Part 17
"Mungkin kamu kepikiran cerita Dewangga, makanya kamu bisa bermimpi yang sama, Na."
Tebakanku salah. Tadinya kupikir Silvi akan menanggapi ceritaku tentang mimpi semalam dengan antusias, tapi kenyataan yang kudapati justru sebaliknya. Gadis itu terkesan acuh dan tampak lebih menikmati kripik kentang berbumbu balado yang ia beli di minimarket saat dalam perjalanan kembali ke kost.
"Aku tidak tahu apa aku terbawa kisah yang diceritakan Dewangga atau bukan. Tapi aku turut merasakan apa yang gadis itu rasakan, Sil. Aku juga ikut patah hati saat mendengar Raden Arya meninggal. Sampai saat inipun aku masih merasa sedih jika mengingat mimpi itu," uraiku berusaha memberitahu apa yang kurasakan.
"Kurasa ada ikatan batin antara kamu dan gadis yang mirip denganmu dalam mimpi, Na. Jadi kamu merasakan apa yang dia rasakan karena kamu adalah reinkarnasinya. Tapi, jika itu benar gambaran masa lalu kamu dan Dewangga, maka sudah jelas kalau gambaran masa sekarang berbeda dengan masa lalu."
Akhirnya ia berbicara serius juga. Aku sempat ragu jika Silvi tak bisa diajak berdiskusi.
"Raden Arya meninggal karena bunuh diri dan ia masih muda saat itu. Sedang Dewangga yang sekarang masih hidup dan berumur antara 30 sampai 35. Jadi, takdir yang sama tidak terulang sekalipun kalian telah bereinkarnasi." Silvi mengemukakan analisanya dan aku meresponnya dengan anggukan membenarkan. "Kamu bilang saat pertama kali kamu bertemu dengan Dewangga, dia memintamu agar menikah dengannya. Karena dia takut takdir yang sama akan terulang kembali. Tapi, sudah terbukti kalau takdir kalian berbeda dari takdir masa lalu."
Aku kembali mengangguk membenarkan analisa Silvi. Ia menjabarkan dengan gamblang apa yang ada dalam benakku.
"Jadi, setelah semuanya jelas, apa kamu akan berubah pikiran?" desak Silvi melanjutkan pembicaraan.
"Maksudnya?"
"Maksudnya apa kamu bersedia untuk menikah dengan Dewangga setelah mengetahui jika takdir kalian berbeda dari masa lalu? Bukannya kamu bilang kamu sedih saat mengingat pria itu?"
"Iya, aku memang merasa sedih saat mengingatnya, tapi bukan berarti aku bersedia menikah dengannya."
"Kenapa?"
"Aku masih belum bisa menerima semua ini, Sil. Kalau kamu menjadi aku, apa kamu bersedia menikah dengan Dewangga hanya karena kamu bermimpi tentang masa lalu kalian?" Aku beralih meminta pendapatnya. "Jangan lupakan kalau dia pernah menguntit kamu selama beberapa minggu."
"Bagaimana, ya?" Kenyataannya Silvi tak bisa langsung memberikan jawaban yang kuminta. Ia perlu berpikir selama beberapa menit. "Kalau ada di posisimu, aku juga tidak yakin akan menerima Dewangga. Sepertinya pria itu cukup misterius dan perlu dicurigai. Lagipula kita sama-sama tahu kalau takdir masa lalu tidak terulang kembali. Jadi, bisa saja di masa sekarang kamu dan Dewangga tidak seharusnya bertemu. Pria itu hanya terobsesi akan takdir masa lalunya, maka dari itu dia berusaha keras mencari kamu dan memintamu agar bersedia menikah dengannya. Dia melakukan semua itu dengan tujuan untuk menebus penderitaannya di masa lalu," ungkapnya.
"Kamu benar, Sil."
Analisa Silvi jauh lebih masuk akal dari yang kupikirkan.
**
"Cepat pergi, Nak. Jangan hiraukan kami. Kamu pergi saja. Pergi yang jauh... "
Melihat seraut wajah Bapak dan Ibu membuat langkahku terasa begitu berat untuk berjalan meninggalkan mereka.
"Kenapa Bapak dan Ibu tidak pergi bersamaku? Bagaimana kalau mereka berbuat jahat pada kalian berdua?"
Bukannya pergi seperti perintah Bapak, aku justru masih bertahan di tempatku berdiri dengan kedua tangan memegang tangan Bapak dan Ibu.
"Kami sudah tua, mereka tidak akan membunuh kami berdua. Paling juga kami akan dipukul sedikit."
"Tapi, Pak, Bu... " Dengan air mata berlinang aku bergantian menatap wajah Bapak dan Ibu. Mereka bahkan tega mengikat kami malam itu. Mereka pasti tidak akan segan melakukan hal yang sama, atau mungkin lebih dari itu.
"Pergilah, Nak. Selamatkan dirimu sebelum mereka menyalahkan kamu karena telah menyebabkan Raden Arya meninggal dunia."
Tanganku dilepaskan Bapak dengan paksa. Lantas dengan gerakan kasar pria itu mendorong pundakku menjauh.
"Cepat pergi! Jangan hiraukan kami!"
"Pergilah, Nak. Tetaplah hidup untuk kami berdua. Carilah kebahagiaanmu sendiri." Dengan mata berlinang Ibu melepas kepergianku.
Setelah mendengar kematian Raden Arya, itu merupakan momen paling menyedihkan yang pernah kualami. Aku telah kehilangan orang yang kucintai, lantas aku dipaksa melepaskan kedua orangtuaku, kemudian semesta menyuruhku untuk menguatkan hati dan bertahan meski sendiri.
Lantas ke mana aku harus pergi?
Dengan berat hati, aku berjalan pergi meninggalkan pondok yang telah kutinggali seumur hidupku. Aku terpaksa melepaskan kedua orangtua yang sudah merawatku sejak kecil. Aku melangkah tanpa tujuan. Dengan bekal seadanya dan rasa takut yang terus menyergap benak, aku menapakkan kedua kakiku yang telanjang menuju ke tengah hutan.
Kata mereka aku harus selamat. Tapi untuk siapa aku hidup kelak jika orang-orang yang kucintai tidak ada di sampingku lagi? Mana mungkin aku bisa bahagia jika tanpa mereka?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top