Part 12
Setelah menceritakan ulang secara detail keseluruhan kisah Dewangga pada Silvi, kami sepakat menyebut pria itu tidak waras. Silvi sependapat denganku, bahwa kisah itu tidak masuk akal. Masih banyak omong kosong lain yang bisa diterima nalar, tapi ini tidak. Cerita tentang reinkarnasi setelah beberapa ratus tahun bukanlah sesuatu yang wajar. Jika kami melalui momen itu bersama-sama, kenapa hanya Dewangga yang bisa mengingat kejadian di masa lampau sedangkan aku tidak?
"Sebaiknya kamu menjauhi pria itu, Na. Aku takut dia akan berbuat jahat padamu." Silvi melirikku ketika tangannya sibuk mengoleskan krim malam ke wajah.
"Iya."
"Jangan lupa untuk mengembalikan barang-barang itu."
"Iya, iya." Aku menyahut cepat. Kalau saja tadi siang aku tahu akan bertemu dengannya, aku pasti membawa barang-barang itu untuk dikembalikan pada Dewangga.
"Kalau begitu aku tidur dulu," pamit Silvi yang sudah selesai dengan rangkaian perawatan wajah yang rutin dilakukannya setiap sebelum tidur. Gadis itu bergegas membaringkan tubuh di atas kasur. "Kamu tidak tidur, Na?"
"Sebentar lagi. Tanggung," ucapku seraya menunjuk ke arah buku di tanganku.
"Jangan malam-malam kalau tidur."
"Iya, iya. Bawel." Makiku tak serius dan gadis itu menanggapinya dengan tawa kecil.
Namun, beberapa menit setelah ia pamit untuk tidur lebih dulu, suara Silvi justru kembali terdengar dan merusak konsentrasiku membaca.
"Seandainya reinkarnasi benar ada dan kamu dulu seorang anak petani biasa, lalu seperti apa kehidupanku dulu? Apa aku juga anak petani biasa?"
Aku mengembangkan senyum.
"Apa kamu tidak bisa tidur hanya karena memikirkan soal reinkarnasi?"
"Tiba-tiba saja aku kepikiran, Na. Masa di kehidupan yang lalu dan sekarang kita sama-sama jadi orang miskin? Apa tidak sebaiknya kita bertukar tempat dengan orang-orang kaya?"
"Kenapa mesti bingung memikirkan hal-hal tidak masuk akal seperti itu? Membuang waktu dan energi, mengerti? Sudah, tidur sana."
Silvi mengembangkan tawa. Dan setelah itu percakapan kami selesai. Agaknya Silvi benar-benat berniat untuk tidur kali ini. Pasalnya ia harus bangun pagi esok hari karena mesti masuk kerja jam delapan.
Aku pun kembali meneruskan bacaan yang sempat terjeda karena pembicaraan singkat kami. Namun, suasana yang senyap di dalam kamar justru mendatangkan rasa kantuk yang luar biasa tidak tertahan ke kedua mataku. Tidak lama sesudahnya aku jatuh tertidur.
**
Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuh? Seolah-olah seutas tali telah mengikat tubuhku dengan erat. Bukankah tadi aku duduk di atas lantai dengan menyandarkan punggung ke tembok karena ibu kost tidak menyediakan fasilitas kursi di kamar kami?
Secara refleks mataku terbuka.
Aneh!
Setelah membuka mata, alih-alih mendapati pemandangan isi kamar kost, aku justru menemukan suasana malam hari yang temaram. Dengan bantuan pendaran sinar yang berasal dari nyala sebuah obor, samar-samar aku melihat rimbunan semak belukar dan pepohonan di samping kanan dan kiri tempatku berada.
Bukan hanya menemukan diriku berada di sebuah tempat asing, gelap, dan misterius, aku juga mendapati tubuhku terikat pada sebuah tiang kayu. Pantas saja aku merasa tak bisa menggerakkan tubuh dan karena itulah aku membuka mata. Tapi, di mana ini? Apa aku sedang bermimpi? Kenapa ini terasa begitu nyata?
"Apa kamu baik-baik saja?"
Suara seorang pria yang terkesan berat berusaha mengalihkanku dari bingung. Kepalaku menoleh ke samping dan benar saja, seorang pria paruh baya berpakaian lusuh ada di sebelahku. Kondisinya tidak lebih baik. Ia juga terikat sepertiku. Lantas di sebelah pria paruh baya itu terdapat seorang wanita yang tubuhnya juga terikat pada tiang. Ia tampak kelelahan dan sepasang matanya nyaris terpejam.
Bahasa yang digunakan pria paruh baya itu bukanlah bahasa yang kugunakan sehari-hari. Aku tahu itu bahasa daerah, tapi anehnya aku paham arti kalimat yang diucapkan pria tersebut meski tak pernah mempelajarinya seumur hidupku.
"Ya, aku baik-baik saja," sahutku juga menggunakan bahasa daerah yang sama.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top