Part 26

"Telepon dari siapa, Na?" Melihat reaksiku saat dan sesudah menerima telepon, mengundang tanda tanya di benak Silvi. Ia pasti bisa menebak jika panggilan itu bukan dari Dewangga.

"Aku tidak tahu. Dia tidak menyebutkan nama."

"Bukannya yang menghubungi kamu tadi Dewangga?"

"Itu memang nomor telepon Dewangga, tapi yang bicara tadi bukan dia. Orang itu memintaku untuk bertemu dengannya. Dia ingin bicara tentang Dewangga," paparku masih dengan nada kesal.

"Memangnya kenapa Dewangga? Apa terjadi sesuatu dengannya?"

Aku menggeleng.

"Aku juga tidak tahu. Kupikir dia penipu."

Silvi terlihat ingin menanggapi ucapanku, tapi di saat yang sama ponselku kembali bergetar.

"Apa orang itu menelepon lagi?" Silvi tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Ya, jawabku hanya dengan melempar kode lewat isyarat mata.

"Abaikan saja, Na. Tidak usah ditanggapi," saran Silvi.

Aku benar-benar mengabaikan panggilan masuk itu sesuai saran Silvi. Namun, bukannya berhenti dan jera, pria itu kembali menelepon untuk yang ketiga kalinya.

"Dia tidak menyerah," gumamku seraya menatap bimbang ke layar ponsel. Apa aku matikan saja ponselnya?

Di saat aku hendak mematikan ponsel, sebuah pesan singkat justru datang.

Sekali ini saja tolong angkat teleponnya. Aku tidak bermaksud jahat. Aku hanya ingin bertemu dan meluruskan sesuatu.

Aku mencerna isi kalimat yang dikirimkan orang itu. Beberapa detik berselang, ia kembali menelepon.

"Halo?"

Meski diliputi sejumput keraguan, akhirnya aku mengangkat telepon. Masih suara pria yang sama.

"Kumohon jangan tutup teleponnya..." Sebelum aku mengeluarkan sepatah kata, pria itu sudah lebih dulu mencegahku untuk tidak menutup telepon.

"Kamu siapa dan apa yang kamu inginkan? Kalau ingin menipuku, kamu salah orang. Aku tidak punya apa-apa untuk ditipu," ucapku tegas.

"Jangan salah paham. Aku hanya ingin bertemu denganmu dan bicara tentang Dewangga."

Jantungku mendadak berdegup kencang saat pria itu menyebutkan nama Dewangga. Mungkinkah aku telah melakukan sesuatu kesalahan semisal merebut Dewangga dari seseorang? Lebih jelasnya apakah Dewangga berselingkuh denganku?

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Dewangga. Kami hanya kebetulan kenal... " Semestinya aku tidak mengatakan hal-hal seperti ini pada orang asing. Bisa saja ia sedang menjebakku.

"Bisa kita bertemu? Kamu tentukan saja tempat dan waktunya."

"Begini... "

"Apa kamu masih tidak percaya padaku?"

Susah untuk menentukan sifat seseorang hanya dilihat dari wajah dan penampilannya, apalagi ini. Aku bahkan cuma dapat mendengar suara tanpa melihat bagaimana rupa pria itu.

"Begini saja," Pria itu bicara lagi. "kita bertemu di depan kantor polisi terdekat dengan tempat tinggalmu. Dengan demikian jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kamu bisa berteriak minta tolong pada polisi. Bagaimana?"

Aku hanya bisa tertegun mendengar permintaan pria di ujung telepon. Idenya cukup konyol, tapi lumayan cerdik juga.

"Aku tidak punya waktu. Aku sibuk." Aku masih belum tergerak untuk menuruti permintaan pria di ujung telepon.

"Tunggu!"

Teriakan pria itu yang seolah-olah tahu jika aku bermaksud mengakhiri panggilan, berhasil membuatku urung menurunkan ponsel dari telinga.

"Sebenarnya aku adalah adik Dewangga. Namaku Satria. Dan kita perlu bicara."

Selama ini Dewangga tidak pernah menceritakan tentang keluarganya. Ia tak pernah menyebutkan memiliki adik, hanya saudara sepupu.

"Bagaimana? Kita bisa bertemu?"

Aku menatap tajam ke arah Silvi, bermaksud meminta sarannya. Tapi, sayangnya Silvi tak bisa mendengar suara pria yang mengaku sebagai adik Dewangga itu.

"Baiklah. Aku akan mengirimkan waktu dan lokasi di mana kita akan bertemu," ucapku akhirnya. Meski tanpa pertimbangan dari Silvi.

"Oke. Sampai jumpa."

Aku menutup telepon dengan pikiran gamang.

"Kamu bersedia bertemu dengan orang itu, Na?" Gadis di hadapanku langsung mencecar sesaat setelah aku menaruh kembali ponselku di atas meja. Tatapannya seperti sedang mengajukan protes.

"Dia adik Dewangga, Sil."

"Dan kamu percaya begitu saja? Bagaimana kalau dia penipu?"

"Kalau adik Dewangga yang memegang ponselnya, itu terasa lebih masuk akal ketimbang ponselnya dibawa pencuri, Sil. Dewangga bukan orang biasa yang ke mana-mana naik angkutan umum dan berbaur dengan banyak orang. Kecil kemungkinannya ponsel Dewangga dicuri orang, kan?" ucapku menyampaikan hasil pemikiran. "Lagipula dia sendiri yang menyarankan agar kami bertemu di dekat kantor polisi. Maka dari itu aku ingin memintamu agar menemaniku untuk menemui pria itu. Kamu bisa mengawasiku dari jauh dan jika terjadi sesuatu, kamu bisa segera lapor polisi."

Silvi hanya bengong mendengar ucapanku. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan 'terserah'.

"Jadi, kapan kamu akan bertemu dengan orang itu?"

"Sore nanti. Besok aku ada kuliah dan kamu harus bekerja, kan?"

"Tapi jangan terlalu sore, Na. Aku belum mencuci baju."

"Baiklah."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top