Part 22
Entah mengapa aku tidak lagi bermimpi tentang kehidupanku di masa lalu. Sementara kisah tentang Jatmiko masih menyisakan misteri bagiku.
"Hana!"
Suara ibu kost terdengar berbarengan dengan ketukan pintu. Sontak saja aku dan Silvi saling berbagi tatap sarat dengan tanda tanya.
"Kita sudah membayar uang kost, kan?"
Tiga hari yang lalu kami jelas-jelas sudah membayar uang kost untuk sebulan ke depan. Uang kebersihan biasanya ditarik pada pertengahan bulan. Lantas, ada perlu apa sampai-sampai ibu kost repot-repot mengetuk pintu kamar kami?
"Apa uangnya kurang?" Silvi menyahut dengan ekspresi cemas.
"Hana! Ada kurir di depan!" Ibu kost memanggil namaku dengan lantang.
"Kurir?"
"Kamu pesan paket, Na?"
Aku menggeleng cepat dan buru-buru bergerak ke arah pintu. Mana mungkin aku memesan paket sementara kondisi keuanganku pas-pasan?
"Kurir apa, Bu?" tanyaku setelah membuka pintu.
"Kurir makanan. Sudah temui sana."
Aku tegak di tempatku berdiri dengan alis nyaris bertaut. Sementara ibu kost berlalu dari hadapanku tanpa menjelaskan atau bertanya apapun. Padahal aku tidak memesan makanan sama sekali.
Masih dengan kondisi bingung, aku memaksakan diri untuk menemui kurir makanan yang sedang menungguku di depan.
"Mbak Hana, ya?"
Kurir itu langsung menyebutkan namaku begitu aku muncul di hadapannya.
"Iya, tapi saya tidak memesan makanan, Pak," ucapku.
"Pak Dewangga yang tadi memesan untuk Mbak Hana. Silakan diterima, Mbak." Kurir itu mengangsurkan paper bag berwarna cokelat ke hadapanku.
Jadi, Dewangga yang sudah memesan makanan itu untukku?
Sebelumnya Dewangga memberiku pakaian dan barang-barang lain, aku bisa mengembalikan semua barang itu padanya keesokan harinya. Tapi sekarang aku tak bisa melakukan hal yang sama. Mustahil mengembalikan makanan itu pada Dewangga esok hari karena sudah bisa dipastikan akan basi. Kalaupun makanan itu tidak dimakan, akan menjadi mubadzir. Dewangga sudah menemukan cara yang tepat untuk membuatku merasa serba salah.
Setelah kurir itu pergi, aku kembali ke kamar dengan menenteng sebuah paper bag cokelat berisi martabak manis.
"Kamu pesan makanan, Na?"
Begitu membuka pintu kamar, Silvi menyambutku dengan tatapan curiga.
"Dewangga yang membelikannya untukku," ungkapku. "Lagipula mana mungkin aku yang memesan? Uang jajanku tiga hari bakal habis kalau aku membeli ini," tandasku sembari meletakkan paper bag di depan Silvi.
"Apa ini, Na?" Silvi buru-buru membuka isinya dengan antusias. "Martabak manis ini sedang viral di media sosial, Na."
"Oh, ya?" Aku bahkan tidak tahu makanan apa saja yang sedang viral di jagat maya saat ini. Selain harus menghemat paket data, aku tidak punya banyak waktu luang untuk bermain ponsel. Aku mesti lebih banyak belajar ketimbang memelototi video-video singkat yang sekarang ini sedang populer.
"Boleh kucicipi, Na?"
"Makan saja."
Dengan sukacita Silvi mengambil potongan martabak manis bagian pinggir, lantas mengacungkan jempol kirinya.
"Ini enak, Na." Gadis itu bicara dengan mulut penuh. "Kamu juga harus coba. Kita sudah lama tidak makan martabak manis, kan?"
Ponselku berdering setelah Silvi menutup mulut.
"Apa itu Dewangga? Kalian sudah bertukar nomor telepon?"
Aku belum menjawab telepon, jadi mana aku tahu jika panggilan itu dari Dewangga? Tapi, aku mendapati sebaris nomor asing di layar ponselku.
"Apa martabaknya sudah datang?"
Ternyata dugaan Silvi benar. Panggilan itu berasal dari Dewangga. Aku memberinya nomor telepon tadi siang.
Dewangga langsung menanyakan perihal martabak pesanannya.
"Ya, baru saja."
"Makan yang banyak, ya. Lain kali aku belikan makanan yang berbeda supaya kamu tidak bosan. Kamu suka makan apa?"
"Tidak perlu repot-"
Tawa Dewangga membuatku tak meneruskan kalimat.
"Aku tidak repot, Hana. Sungguh. Aku justru merasa senang bisa membelikanmu makanan. Kamu bisa berbagi dengan teman sekamarmu juga."
Seingatku aku belum pernah menyinggung soal Silvi di depan Dewangga. Mungkin ia tahu dari ibu kost atau sekadar menebak saja.
"Terima kasih."
"Aku tutup teleponnya, ya. Selamat menikmati martabaknya."
Usai berbincang sebentar dengan Dewangga, rasanya hatiku menghangat. Perasaan bahagia semacam ini seolah pernah kurasakan sebelumnya.
"Aku merestui kalian berdua, Na. Kamu dan Dewangga," ucap Silvi mengejutkan. Padahal ia masih sibuk mengunyah martabaknya. Silvi sudah beralih ke potongan martabak kedua.
"Apa martabaknya memang seenak itu?" tanyaku tak menggubris ucapannya.
"Tentu saja."
Benar kata Silvi. Martabak manis itu memang lezat. Meses cokelat dan parutan kejunya melimpah ruah. Pantas saja jika martabak itu viral di media sosial.
"Kalau Dewangga tahu ponsel kamu baterainya melembung, aku yakin seratus persen dia akan pergi ke konter HP detik itu juga untuk membelikan kamu ponsel baru. Dia kan sangat mencintai kamu, Na." Tiba-tiba saja Silvi berceloteh tentang kondisi ponselku yang sedang tidak baik-baik saja. Itulah kenapa saat pria itu meminta nomorku, aku menuliskannya di secarik kertas memo. Aku akan sangat malu jika Dewangga mengetahui kondisi ponselku.
"Sok tahu," makiku pelan. "Ponselku masih belum begitu parah, Sil. Masih aman," ucapku.
"Meledak baru tahu rasa kamu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top