Part 28
Reaksi yang ditunjukkan Silvi sama sepertiku saat pertama kali mendengar pengakuan Satria bahwa Dewangga telah meninggal dua tahun lalu.
"Kamu juga pernah melihatnya, kan?" Aku ingin membuktikan pada Satria jika bukan hanya aku saja yang melihat sosok Dewangga, tapi Silvi juga.
"Sebenarnya aku tidak melihat Dewangga secara langsung. Aku hanya melihat mobilnya."
Ah, agaknya aku salah mengingat.
"Mobilnya sedan hitam, kan?"
Aku dan Silvi kompak menoleh ke arah Satria.
"Iya, benar." Silvi membenarkan ucapan Satria. "Na, kurasa ibu kost pernah bertemu dengan Dewangga. Kamu masih ingat kan, saat dia mengirimkan barang-barang itu?"
"Iya." Mungkin pelayan kafe juga melihat sosok Dewangga saat itu. "Sebenarnya apa yang terjadi pada Dewangga hingga menyebabkan dia meninggal?"
"Dia mengalami kecelakaan. Itu terjadi sehari setelah kakakku menikah."
"Jadi Dewangga sudah menikah?" Kurasa aku lebih kaget saat mengetahui Dewangga telah menikah ketimbang saat mengetahui jika ia telah meninggal. Ini sangat mirip dengan kisah kehidupan kami yang sebelumnya.
"Apa dia dijodohkan?" Silvi turut menyela. Agaknya ia masih ingat betul dengan kisah yang kuceritakan tentang kehidupanku dan Dewangga di masa lampau.
"Ya." Kepala Satria mengangguk. "Sebenarnya aku tidak boleh menceritakan ini karena semua sudah berlalu. Asal kalian tahu saja, kakakku dijodohkan dengan wanita yang sama sekali tidak dicintainya. Tapi dia tetap bersedia menikah. Dan sehari setelah menikah, dia mengalami kecelakaan. Kami sempat menduga kalau kakakku sengaja mencelakai dirinya sendiri. Tapi rasa-rasanya itu mustahil. Kakakku bukan orang selemah itu."
"Bagaimana kalau kecelakaan itu disengaja?" Aku menyambung ucapan Satria. Berdasarkan pengakuan Dewangga, di kehidupan sebelumnya ia diracun oleh saudara sepupunya. Bisa saja hal itu terulang di kehidupan sekarang. "Bukan Dewangga, tapi orang lain," lanjutku.
"Orang lain? Maksudmu ada orang yang sengaja menabrak mobilnya?" Satria menanggapi ucapanku.
"Apa itu mungkin?"
"Tidak. Kakakku mengalami kecelakaan tunggal dan tidak ada tanda-tanda mobilnya ditabrak seseorang. Hasil penyelidikan polisi juga menyatakan jika kakakku mengalami kecelakaan tunggal. Diduga kakakku mengantuk saat mengemudi."
Aku terdiam. Mungkin saja polisi benar. Takdir Dewangga di kehidupan sebelumnya dan kini bisa jadi berbeda. Ada beberapa faktor yang membuktikan jika kehidupan kami sebelumnya dan sekarang sedikit berbeda. Aku tidak bisa berpatokan pada kisah yang disampaikan Dewangga dan juga mimpiku.
"Tapi aku tidak habis pikir," Satria bicara kembali. "kenapa kakakku mendatangimu? Dan kamu adalah satu-satunya orang yang didatangi olehnya. Apa kamu pernah bertemu dengannya beberapa tahun lalu?"
"Tidak."
"Lalu kenapa dia mendatangi kamu? Apa ada sesuatu yang dia sampaikan padamu?"
Aku melirik ke arah Silvi, bermaksud meminta pendapatnya. Apakah aku harus menceritakan semuanya bahwa Dewangga adalah kekasihku di kehidupan sebelumnya? Tapi, itu terdengar sangat mustahil. Satria tidak akan memercayai hal semacam itu. Ia pasti menganggapnya hanya omong kosong belaka.
"Sepertinya dia tertarik padaku," ucapku ragu. Pasalnya Silvi tak memberiku kode apapun.
"Bagaimana bisa?" Satria kaget. Tentu saja. Selama Dewangga masih ada, kami tidak pernah bertemu. Tapi setelah ia tiada, Dewangga justru mendatangiku. "Padahal sebelum ini kalian tidak pernah bertemu, kan?"
Aku tidak akan menanggapinya kali ini. Biar saja Satria berspekulasi dengan versinya sendiri.
"Tapi bagaimana kalian bisa kenal? Di mana kalian bertemu?"
"Dewangga menguntit Hana." Justru Silvi yang membalas pertanyaan Satria. Mulutnya seperti mesin penjawab otomatis.
"Menguntit?"
Kali ini aku yang akan menjelaskan.
"Saat aku di kampus, Dewangga selalu mengawasiku dari kejauhan. Dia memarkir mobilnya di seberang jalan depan pintu masuk kampus," jelasku.
"Kamu masih kuliah? Di universitas mana?"
Aku menyebut nama sebuah kampus yang cukup populer di kota ini.
Percakapan kami berhenti saat ponsel milik Satria yang tersimpan di dalam saku celananya bergetar. Pria itu bicara sebentar di telepon sebelum akhirnya pamit. Ia terlihat buru-buru.
"Maaf, ya. Aku harus pergi sekarang." Satria mengangkat tubuh dari atas kursi. "Kita lanjutkan kapan-kapan ngobrolnya. Nanti aku hubungi lagi."
Aku dan Silvi hanya mengangguk tanpa mengeluarkan satu kata. Sementara mata kami mengawasi gerak-gerik Satria yang sedang bergerak menuju ke arah sebuah mobil putih yang terparkir di halaman minimarket.
"Kenapa kamu tadi tidak bilang kalau Dewangga memintamu untuk menikah dengannya?"
Setelah mobil putih milik Satria pergi, Silvi menegurku.
"Kalau aku bilang itu padanya, dia pasti akan kaget setengah mati," sahutku.
"Tapi Satria boleh juga, Na." Gadis itu tersenyum jail seraya mengedipkan sebelah matanya.
"Maksudnya?"
"Jangan pura-pura tidak tahu."
"Ayo pulang. Kamu masih punya cucian menumpuk, kan?" Untuk menghentikan kejahilannya, aku terpaksa mengingatkan Silvi akan cuciannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top