Part 18

Mimpi itu masih berlanjut. Dan sekali lagi aku tidak punya kesempatan untuk membaginya dengan Silvi pagi ini. Ia mesti buru-buru pergi bekerja dan aku tak ingin menahannya agar mendengarkan sekelumit mimpiku semalam. Aku juga ada kuliah pagi. Mungkin nanti malam aku akan berbagi cerita dengannya.

Satu jam setelah Silvi pergi, aku juga telah siap untuk berangkat ke kampus. Aku tidak tergesa pagi ini. Aku sengaja berangkat lebih awal agar bisa mampir ke warung langgananku. Bukan untuk membeli nasi bungkus seperti biasa, tapi cukup beberapa buah gorengan sebagai pengganjal perut.

Namun, sesuatu di depan sana seketika membuat kakiku berhenti melangkah secara otomatis. Padahal aku baru beberapa langkah dari pintu gerbang kost.

Satu sosok pria yang sejak kemarin mengacaukan pikiranku mendadak muncul tanpa bisa diprediksi. Padahal kemarin aku menunggunya cukup lama di dekat pintu gerbang kampus dan ia sama sekali tidak muncul. Tapi sekarang, saat aku tidak berharap apapun padanya, ia justru menampakkan batang hidungnya.

Aku kembali mengayun langkah dan baru berhenti persis di hadapannya. Beberapa meter di belakang tubuhnya terparkir mobil sedan hitam yang selalu kulihat beberapa waktu belakangan dan sempat membuatku merasa dikuntit.

Saat melihat ke dalam matanya, kilasan mimpi itu kembali terbayang di benakku dan seketika membuat hatiku seolah teriris. Pria itu melenyapkan nyawanya sendiri di masa lalu karena tak bisa memiliki gadis yang dicintainya. Tapi kini ia berdiri di depanku tanpa kekurangan sesuatu.

"Kenapa berbohong padaku tentang akhir kisah itu, Raden Arya?"

Pria di hadapanku seketika terbelalak. Ia pasti tidak pernah menduga jika aku akan memanggilnya dengan sebutan Raden Arya. Ekspresi wajahnya penuh dengan tanda tanya dan rasa tidak percaya.

"Kamu... " Dewangga bahkan nyaris tak bisa berkata-kata saking terkejutnya.

"Aku sudah tahu segalanya."

"Kamu bisa mengingat semuanya?" Suaranya sedikit terbata. Pria itu masih menatapku dengan tak percaya.

"Tidak. Aku bermimpi."

"Oh."

"Tapi mimpiku tidak sama dengan apa yang kamu ceritakan tempo hari. Kamu pasti paham maksudku."

Dewangga tertunduk. Dan itu menguatkan bukti jika ia memang sengaja menutupi apa yang terjadi sebenarnya.

"Ya, aku memang sedikit mengubah akhir kisahnya." Pria itu mengangkat kepala dan mengakui kesalahannya.

"Tapi kenapa?" Aku menggugatnya dengan perasaan kesal. Tanganku mengepal, tapi anehnya aku tak berani mengayunkannya ke wajah Dewangga. Sayang jika wajah tampannya menjadi babak belur gegara pukulanku. "Aku juga patah hati, sama seperti kamu. Tapi mengakhiri hidup adalah sebuah dosa besar yang tidak bisa dimaafkan Tuhan. Kenapa pikiranmu sedangkal itu?"

Jika saat itu aku tak bisa protes pada Raden Arya, maka sekarang aku bisa menumpahkan kemarahanku pada Dewangga. Bagaimanapun juga tindakan bunuh diri adalah perbuatan terkutuk. Seberat apapun masalah yang kita hadapi, tetap saja bunuh diri bukanlah solusi yang tepat. Memangnya setelah bunuh diri masalah akan selesai? Tidak. Kita harus mempertanggungjawabkan tindakan kita di hadapan Tuhan kelak.

"Bisa kita bicara di tempat lain?"

"Apa lagi yang mesti kita bicarakan?" Toh, aku juga tidak punya waktu banyak saat ini. Aku sudah kehilangan beberapa menit karena berbincang dengan Dewangga. Padahal aku mesti mampir ke warung langgananku demi beberapa buah gorengan. "Aku ada kuliah sebentar lagi." Sebagai mahasiswi penerima beasiswa, aku harus datang tepat waktu sebagai bentuk tanggung jawab.

"Kalau begitu bisa kita bicara sepulang kamu kuliah? Kamu selesai kuliah jam berapa?"

"Sekitar jam satu."

"Baiklah. Kalau begitu aku akan menunggumu di tempat biasa. Ah iya, apa kamu mau kuantar ke kampus?" Dewangga menunjuk ke arah mobilnya.

"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Tawaran Dewangga kutolak mentah-mentah. Aku belum lupa jika pria itu pada awalnya menguntitku.

"Baiklah. Aku tidak akan memaksa."

Untungnya Dewangga bisa menerima penolakanku dengan lapang dada. Aku bergegas pergi dari hadapan pria itu tanpa bicara apa-apa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top