Part 02
"Kamu dikuntit seseorang? Siapa?"
Silvi, teman sekamarku langsung bereaksi usai kuceritakan perihal sedan hitam misterius yang beberapa kali kulihat di kampus dan tadi ia tampak terparkir tak jauh dari perpustakaan kota yang kukunjungi.
"Aku masih belum yakin kalau pemilik mobil itu menguntitku," ujarku tak ingin membuat Silvi salah paham dan menganggap ceritaku nyata benar adanya. Padahal belum terbukti jika pemilik sedan hitam itu sedang mengawasiku dari kejauhan. Dan sejujurnya aku belum pernah sekalipun melihat si pemilik mobil itu.
"Tapi kamu bilang mobil itu selalu terparkir di sekitar kampus dan tadi kamu melihatnya lagi di dekat perpustakaan, kan?"
"Iya, tapi mungkin itu hanya kebetulan saja." Aku merasa sedikit menyesal telah memberitahunya tentang sedan hitam itu, terlebih lagi apa yang kupikirkan soal penguntit itu juga belum tentu benar.
Namun, agaknya Silvi berpikiran lain. Ia benar-benar menganggap ceritaku serius.
"Apa mungkin mantan kamu yang melakukan itu?" Ia mulai menebak-nebak.
"Tidak." Aku menggeleng kuat-kuat.
"Kamu yakin?"
"Ya, tentu. Aku tahu dia sudah punya gandengan baru dan mereka juga terlihat serasi," ujarku.
Kisahku dengan Egi sudah berakhir lama dan beberapa waktu lalu aku melihatnya bersama seorang gadis. Mereka tampak saling mencintai satu sama lain. Aku juga telah melupakan Egi. Jadi, tuduhan penguntit itu tidak layak ditujukan padanya. Egi bukan tipe orang yang kurang kerjaan, apalagi hanya untuk menguntit seseorang.
"Lantas siapa orang itu?" Silvi terkesan frustrasi karena belum menemukan siapa tersangka yang layak kami sebut sebagai penguntit.
"Aku pasti salah, Sil. Orang itu mungkin tidak sedang mengawasiku. Aku saja yang berpikiran buruk. Lagipula aku juga belum pernah melihat pemilik mobil itu." Aku berusaha menggiring pemikiran Silvi agar tidak terus membenarkan ucapanku.
"Apa mungkin orang itu polisi dan dia sedang mengawasi penjahat? Bagaimana kalau di kampus ada buronan yang sudah lama diincar polisi dan mereka sedang menunggu waktu yang tepat untuk meringkusnya? Bisa jadi ada salah satu mahasiswa yang terlibat sebuah kasus kriminal atau narkoba, bukan?"
Alih-alih menghentikan pemikirannya soal penguntit itu, Silvi justru berimajinasi ke mana-mana layaknya skenario film detektif.
Aku nyengir kuda.
"Bukannya menguntit penjahat dengan mobil justru lebih sulit?"
Menyamar menjadi pedagang atau orang biasa justru menjadi pilihan paling nyaman untuk pihak kepolisian dalam rangka mengungkap sebuah kasus ketimbang hanya dengan duduk di dalam mobil dan mengawasi dari kejauhan. Itu sama sekali tidak efektif.
"Kalau benar dia polisi, kenapa tidak menyamar menjadi mahasiswa daripada repot-repot mengawasi dari dalam mobil?" Aku berujar lagi.
"Kamu benar, Na. Tapi, mungkin saja polisi itu punya alasan tertentu."
"Mungkin juga dugaan kita tentang penguntit itu salah," tukasku. "Bisa jadi pemilik mobil itu kebetulan memarkirkan kendaraannya di sekitar kampus."
"Ya, ya. Semua itu mungkin. Tapi, kamu harus memberitahuku kalau dugaan kita tentang penguntit itu benar."
Aku mengedik ringan.
"Aku lapar. Mau pergi keluar cari makan?" tawarku demi menghentikan perbincangan mengenai penguntit yang masih belum terbukti kebenarannya itu.
"Kenapa tidak bilang kalau kamu belum makan tadi, Na? Aku kan bisa membawakanmu nasi goreng sepulang kerja."
"Aku lupa, Sil." Aku menggaruk kepala. Membaca buku di perpustakaan membuatku lupa waktu.
"Dasar," makinya sambil mengibas persis di depan mataku. "Bagaimana kalau kita pesan saja? Aku malas keluar, Na. Di luar pasti dingin."
Ya, beberapa jam lalu hujan memang sempat mengguyur dan sekarang hawa dingin di luar sana pasti cukup menggigit. Aku juga tidak mau pergi keluar jika sendiri. Akhirnya kami sepakat untuk memesan makanan melalui aplikasi di ponsel milik Silvi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top