Part 05
Tidurku semalam benar-benar tidak nyenyak. Pikiranku terus tertuju pada mobil sedan hitam itu. Entah siapa pemiliknya, seperti apa sosoknya, dan apa tujuannya menguntitku, rasanya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Berpikir sekeras apapun, aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Silvi masuk siang, jadi ia bisa melanjutkan tidur sebelum shift kerjanya di mulai. Sementara aku ada jadwal kuliah pagi dan tak bisa bolos sesuka hati. Sebagai salah seorang mahasiswi penerima beasiswa aku punya tanggung jawab penuh pada pendidikan yang kutempuh.
Sesungguhnya masih terselip perasaan takut dalam benakku ketika keluar dari kamar. Bayangan mobil hitam itu tercetak jelas dalam ingatanku. Bagaimana kalau ia masih ada di depan kost?
Dengan terpaksa aku menyeret langkah seraya bersikap waspada. Dan betapa leganya hatiku ketika mengetahui mobil sedan hitam itu tidak ada di depan kost kami. Setelah kutelusuri di area sekitar juga tak kutemukan keberadaan mobil itu. Artinya aku aman. Masih ada peluang bahwa dugaan kami tentang penguntit itu salah. Semoga saja seperti itu.
Untuk sampai ke kampus, aku tidak perlu naik kendaraan umum. Aku cukup berjalan kaki meski lumayan menyita waktu. Berhemat jauh lebih penting bagi mahasiswi sepertiku.
Menilik kondisi tubuhku yang kurang fit karena insomnia semalam, kemungkinan besar aku akan tertidur saat jam pertama kuliah nanti. Mungkin segelas kopi bisa membuat tubuhku sedikit lebih baik. Di dekat kampus ada sebuah warung kopi, haruskah aku mampir ke sana?
"Hana!"
Sungguh, teriakan itu serta merta membuat kedua kakiku berhenti bergerak. Lamunan sepanjang jalanku juga menguap tiba-tiba.
Suara itu asing. Telingaku cukup bisa mengenali jenis-jenis suara yang familiar kudengar. Tapi ini, kurasa baru pertama kali aku mendengarnya.
Tubuhku memutar. Rasa penasaran cukup menggelitik benakku. Siapa gerangan orang yang memanggilku?
Seorang pria bersetelan jas biru gelap dan berusia awal 30-an tampak berdiri dua meter di hadapanku. Kulit wajahnya terlihat bersih. Rambutnya tertata rapi. Sepatunya yang hitam mengilat seolah tak ingin kalah dalam merebut perhatian mataku. Meski belum bisa dikatakan sempurna, aku bisa mengatakan pria itu tampan.
Namun, benarkah ia yang tadi memanggilku?
Aku mengedarkan tatapan ke kanan, lalu ke kiri, tapi tak mendapati siapapun. Jalan yang kulalui tak terlalu ramai kendaraan, tapi hanya aku dan pria itu yang ada di sana.
"Anda memanggilku?" Aku mencoba memastikan dengan menunjuk diri sendiri. Pria itu jelas-jelas berusia jauh di atasku dan setidaknya aku harus menunjukkan rasa hormat padanya.
Pria itu berjalan beberapa langkah ke hadapanku.
"Ya."
Ups.
Tanpa sengaja ekor mataku menangkap bayangan sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir di belakang tubuh pria itu. Apakah ia pemilik mobil sedan hitam yang selama ini kucurigai menguntitku?
Perasaanku mulai berkecamuk. Apa yang hendak dilakukan pria itu?
"Bisa kita bicara sebentar?" pintanya dengan suara pelan. Ia tidak tampak seperti seorang penjahat atau pembunuh bayaran, tapi penampilan bagus tidak menjamin kebaikan hati seseorang, bukan?
"Maaf, tapi aku harus pergi kuliah. Aku sudah terlambat... " Nada suaraku terbata. Pikiranku dipenuhi hal-hal negatif dan aku harus bergegas menjauhkan diri dari pria itu bagaimanapun caranya.
"Aku tidak bermaksud jahat!"
Seruan pria itu berhasil membuat gerakan tubuhku terhenti. Namun, aku sudah terlanjur memutar tubuh saat itu. Seolah-olah ia tahu apa yang sedang kupikirkan tentangnya.
"Aku hanya ingin bicara denganmu. Kalau kamu tidak keberatan, kita bisa bicara setelah kamu pulang kuliah."
Jadi dugaanku tentang penguntit itu benar adanya? Pria yang berdiri di belakang tubuhku itu adalah pemilik mobil sedan hitam yang beberapa waktu terakhir kulihat terparkir di sekitar area kampus.
Aku memutuskan membalik tubuh.
"Bicara tentang apa?" pancingku. Tiba-tiba saja aku merasa tertarik dengan apa yang ingin dibicarakan pria itu.
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Ceritanya cukup panjang dan seperti kamu bilang tadi, kamu sudah terlambat. Jadi, lebih baik kamu pergi sekarang. Kita bisa bicara nanti sepulang kamu dari kuliah," ujar pria itu masih merahasiakan hal yang ingin dibicarakan denganku.
"Apa tidak bisa dipersingkat?" Ia malah membuatku penasaran.
"Tidak."
Apa boleh buat.
Tanpa berkata sepatah pun, aku kembali memutar tubuh dan bermaksud melanjutkan perjalanan.
Kurasa ia memang tidak bermaksud jahat. Pria itu hanya ingin bicara denganku, bukan mau menculik. Karena kesempatan semacam itu terbuka dengan lebar ketika kami berhadapan tadi, tapi pria itu tidak melakukan apa-apa.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top