Part 20

Dewangga tidak tinggal diam saat melihat air mataku mulai tumpah membasahi pipi. Pria itu mengeluarkan sehelai sapu tangan berwarna biru langit dari dalam saku jasnya, lantas mengulurkan benda itu ke hadapanku.

"Hapus air matamu," ucap pria itu saat aku tak kunjung meraih sapu tangan itu darinya. "Itu sudah berlalu. Tidak perlu ditangisi."

Aku yang sudah terlanjur menghapus air mataku menggunakan sapu tangan miliknya, langsung tertegun mendengar ucapan Dewangga. Aku menatap pria itu dengan perasaan takjub. Bagaimana ia dapat dengan mudah mengatakan hal itu, padahal patah hatinya bisa kurasakan sampai sekarang?

Tanpa sadar aku meremas sapu tangan biru langit beraroma parfum Dewangga.

"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang kamu cintai karena kamu yang pergi meninggalkanku saat itu. Kalau kamu berada di posisiku, kamu akan merasakan patah hati bahkan sampai di kehidupan selanjutnya."

"Maafkan aku." Pria itu tertunduk.

"Lalu kenapa kamu berpikir sepicik itu, hah? Kita memang tidak bisa saling memiliki, tapi kita bisa saling mencintai sampai kapanpun. Apa sebenarnya yang kamu pikirkan saat itu? Kamu bukan orang yang mudah menyerah, Raden. Aku tahu itu," ucapku frustrasi. Mengingat kejadian itu sungguh-sungguh membuatku depresi. Semua perasaan yang kurasakan saat itu seolah muncul kembali ke permukaan.

Dewangga terdiam beberapa saat.

"Ratri... "

Nama itu. Aku sudah begitu lama tidak mendengarnya. Terkesan asing, tapi aku yakin pernah memiliki sebaris nama indah itu.

"Sebenarnya aku tidak pernah melakukan hal itu," ucap Dewangga lirih. Dan ucapannya berhasil memikat perhatianku.

"Maksudnya?" Sekarang aku malah meragukan nada suaraku sendiri.

"Seseorang telah melenyapkanku malam itu," ungkap Dewangga membuatku terkejut setengah mati. "Kamu tahu Jatmiko, sepupuku? Dia mencampurkan racun ke dalam minumanku. Jatmiko sengaja menyusun sebuah siasat agar kejadian itu tampak sebagai kasus bunuh diri."

Sekujur tubuhku lemas begitu mendengar Dewangga mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Semestinya aku percaya pada Raden Arya, bahwa ia tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Aku tahu jika Raden Arya bukanlah orang yang mudah menyerah. Ia seorang yang kuat. Tapi, mengapa aku masih meragukannya saat itu? Aku sudah memercayai apa yang dikatakan orang-orang tanpa menyelidiki kebenaran berita itu.

Aku tidak punya ingatan apapun tentang Jatmiko. Sepupu Raden Arya itu tidak masuk ke dalam mimpiku. Jadi aku tak punya komentar apapun tentangnya.

"Semenjak kami kecil, Jatmiko selalu iri dengan apa yang aku punya. Apa saja yang aku punya ingin dimilikinya. Jatmiko menyimpan dendamnya selama bertahun-tahun. Dan malam itu diam-diam dia menyelinap ke kamarku untuk menaruh racun dalam minumanku. Sayangnya saat itu tidak ada saksi yang melihatnya masuk ke dalam kamarku. Jadi, aku terlihat seperti mengakhiri hidupku sendiri. Aku sungguh bernasib malang, kan?" Pria itu mengulum senyum getir di ujung bibir. Ia juga tampak terluka dan kecewa, sama sepertiku.

"Maafkan aku karena sudah berburuk sangka padamu," ucapku menyadari kesalahan.

"Bukan salahmu jika berpikir buruk terhadapku. Karena Jatmiko membuat semuanya tampak seperti bunuh diri sungguhan. Terlebih lagi aku memiliki motif yang kuat untuk melakukan hal itu."

"Lantas bagaimana dengan Jatmiko? Apa dia juga terlahir kembali?" Aku begitu antusias menanyakan Jatmiko. Karena aku dan Dewangga terlahir kembali, besar kemungkinan Jatmiko juga akan terlahir kembali di kehidupan sekarang.

Dewangga terdiam sebentar, lalu dengan gerakan berat pria itu mengangguk.

"Benarkah?" Aku cukup kaget mendengarnya. "Apa dia mengingat kehidupan sebelumnya?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertanya hal itu padanya."

Akan tetapi, jika Raden Arya meninggal di usia 20-an dan sekarang usia Dewangga 30-an, itu artinya ia telah melewati momen berbahaya. Kemungkinan besar takdir yang sama tidak akan terulang kembali. Tapi, alangkah lebih baik jika Dewangga menjaga jarak dari Jatmiko untuk menghindari hal-hal buruk.

"Sebaiknya kamu tidak terlalu dekat dengan Jatmiko."

"Apa kamu mencemaskan aku?"

Aku melepaskan dengusan kecil. Dan pria di hadapanku justru mengembangkan senyum. Agaknya ia merasa senang melihatku kesal.

"Tenang saja. Aku memang tidak cukup akrab dengan sepupuku." Akhirnya Dewangga memberi klarifikasi. Seketika hatiku merasa lega dibuatnya. "Aku senang karena kamu masih memiliki perasaan padaku."

Owh. Pria itu cukup percaya diri juga rupanya.

"Memangnya aku bilang begitu?"

"Matamu yang mengatakannya, Hana. Kamu tahu, mata tidak bisa berbohong. Kata orang mata adalah jendela hati. Benar begitu, kan?"

Dewangga mulai melantur. Seolah-olah kami sudah mengenal cukup lama, padahal kami masih beberapa kali bertemu.

Aku memutuskan untuk menyesap minumanku hingga tak bersisa, sebelum akhirnya menyudahi perbincangan kami dan pamit pulang. Sementara Dewangga tak menyentuh minumannya sama sekali dengan alasan kenyang. Pria itu mengantarku sampai depan kost.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top