Dewangga, tapi aku mau kamu ngobrol santai dengan mama tanpa menyinggung nama Kak Dewangga sama sekali. Aku hanya merasa kasihan pada mama. Selama ini mama tampak sedih dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Memang, dia punya kebun kecil di samping rumah, tapi itu hanya pelampiasan rasa kesepian mama. Kalau mama punya teman ngobrol, mungkin rasa sedihnya sedikit terobati."
"Aku tidak yakin bisa menghiburnya." Lagipula kenapa mesti aku yang direkomendasikan Satria? Padahal aku orang asing baginya. Kenapa bukan kerabat atau teman Satria yang dipilihnya untuk bertemu dengan mamanya?
"Tidak perlu menghiburnya. Kamu cukup mendengarnya bicara dan menjawabnya sesekali. Mama bukan orang yang cerewet. Tapi aku tidak akan memaksa. Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa. Tadi aku tiba-tiba kepikiran ide itu. Karena kupikir kamu akan cocok dengan mama... "
"Akan kupertimbangkan," tukasku menghentikan ucapannya. Entah apa yang kupikirkan saat ini. Kenapa aku bisa dengan mudahnya berencana untuk melibatkan diri masuk ke dalam urusan keluarga Satria?
Pertimbangkan sekali lagi, Hana. Kamu masih punya kesempatan untuk menolak permintaan Satria.
"Kalau begitu hubungi aku kapan saja kamu ada waktu luang."
"Baiklah."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top