Part 19
Konsentrasiku amburadul saat jam kuliah berlangsung. Penjelasan dosen sama sekali tak bisa tersaring oleh indra pendengaranku. Otakku juga tidak bisa mencerna materi yang beliau sampaikan. Yang ada seluruh isi kepalaku dipenuhi dengan segala hal tentang Dewangga.
Kira-kira topik apa yang ingin dibahas Dewangga denganku nanti? Bagaimana jika ia memintaku agar bersedia menikah dengannya seperti saat kami pertama kali bertemu? Aku sudah pernah menolaknya sekali. Apa susahnya memberi penolakan yang kedua kali? Tapi apa mungkin setelah mendapat penolakan dariku waktu itu, Dewangga akan mengajukan permintaan yang sama? Atau jangan-jangan ia mengira aku akan berubah pikiran setelah aku mengetahui masa lalu kami berdua?
Kurasa aku tak punya pilihan lagi selain harus begadang nanti malam untuk mempelajari kembali materi yang dibahas dosen hari ini. Jam kuliah hari ini terasa sia-sia dan membuang waktu percuma.
Seperti yang dijanjikan Dewangga pagi tadi, siang ini aku melihat pria itu sedang berdiri di dekat mobil sedan hitam yang selalu dikendarainya ke mana-mana. Ini merupakan pemandangan langka karena biasanya pemilik mobil itu tak pernah keluar dari kendaraannya. Ia selalu berdiam diri di dalam mobil dan kemungkinan besar sedang mengawasi gerak gerikku dari kejauhan.
Agaknya ia sudah menungguku cukup lama.
Sesungguhnya tadi pagi aku belum menyetujui permintaan Dewangga untuk bicara denganku. Tapi, keberadaan pria itu terasa seperti magnet yang mampu menarik perhatianku untuk berjalan ke arahnya.
Begitu tiba di depan Dewangga, pria itu justru mempersilakan aku masuk ke dalam mobilnya.
"Masuklah. Kita bicara di tempat lain." Pria itu membuka pintu mobil dan mempersilakan aku untuk masuk.
"Apa kita tidak bisa membicarakannya di sini?" Aku menahan langkah. Aku tak tahu ke mana Dewangga akan membawaku pergi dan itu membuatku sedikit merasa tidak nyaman.
"Tidak." Jawaban Dewangga terdengar tegas.
"Lantas kita akan bicara di mana?" Aku masih mengulur waktu dan mencari sedikit informasi sebelum memutuskan akan pergi bersama Dewangga atau tidak. Bagiku itu sangat penting. Bepergian bersama dengan orang asing cukup berisiko untuk seorang gadis sepertiku. Meskipun kami saling mengenal di kehidupan sebelumnya, tapi di kehidupan sekarang kami baru saja kenal.
"Di kafe."
Tangan Dewangga kembali memberi isyarat agar aku lekas masuk ke dalam mobil.
Beberapa detik kemudian aku masuk ke dalam mobil Dewangga. Tanpa kecurigaan sama sekali. Toh, Dewangga sudah mengatakan tujuan kami. Semestinya tidak ada yang perlu dicurigai dari pria itu.
**
"Apa kamu melihat keseluruhan kejadian di kehidupan kita yang sebelumnya?"
Usai minuman yang kami pesan disajikan, Dewangga memulai obrolan. Agaknya ia ingin mengorek informasi sejauh mana aku mengetahui kisah kami di kehidupan sebelumnya.
"Tidak," jawabku ragu. Kupikir aku hanya melihat bagian-bagian yang penting, bukan hal detail. "Semalam aku bermimpi melarikan diri ke dalam hutan. Kedua orangtuaku khawatir aku akan disalahkan atas kematianmu. Jadi mereka memaksaku untuk pergi. Orang suruhan ayahmu pernah menyandera keluarga kami, bisa saja mereka akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu."
"Lalu setelah kamu pergi, apa yang terjadi selanjutnya?"
Aku menggeleng pelan.
"Aku hanya bermimpi sampai di situ. Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah aku melarikan diri."
"Minumlah." Bukannya memberi komentar, pria di hadapanku justru mempersilakan agar aku mencicipi minuman yang tadi disajikan pelayan.
Usai menyesap kopi latte yang sama sekali belum pernah kuminum sebelumnya, mendadak aku teringat sesuatu yang ingin kutanyakan pada Dewangga. Sebenarnya tadi pagi aku sudah mengajukan pertanyaan padanya, tapi pria itu justru mengalihkan topik pembicaraan seolah sengaja ingin menghindar.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi pagi."
"Pertanyaan apa?" Ia balik bertanya sembari mengerutkan kedua alis tebalnya. Jika dilihat-lihat Dewangga memang tampan. Penampilannya terkesan elegan dan aku yakin barang-barang yang melekat di tubuhnya merupakan barang mewah. Aroma parfumnya lembut. Dan pria itu memiliki etika yang sangat baik. Di kehidupan sebelumnya maupun sekarang Dewangga terlahir sebagai bangsawan kaya. Dan aku sebaliknya.
"Kenapa kamu mengakhiri hidup saat itu? Aku tahu kita tidak mungkin bisa bersama, tapi apa kamu harus melakukannya? Aku juga putus asa, tapi tidak sekalipun terlintas dalam benakku untuk mengakhiri hidup. Kamu tidak tahu kan, betapa sedihnya aku saat mendengar kabar itu?"
Entah terbawa perasaan atau apa, tahu-tahu kedua ujung mataku telah basah. Rasanya hatiku hancur. Dadaku sesak dan aku tidak bisa menahannya. Seolah perasaan ini pernah kualami sebelumnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top