Part 11

Siapa sangka akhirnya aku akan duduk di kursi taman samping perpustakaan, berdampingan dengan Dewangga, pria asing yang beberapa waktu terakhir menguntitku. Tubuh kami tidak terlalu dekat, ada jarak yang cukup lebar di antara aku dan Dewangga. Meski begitu, aroma parfumnya dapat tertangkap oleh indra penciumanku. Wangi perpaduan beberapa jenis bunga.

"Beberapa ratus tahun lalu, kita pernah hidup di zaman yang sama," ujar pria di sampingku memulai kisah yang ditawarkannya beberapa saat tadi sebelum akhirnya kami duduk di sini.

Ia masih berada di awal cerita, tapi pria itu hampir membuatku meledakkan tawa. Omong kosong apa yang hendak ia pamerkan padaku?

"Mungkin kamu tidak mengingatnya," lanjut Dewangga seolah bisa membaca ekspresi dan isi hatiku. Padahal aku tidak sedang menatapnya. "tapi aku bisa mengingatnya dengan baik seolah itu baru terjadi kemarin."

Terserah, batinku. Aku tidak akan memercayai apapun yang keluar dari bibirnya.

"Dulu kita saling menyukai satu sama lain," tutur Dewangga nyaris membuatku berdecak. "Aku adalah putra dari sebuah keluarga bangsawan dan kamu merupakan putri dari seorang petani biasa. Kita berdua saling mencintai, tapi cinta kita tidak direstui oleh kedua orang tuaku... "

"Wajar jika mereka tidak merestui hubungan itu," sahutku tanpa menganggap hal itu nyata adanya. Aku sudah memutuskan akan mengikuti alur yang dibawakan Dewangga.

"Aku sudah berulang kali memohon pada kedua orang tuaku agar diizinkan untuk menikah denganmu, tapi tidak pernah berhasil." Dewangga tak merespon tanggapanku. "Aku malah dijodohkan dengan putri seorang saudagar kaya dari negeri seberang. Gadis itu cantik, tutur katanya juga lembut. Tapi, meskipun begitu aku tidak bisa jatuh cinta padanya. Aku tetap menyukaimu."

"Lalu?"

"Kedua orang tua kami mempersiapkan sebuah pesta pernikahan yang megah saat itu. Tapi, aku juga mempersiapkan sebuah skenario melarikan diri dari pesta itu."

"Apa kamu berhasil melarikan diri?"

"Ya, aku berhasil melarikan diri saat malam sebelum pesta pernikahan itu berlangsung. Tapi... "

"Tapi apa?" Kurasa Dewangga bisa menulis sebuah novel bergaya klasik.

"Saat aku sampai di rumahmu, aku melihatmu dan kedua orang tuamu diikat di sebuah tiang. Orang-orang suruhan Ayahku yang melakukan semua itu. Sepertinya Ayahku sudah menduga jika aku akan kabur di hari pernikahanku. Lantas salah satu dari mereka memintaku untuk kembali ke rumah dengan satu ancaman jika aku tidak bersedia menikah, maka kamu dan keluargamu yang akan menjadi korban."

"Apa kamu kembali saat itu?" tanyaku. Cerita seperti ini bagiku terdengar familiar, tapi entah kenapa aku terus bertanya tentang kelanjutannya.

Dewangga yang sedari tadi menatap nanar ke depan, menganggukkan kepala.

"Aku memilih kembali dan menikah dengan gadis itu. Aku tidak mau mengorbankan kamu dan keluargamu. Kalau aku tetap melarikan diri, sudah pasti mereka akan menghabisi seluruh keluargamu."

"Lalu, bagaimana akhir ceritanya?"

"Hmm?" Ia langsung menoleh. Lagaknya seperti orang yang kebingungan.

"Apa kamu tetap menikah dengan gadis itu?"

"Ya," angguknya.

"Lalu bagaimana dengan nasibku? Maksudku seseorang yang mirip denganku. Apa dia selamat dan juga menikah dengan seseorang? Apa dia juga bahagia?" cecarku.

Dewangga menarik napas dan terdiam beberapa saat.

"Aku tidak tahu bagaimana nasibnya."

"Hah?" Mendengar jawaban Dewangga membuatku cukup kaget. Mana mungkin ia tidak tahu nasib kekasihnya? Meskipun mereka tidak bisa menikah, setidaknya mereka saling mengetahui kabar masing-masing. "Apa kalian pindah ke tempat yang jauh? Maksudku kamu dan istrimu?"

Dewangga mengangguk.

"Oh." Aku turut mengangguk. Aku bisa memahami jalan cerita yang disampaikan Dewangga. Tapi, kisah semacam itu bukan cerita yang istimewa menurutku. Masih ada banyak kisah cinta yang jauh lebih mengharukan dan menyayat hati.

"Karena itulah," Dewangga kembali bersuara. "di kehidupan yang sekarang aku ingin bisa menikah denganmu. Kamu tidak tahu berapa lama aku mencarimu selama ini."

"Kalau kamu memang benar terlahir kembali dan masih bisa mengingat kejadian di masa lalu, kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?" tanyaku bermaksud membongkar kebohongan Dewangga.

"Aku tidak tahu," jawabnya pelan.

"Apa ada trik supaya aku bisa mengingat kejadian masa lalu?" pancingku.

"Kamu ingin mengingat kejadian di masa lalu?"

"Ya, tentu saja," sahutku asal.

"Pejamkan matamu dan mintalah pada Tuhan. Semoga Dia berkenan mengabulkan permohonanmu."

Aku nyaris meledakkan tawa mendengar perkataan pria itu. Jangan harap aku akan mempercayai ucapannya. Tidak akan pernah.

"Kurasa aku sudah terlalu lama membuang waktu di sini," ucapku seraya mengangkat tubuh dari atas kursi. "Terima kasih atas kisah yang kamu ceritakan barusan, tapi maaf, aku sama sekali tidak mempercayainya."

Aku berlalu dari hadapan Dewangga tanpa memberinya kesempatan untuk menyambung ucapanku dan buru-buru melangkah ke arah pintu masuk perpustakaan. Ia tidak akan bisa meracuni pikiranku dengan kisah konyol semacam itu. Dasar penguntit!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top