Part 24

"Besok kamu libur kan, Na?"

"Ya," jawabku tanpa mengalihkan tatapan dari atas lembaran buku.

"Terus kenapa masih belajar? Memangnya otakmu tidak capek?"

"Ya, capek lah, Sil."

"Kalau capek kenapa masih belajar? Kasihan otaknya. Bisa stres nanti."

"Iya, sebentar lagi. Tanggung, Sil." Aku melirik jam kecil yang berada di atas nakas. Jam sepuluh lewat seperempat.

Seperti janjiku pada Dewangga, aku akan belajar giat dan meraih IPK tertinggi. Meskipun itu masih dalam angan-angan, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkannya.

"Aku juga libur besok. Kamu mau jalan-jalan ke mal, Na?"

"Aku tidak punya uang, Sil. Kamu kan tahu seperti apa kondisi keuanganku."

Orangtuaku hanya mampu mengirim uang yang cukup untuk biaya hidup saja. Kalaupun ada sisa itu juga tidak banyak. Jadi aku mesti berhemat.

"Aku tadi gajian, Na. Kalau cuma makan kentang goreng dan es teh, aku bisa traktir kamu," ucap Silvi berusaha membujuk.

Aku dan Silvi sama-sama suka pergi ke mal meski hanya untuk sekadar jalan-jalan. Tapi, kami sangat jarang melakukannya karena terkendala finansial. Lebih tepatnya aku yang bermasalah dengan uang karena Silvi bekerja dan memperoleh gaji setiap bulannya. Maka dari itu aku lebih suka menghabiskan waktu liburanku untuk belajar di kamar dan sesekali pergi ke perpustakaan kota. Ongkos bus masih cukup terjangkau oleh dompetku.

"Ada yang ingin kamu beli, Sil?"

"Aku ingin membeli sesuatu untuk ibuku. Minggu depan ibuku berulang tahun, Na. Aku butuh rekomendasi dari kamu hadiah apa yang cocok untuknya."

"Bagaimana kalau cincin? Tapi yang tidak terlalu mahal. Kalau ibumu butuh uang, bisa dijual lagi. Bagaimana?" Aku mencoba memberi saran.

"Ide bagus, Na. Tapi, sebenarnya aku lebih suka kalau ibu tidak menjual cincin pemberianku. Tapi kalau memang sangat terpaksa, apa boleh buat," ujar gadis itu langsung menerima saranku meski ada sedikit keraguan dalam nada suaranya.

"Kalau begitu aku mau telepon Dewangga dulu. Aku khawatir dia tidak hafal jadwal kuliahku dan menungguku seharian di sana," ucapku sembari meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak tak jauh dari tempat dudukku.

"Cieeee... Yang sedang jatuh cinta," ledek Silvi menggoda.

Aku tidak menggubrisnya dan melanjutkan rencana menghubungi nomor kontak Dewangga.

Terdengar nada dering saat aku menghubungi nomor telepon Dewangga. Tapi, tidak ada respon. Aku mencoba menghubungi sekali lagi, tapi tetap tidak ada respon. Lalu aku menyerah dengan pikiran positif.

"Mungkin dia sudah tidur," gumamku sembari meletakkan ponsel kembali ke tempatnya semula. Sekarang nyaris setengah sebelas malam, wajar jika seseorang sudah terlelap di jam-jam segini.

"Kirim saja pesan singkat, Na. Nanti kalau dia bangun dan membuka ponselnya, Dewangga bisa langsung membacanya," kata Silvi memberi ide cemerlang.

"Oke." Aku mengambil kembali ponselku lantas mengetikkan sebuah pesan singkat untuk dikirim ke nomor Dewangga.

Besok aku libur. Tidak usah pergi ke kampus. Aku pergi dengan temanku.

Aku telah selesai mengetik. Kupikir kalimatku cukup jelas untuk dipahami. Nanti setelah Dewangga bangun dan memeriksa ponselnya, ia pasti akan membaca pesanku.

"Bagaimana kalau ternyata Dewangga sudah menikah dan sekarang dia bersama istrinya? Makanya dia tidak bisa menjawab teleponmu?"

Aku terenyak mendengar ucapan Silvi.

"Tidak mungkin Dewangga berbohong, Sil." Tanpa sebab yang jelas, aku percaya sepenuhnya pada Dewangga. Mustahil pria itu berbohong, apalagi kehidupan kami sebelumnya cukup tragis.

"Aku cuma berandai-andai, Na. Di kehidupan sebelumnya Dewangga menikah dengan orang lain, bukan?"

Perkataan Silvi memang benar.

"Tapi selama ini dia terus mencariku, Sil. Lagipula di kehidupan kami yang sekarang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya, kan?"

"Gara-gara Dewangga tidak menjawab teleponnya, pikiranku melantur ke mana-mana. Jangan diambil hati ucapanku, Na."

"Lebih baik sekarang kamu tidur biar pikiranmu tidak melantur ke mana-mana."

"Kamu sendiri tidak tidur?"

"Sebentar lagi."

Tak kusangka ucapan Silvi cukup mengganggu konsentrasiku membaca. Sebenarnya tidak ada yang mustahil di dunia ini, apalagi jika menyangkut perselingkuhan. Terlalu banyak pria yang mendua atau menyembunyikan kebenaran di balik perilakunya yang manis. Tapi, apakah Dewangga juga seperti itu? Mengingat usia Dewangga yang sudah menginjak kepala tiga, wajar jika ia sudah menikah. Agh, ini terlalu menyebalkan untuk dipikirkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top