Part 25
Dewangga belum membalas pesanku semalam. Pria itu juga tidak menghubungiku. Hingga pukul sebelas siang tak ada satupun notifikasi masuk ke ponselku dari Dewangga atau yang lain. Sayangnya aku mengirim SMS ke ponselnya, bukan pesan instan yang bisa diketahui sudah terbaca atau belum.
Tak ayal pemikiran negatif tentang Dewangga akhirnya menyambangi benakku. Seperti kata Silvi semalam, kemungkinan jika Dewangga sudah menikah bukanlah sesuatu yang mustahil. Beberapa faktor turut menguatkannya. Aku mesti mempersiapkan mental untuk hal-hal buruk di masa depan.
"Kalau yang ini bagaimana, Na? Kamu lebih suka yang mana?"
Suara Silvi membuyarkan pikiran burukku tentang Dewangga. Gadis itu sedang menunjukkan dua buah cincin berbeda ke depan mataku. Ia meminta pendapatku untuk memilih.
Kalau Dewangga benar telah menikah, lantas bagaimana?
"Dua-duanya bagus, Sil." Aku benar-benar tak bisa menentukan pilihan di saat kepalaku sedang penuh.
"Apa aku harus beli dua-duanya?"
Mungkin Silvi salah tangkap maksud ucapanku. Setiap cincin didesain sedemikian rupa dan memiliki keunikan tersendiri. Bagus atau tidaknya tergantung selera masing-masing.
"Pilih salah satu saja. Nanti waktu tanggal 22 Desember tiba kamu bisa membelikan kalung untuk ibumu," ucapku memberi saran.
"Oh iya." Silvi sangat penurut padaku soal hadiah untuk ibunya. "Kalau begitu aku pilih yang ini saja, Na. Kamu juga suka, kan?"
"Itu bagus, Sil." Aku sependapat dengan Silvi. Sebuah cincin berdesain sederhana tanpa hiasan batu kristal menjadi pilihan Silvi.
"Aku ambil yang ini, Kak." Silvi berbicara dengan seorang pramuniaga yang sejak tadi melayani kami. "Sekalian tempatnya cincin ya, Kak."
Setelah dari toko emas, kami langsung menuju ke lantai food court. Seperti yang dijanjikan Silvi, ia akan mentraktirku makanan.
"Mau makanan ringan atau berat, Na?" tawar gadis itu dengan pandangan beredar ke sekeliling. Ada banyak ragam stan yang menawarkan berbagai menu makanan ringan maupun berat, lokal dan internasional di lantai itu.
"Terserah kamu."
"Mau nasi goreng?"
"Harganya?" Bagiku harga selalu menjadi pertimbangan. Mungkin karena aku sudah terbiasa berhemat dan Silvi yang mentraktir kali ini. Jangan sampai aku membebaninya.
"Kita cari yang tidak terlalu mahal. Pasti ada," sahut Silvi seolah bisa membaca isi pikiranku.
"Kenapa kita tidak beli di luar saja? Nasi goreng gerobakan jauh lebih murah, Sil."
"Sekali-kali makan nasi goreng di mal tidak apa, Na." Ia berusaha menenangkanku.
"Terserah." Aku juga sudah lapar. Kelak ketika aku sudah memiliki penghasilan sendiri, aku tidak akan lupa untuk mentraktir Silvi.
Akhirnya kami menemukan stan nasi goreng yang harganya cukup terjangkau oleh dompet Silvi. Nasi goreng biasa dengan tambahan telur ceplok dan sedikit tambahan ayam suwir. Tanpa bakso, udang, atau yang lain. Sedang untuk minumnya kami sepakat memesan dua gelas es teh. Nasi goreng yang berminyak sangat cocok dipadukan dengan es teh manis.
Aku baru menyuap dua kali saat ponselku bergetar. Ada panggilan masuk.
"Dewangga belum menghubungi sejak semalam?"
"Belum."
"Mungkin itu Dewangga... "
Aku berharap seperti itu, batinku sembari meraih ponsel yang sengaja kuletakkan di atas meja, persis di samping kanan piring.
Tebakan Silvi benar. Aku menemukan sebaris nomor kontak milik Dewangga tertera di atas layar ponsel. Mendadak hatiku merasa lega. Namun, di saat bersamaan dadaku tiba-tiba sesak. Bagaimana jika Dewangga telah menikah? Baru saja Silvi menebak dengan benar. Bisa saja tebakannya semalam juga benar. Siapa tahu?
"Halo?" Aku buru-buru menyapa Dewangga sesaat setelah menggeser ikon hijau.
"Halo?"
Aku sudah pernah mendengar suara Dewangga di telepon sebelumnya, tapi yang kudengar saat ini bukan suara Dewangga.
"Ini ponsel milik Dewangga, kan?" Aku bertanya untuk sekadar memastikan. Padahal jelas-jelas aku telah menyimpan nomor Dewangga dan yang kulihat tadi juga namanya.
"Iya, benar."
Tapi, kenapa bukan Dewangga yang bicara dan justru orang lain yang memegang ponselnya.
"Apa terjadi sesuatu dengan Dewangga?" Pikiran buruk datang dengan tiba-tiba.
"Uhmm... " Pria di seberang bergumam kecil. "Bisa kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu."
Aku masih bergeming. Sesuatu telah terjadi pada Dewangga, batinku. Pantas saja sejak semalam Dewangga tidak membalas pesanku.
"Tentang apa?" Aku tidak bisa serta merta memenuhi permintaan si penelepon itu. Bagaimana jika ternyata ia seorang penipu? Bisa jadi Dewangga kehilangan ponselnya dan pria itu juga ingin menipuku.
"Tentang Dewangga."
Salahku tadi yang sudah menyebutkan nama Dewangga. Penipu itu bermaksud untuk menjebakku.
"Kalau itu tentang Dewangga, kamu bisa mengatakannya di telepon tanpa kita harus bertemu," ucapku bersikap waspada.
"Ini terlalu panjang untuk dibicarakan di telepon."
Aku semakin yakin jika ini merupakan sebuah penipuan.
"Kalau terlalu panjang kamu bisa meringkasnya," sahutku ketus. Aku bukan sasaran empuk untuk ditipu. Ia tidak akan mendapatkan apa-apa dariku.
"Kita harus bertemu."
"Aku tidak bisa. Aku sibuk."
Aku langsung menutup telepon sejurus kemudian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top