Part 23

Tanpa sadar senyum di bibirku merekah begitu melihat sebuah mobil sedan hitam terparkir di seberang jalan. Penguntit itu, batinku. 

Tepat disaat aku hendak mengayun langkah, pintu mobil itu terbuka dan keluarlah sosok Dewangga. Pria itu melambaikan tangan saat menemukanku sedang menatap ke arahnya. Aku balas melambai dan bergegas menghampiri tempat Dewangga.

"Hai." Kali ini aku yang berinisiatif menyapa lebih dulu.

"Hai. Sudah kelar kuliahnya?" tanya Dewangga berbasa basi.

"Ya."

"Kebetulan aku tidak sibuk sekarang. Apa kamu mau kuantar pulang?" tawar pria itu sopan.

"Dengan senang hati." Anehnya aku langsung menyambut tawaran itu tanpa berpikir panjang.

Dewangga membukakan pintu mobilnya untukku selayaknya pria sejati.

"Bagaimana kuliahnya hari ini? Lancar?" Dewangga tidak langsung menyalakan mesin. Perjalanan kami nantinya akan memakan waktu singkat, jadi kami berbincang sebentar.

"Ya, lancar. Kamu sendiri?"

"Ya, semuanya berjalan dengan baik."

"Syukurlah."

Sejauh ini aku belum mengetahui apa pekerjaan Dewangga. Aku juga menahan diri untuk tidak menanyakannya. Menurutku itu merupakan hal privasi. Ada beberapa orang yang menganggapnya hal biasa, tapi bagiku tidak. Aku akan menunggu sampai Dewangga membicarakan tentang pekerjaannya.

"Hana."

Aku menoleh ke arah samping begitu namaku disebut Dewangga.

"Hmm?"

Raut wajah Dewangga berubah serius saat mata kami saling bertatapan.

"Aku ingin meminta maaf."

Dahiku mengerut. Memangnya Dewangga salah apa sampai-sampai mesti meminta maaf padaku? Padahal aku merasa Dewangga tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Apa mungkin karena ia telah menguntitku selama ini?

"Maaf untuk apa?" Aku tak berhasil menebak dan memutuskan untuk langsung bertanya.

"Maaf karena aku belum bisa membahagiakan kamu. Di masa lalu kamu terlalu banyak menderita karena aku. Sekarang pun aku belum bisa menebus penderitaan yang kamu alami."

"Raden... " Aku keceplosan. Harusnya aku memanggil nama Dewangga, tapi hati dan bibirku tidak sinkron. Apa yang kupikirkan berbeda dengan yang bibirku ucapkan. "Bukan salahmu kalau kita tidak bisa bersama saat itu. Kamu dan aku sudah berusaha, tapi semesta tidak merestui kita. Apa daya kita? Kita tidak bisa memaksakan ego dan menyakiti perasaan orang-orang di sekitar kita."

Dewangga mengangguk samar. Ia turut membenarkan ucapanku lewat gestur tubuhnya.

"Aku akan tetap mencintai kamu sampai kapanpun. Meski kamu menikah dengan orang lain atau kamu sudah tidak mencintaiku lagi, perasaanku tidak akan berubah," tandas Dewangga seolah-olah takdir masa lalu akan terulang kembali. Padahal aku yakin sebaliknya.

"Aku masih belum berpikir untuk menikah dalam waktu dua tahun ke depan. Jadi, bisakah kamu menungguku? Aku harus menjadi sarjana dan membuat keluargaku bangga. Aku tidak boleh menyia-nyiakan beasiswa yang kuterima. Setidaknya aku ingin menjadi pegawai negeri dan merubah ekonomi keluarga kami menjadi sedikit lebih baik," kataku. Dewangga terkesan pesimis dan aku hanya sedang berusaha memupuk harapannya. Aku ingin memastikan bahwa aku tidak akan ke mana-mana. Aku akan menjalani kehidupanku sebagai mahasiswi yang sibuk belajar dan tak memikirkan hal lain selain kuliah.

"Aku suka melihatmu bersemangat. Kalau begitu kamu harus lulus dengan IPK tertinggi dan membuatku bangga, oke?"

Aku terbahak.

"Aku memang mendapat beasiswa lewat jalur prestasi, tapi aku tidak sepandai itu. Aku tidak bisa menjanjikan IPK tertinggi. Masih banyak teman-temanku yang jauh lebih pandai. Tapi aku janji akan berusaha semaksimal mungkin," ucapku.

"Baiklah, aku akan pegang janjimu.  Kita berangkat sekarang?"

"Silakan."

Dewangga bergegas menyalakan mesin, lantas menjalankan mobil sedan hitam kesayangannya ke jalan raya menuju ke rumah kost.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top