Part 10
Mobil sedan hitam itu tidak terlihat di manapun ketika aku mengedarkan tatapan ke sekeliling. Mungkin pria itu sibuk dan tidak punya waktu untuk menguntitku hari ini, pikirku sembari berjalan usai menutup pintu pagar rumah kost. Atau jangan-jangan ia sedang menungguku di dekat kampus?
Apa peduliku jika ia ada di dekat kampus? Aku memang berencana akan mengembalikan barang-barang pemberiannya, tapi mungkin lain kali. Saat aku bertemu dengan pria itu di tempat dan suasana yang tepat. Dan kali ini aku tidak sedang pergi ke kampus, melainkan perpustakaan. Ada satu buku yang belum selesai kubaca tempo hari.
Bus yang kutumpangi tidak terlalu penuh. Aku beruntung karena masih kebagian tempat duduk. Saat di dalam perjalanan menuju perpustakaan pun, aku tak melihat sedan hitam itu. Kurasa aku tidak akan bertemu dengan Dewangga hari ini. Firasatku mengatakan jika pria itu sedang menungguku di kampus.
Dugaanku meleset!
Siapa sangka pria itu justru ada di dekat pintu masuk perpustakaan dan bersikap seolah-olah sedang menanti seseorang. Mobil sedan hitam andalannya tampak terparkir di halaman perpustakaan.
Pemandangan yang menantiku di depan sana sontak membuat langkah kakiku seketika meragu. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa pria itu ada di sana seolah telah mengetahui jika aku berencana untuk datang ke perpustakaan? Apa ia memasang kamera pengawas di sekitar kost? Atau ia menyuruh seseorang untuk memata-matai kost kami?
Dengan terpaksa aku kembali melangkah meski harus menyeret kedua kakiku. Toh, jika aku memutar tubuh dan mengurungkan niat untuk masuk ke dalam gedung perpustakaan, aku sama saja dengan pecundang. Kenyataan harus dihadapi dengan cara apapun, bukan untuk dihindari.
"Apa maksudmu mengirimkan barang-barang itu?" Ketika langkahku sampai di depan pria itu, aku merasa tiba-tiba punya keberanian untuk menghardiknya. Meskipun ia berusia jauh di atasku, aku sudah mengabaikan tata krama dan sopan santun padanya. Orang tak waras semacam itu tidak layak dihormati. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan persoalan di antara kami.
"Aku hanya ingin membelikanmu sesuatu untuk dipakai. Apa kamu menyukainya?" Gaya bicara Dewangga terkesan santai, berbalik denganku yang menyimpan kesal.
Aku mengulum senyum getir. Aku tidak menampik jika penampilanku sehari-hari jauh dari kata bagus. Pakaianku terlalu sederhana dan itu sangat mencerminkan kondisi keuangan keluarga kami. Tapi, aku tidak pernah mempermasalahkannya karena memang seperti inilah hidupku. Kelak jika aku lulus kuliah dan berhasil diterima bekerja sebagai pegawai negeri, aku berharap bisa membeli beberapa pakaian yang layak untuk diriku sendiri dan keluargaku.
"Ambil kembali barang-barangmu. Aku tidak membutuhkannya," tegasku. Miskin tapi sombong? Ya, kalian bisa mencaciku seperti itu.
"Kamu akan membutuhkannya suatu saat nanti, jadi simpan saja," ucapnya santai. Padahal aku sedang berada di posisi kesal bukan main.
"Aku akan mengembalikannya besok. Kamu ada di dekat kampus, kan?" Aku tak kekurangan ide. Apa susahnya menemukan pemilik sedan hitam itu setelah ia menguntitku beberapa lama.
"Aku tidak bisa menggunakan barang-barang itu karena aku bukan wanita... "
"Kamu bisa memberikannya pada seseorang," tukasku tak kalah cerdik.
"Bisakah kita berbincang sebentar sambil minum kopi?" Dewangga mengalihkan topik pembicaraan.
"Kamu tidak lihat aku mau masuk?" Tanganku menunjuk ke arah pintu yang berada tidak jauh dari tempat Dewangga berdiri.
"Sebentar saja."
"Aku tidak suka membuang waktu dengan orang asing," ujarku angkuh.
"Setelah kita bicara, kita tidak akan menjadi orang asing lagi. Apa kamu tidak ingin mengetahui kehidupan kita di masa lampau?"
"Aku tidak percaya dengan hal-hal seperti itu."
"Kalau begitu maukah kamu mendengarkan kisahku?"
Pria itu sungguh sangat pemaksa. Kegigihannya patut mendapat apresiasi, tapi sayangnya aku justru kehilangan respek padanya.
"Aku lebih suka membaca kisah-kisah di dalam sana." Telunjukku mengarah ke pintu masuk perpustakaan.
"Baiklah, aku tidak akan memintamu menikah denganku. Tapi, bisakah kita berbincang berdua saja? Kalau kamu tidak suka kopi, kita bisa bicara di mana saja. Bagaimana kalau di taman?"
Di halaman samping perpustakaan terdapat sebuah taman kecil yang diisi dengan berbagai tanaman hias. Ke arah taman itulah telunjuk Dewangga mengarah.
"Atau kita bicara di sini saja?" Dewangga memberi opsi terakhir yang tidak masuk akal.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top