Part 07

"Jadi selama ini Bapak menguntitku? Sejak kapan?" serangku brutal. Pria itu terlalu percaya diri dengan ucapannya, seolah hanya dengan menguntitku ia telah mengetahui keseluruhan hidupku.

"Namaku Dewangga."

Mungkin ia merasa risih karena aku terus memanggilnya dengan sebutan 'Bapak'. Jadi, ia memperkenalkan diri.

Aku tidak butuh mengetahui namanya, batinku kesal. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari jika selama ini seseorang selalu mengawasiku dari kejauhan? Aku baru menyadarinya beberapa waktu terakhir ini.

"Tidak penting sejak kapan aku menguntit kamu. Yang paling penting adalah kamu harus menikah denganku."

Hah?

Keningku seketika mengerut.

"Kamu memaksaku untuk menikah denganmu?" Emosi yang berkembang dengan cepat di dada membuatku seketika melupakan 'Anda' dan 'Bapak', juga nama yang disebutkan pria itu, Dewangga. Semua itu tidak penting sekarang. "Kamu benar-benar tidak waras!" Aku memaki untuk pertama kalinya setelah masuk universitas.

"Kamu boleh menyebutku tidak waras atau apapun, tapi aku benar-benar ingin menikah denganmu, Hana. Aku mencintaimu," ucap Dewangga dramatis.

"Memangnya mencintai seseorang semudah itu? Kamu menguntitku selama ini, lalu tiba-tiba muncul dan memintaku agar menikah denganmu. Apa kamu seorang psikopat?" Darahku sudah naik ke ubun-ubun. Pria itu pasti tidak tahu perjuanganku demi mendapatkan beasiswa. Aku tidak bisa berhenti kuliah hanya karena seseorang memintaku untuk menikah dengannya, sekalipun ia orang kaya raya.

"Apa mencintai seseorang bisa disebut sebagai psikopat?" Dari nadanya aku paham jika pria itu ingin membela diri. "Aku sudah mengenalmu sejak lama, Hana."

Seingatku, aku tidak pernah mengenal pria itu sebelumnya. Aku juga tidak mengalami amnesia. Atau jangan-jangan dugaanku tentang pria itu yang psikopat benar adanya?

"Berarti benar kamu menguntitku sejak lama? Iya?"

Dewangga menggeleng.

"Belum lama."

"Belum lama tapi kamu bilang sudah mengenalku sejak lama. Apa maksudnya?" Agaknya otak Dewangga rusak parah dan butuh perbaikan segera.

"Sudah kukatakan sebelumnya kalau kita bicara di sini tidak akan nyaman. Kita butuh bicara banyak, Hana."

"Tidak. Aku lebih suka bicara di sini dan segera menyelesaikan kesalahpahaman ini," tukasku bernada ketus.

"Tapi ini bukan sebuah kesalahpahaman, Hana. Kita saling mengenal satu sama lain di kehidupan sebelumnya."

Aku tercekat mendengar pria itu menyebutkan tentang kehidupan sebelumnya.

"Omong kosong," desisku. Mustahil bisa memercayai omongan Dewangga tentang kehidupan sebelumnya. Entah aliran apa yang dianut pria itu, tapi aku tidak percaya pada reinkarnasi atau semacamnya.

"Kamu boleh tidak memercayainya, tapi aku dan kamu terlahir kembali setelah beberapa ratus tahun. Semesta mempertemukan kita kembali di kehidupan ini, Hana."

"Jangan mengarang cerita bohong di depanku hanya untuk membujukku agar mau menikah denganmu. Itu tidak akan berhasil," tandasku. Kurasa aku terlalu banyak membuang waktu berbincang dengan pria itu, apalagi topik yang kami bahas sungguh di luar nalar.

"Hana... "

Aku terlanjur membalik tubuh ketika pria itu memanggil namaku. Entah bagaimana ia bisa tahu namaku.

"Pembicaraan kita belum selesai."

Sayangnya lengan jaketku berhasil dicekal pria itu. Langkahku terhenti karena ulah lancangnya.

"Aku tidak mau menikah denganmu, mengerti?" ketusku. Lebih efektif memberinya sebuah penolakan ketimbang meneruskan perbincangan kami tentang kehidupan sebelumnya.

"Kenapa?"

"Ada banyak alasan untuk tidak menikah denganmu."

"Misalnya?"

"Aku tidak ingin menyebutkannya. Bisakah kamu melepaskanku sekarang?" Aku melirik sinis ke arah lengan jaketku yang masih dicekal Dewangga.

"Kalau aku lepaskan, apa kita bisa bertemu lagi lain kali?"

Rupanya pria itu ingin tawar menawar denganku.

"Bertemu lagi? Untuk apa?"

"Untuk bicara."

Aku melenguh.

"Aku tidak suka topik pembicaraan ini, jadi kurasa aku lebih suka tidak bertemu denganmu," ketusku bernada jahat.

"Kita bisa bicara hal lain." Ia menawarkan opsi lain, seolah kepalanya penuh dengan berbagai macam ide hebat.

"Maaf, tapi aku sama sekali tidak tertarik." Aku menarik lenganku dengan paksa dan berhasil. Aku terbebas darinya.

Kali ini Dewangga membiarkan aku pergi. Ia tak mengejar atau meneriakiku. Entah apa yang direncanakan pria itu.

Dengan langkah tergesa, aku bergegas pulang. Aku tak menoleh karena takut ia masih memperhatikanku dari kejauhan. Bukankah ia menguntitku selama ini? Jadi, ia sudah terbiasa mengawasi gerak gerikku. Namun, entah mengapa aku merasa masih ada kesempatan lain kali untuk bertemu dengan pria itu. Semesta yang akan mengatur pertemuan kami.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top