Part 09
"Kamu libur hari ini?"
Aku yang masih berbaring di atas kasur dan setengah tidur, mengiyakan pertanyaan Silvi dengan gumaman kurang jelas. Gadis itu telah bersiap untuk pergi bekerja. Sementara aku yang libur, ingin melanjutkan tidur beberapa menit lagi.
"Tidak ada kegiatan di kampus?" Silvi sedang sibuk merias wajah, tapi bibirnya tak henti menggangguku.
"Tidak ada." Meskipun begitu, aku tetap menjawab pertanyaannya.
"Tidak ada rencana pergi ke perpustakaan?"
"Mungkin nanti siang." Di perpustakaan kota ada begitu banyak buku yang bisa kubaca untuk menghabiskan waktu luang.
Aku masih memejamkan mata dan menunggu pertanyaan selanjutnya. Tapi, beberapa saat menunggu, suara Silvi tidak terdengar. Sampai akhirnya,
"Aku berangkat dulu, Na."
"Hati-hati, Sil."
Samar-samar aku mendengar suara pintu dibuka, lantas ditutup kembali. Silvi sudah berangkat, batinku lega. Aku bisa melanjutkan tidur dengan tenang.
Namun, berselang tidak lama aku kembali mendengar suara pintu dibuka dengam gerakan kasar, disusul suara Silvi. Nadanya panik. Entah apa yang terjadi pada gadis itu.
"Ada apa, Sil?" Aku berusaha membuka mata meski sulit.
"Lihat ini."
"Apa?"
"Bangun dulu, Na."
Aku menuruti perintah Silvi.
"Apa?" tanyaku lagi setelah berhasil mengangkat kepala dari atas bantal.
"Pria itu mengirimkan ini untukmu, Na," beritahu Silvi seraya mengangkat beberapa tas kertas dan menunjukkannya padaku.
Rasa penasaran membuatku melebarkan mata. Rasa kantuk yang tadinya memberat di kedua mataku, mendadak lenyap begitu melihat tas-tas berbahan kertas yang dipegang Silvi.
"Siapa?" tanyaku bak orang linglung. Agaknya aku belum berhasil mengumpulkan kesadaran sepenuhnya.
"Penguntit itu. Memangnya siapa lagi?"
Ah, iya. Penguntit itu, si pria pemilik mobil sedan hitam yang beberapa kali kulihat terparkir di dekat kampus.
"Kamu bertemu dia?"
"Tidak. Tadi waktu aku mau berangkat, aku bertemu ibu kost di luar. Dia menitipkan barang-barang ini untuk kamu, katanya dari Pak Dewangga," tutur Silvi menceritakan kronologinya dengan singkat.
Tanpa sadar keningku mengerut.
"Kamu tidak ingin mengetahui isinya?" Silvi mengambil tempat duduk di tepi kasur dan mengangsurkan tas-tas berbahan kertas itu ke hadapanku.
Tanganku berusaha menggapai tas-tas kertas itu dan bergegas membukanya. Ternyata beberapa helai pakaian, tas, dan sepasang sepatu flat. Agaknya Dewangga sangat paham dengan gaya berpakaianku ketika pergi kuliah. Untuk urusan sepatu pun ia memilih yang tidak terlalu mencolok, terkesan sederhana dan nyaman untuk mahasiswi sepertiku. Pengalamannya menguntit keseharianku benar-benar diterapkannya dalam memilih outfit yang tepat untukku.
"Pria itu benar-benar tidak waras," desisku seraya mengembalikan benda-benda itu ke dalam wadahnya semula. Meskipun semua barang itu cocok dengan kepribadianku, aku tidak akan serta merta menerimanya begitu saja.
"Kamu tidak mau menerima ini, Na?"
"Tentu saja tidak, Sil. Aku akan mengembalikan semua ini. Kita tidak tahu motif di balik semua barang ini, kan?"
Selalu ada pamrih dibalik pemberian-pemberian semacam ini. Dan aku merasa tidak nyaman jika harus menerimanya, terlebih lagi pria itu masih sangat asing bagiku. Pikiranku masih buruk padanya.
"Kalau begitu kamu harus berhati-hati padanya, Na."
"Iya, Sil."
"Aku berangkat dulu, Na. Aku hampir terlambat. Dah... "
Silvi buru-buru pergi. Sementara aku masih terduduk di atas kasur sembari mencari cara bagaimana untuk mengembalikan barang-barang itu pada Dewangga. Aku bahkan tidak tahu alamat rumah atau tempatnya bekerja. Mungkin juga aku bisa mengembalikan barang-barang itu saat ia sedang mengawasiku di dekat kampus.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top