6
Bagi Thalia, untuk sekarang ini dia akan menjatuhkan dirinya kepada siapapun yang bisa menolongnya. Jadi ketika Thalia mendengar suara dari belakangnya, ia langsung berlari dan memeluk pria itu. Pria itu pun langsung memegang bahunya dengan posesif, dan bertanya dengan nada khawatir, "Apa kau baik-baik saja?"
"Please Hugh, Just for once... help me."
Thalia tidak pernah memohon.
Thalia tidak pernah sekalipun merendahkan dirinya di hadapan siapapun. Jadi saat wanita di hadapannya berkata dengan suara parau, Hugh langsung memeluk dan menyurukkan kepalanya di leher wanita itu. "All you have to do is ask, Thalia."
Dengan satu gerakan cepat Hugh merangkulkan tangannya di sekeliling tubuh Thalia dan bersiap membawa wanita itu pergi. Untuk sesaat Thalia merasa lega, namun kelegaannya hanya bersifat sementara karena detik kemudian Bryan mencengkram tangan Hugh kencang dan dengan dingin berkata, "Hugh Thompson, lepaskan tanganmu dari-nya."
"Bryan Crawford, senang bertemu denganmu di sini," sapa Hugh tak acuh.
"Kuperingatkan sekali lagi, Thompson..."
"Kau yang seharusnya mendengarkanku, Crawford." Hugh menarik tangannya kasar dari cengkraman Bryan. "Dia adalah wanita-ku, jadi aku berhak untuk membawanya pergi tanpa harus meminta ijin darimu."
"Dia bukan milikmu!" teriak Bryan keras.
Beberapa tamu di Ballroom mulai menatap kearah mereka. Dan yang bisa di lakukan oleh Thalia adalah menunduk lebih dalam. Ia hanya ingin pergi dari tempat itu, dan ia tidak peduli apakah Hugh akan ditembak oleh ayahnya ataupun ibu-nya sekalipun. Thalia bahkan tidak peduli kalau Warren ada di hadapannya dan mengatai-nya bodoh.
For once, dia tidak peduli!
Baru kali ini Thalia melihat Bryan marah dengan mata biru-nya yang berkilat semakin membiru. Hal itu membuat jantung Thalia berpacu dengan cepat, ia benci tatapan Bryan yang seolah menghakiminya dan ia juga benci kenyataan bahwa Bryan hanya menganggapnya tidak lebih dari adik. Dan untuk pertama kalinya, Thalia berharap ia membenci Bryan.
Sambil menarik nafas panjang, Thalia langsung berjalan cepat. Ia berharap bahwa pintu keluar tidak sejauh yang di rasakannya. Selagi mempercepat langkahnya, Thalia mengabaikan panggilan dari arah belakangnya. Untuk sekali ini saja, biarkan saja mereka, Thalia...
Ketika ia membuka pintu, Thalia mendengar panggilan dari arah belakangnya, "Thalia Tjandrawinata, Mama memanggilmu daritadi. Apa yang—"
"Please Ma, I just wanna clear my head." Sebelum Ivy mengatakan apapun, Thalia menatap kearah mama-nya sambil menelan saliva-nya. "Aku butuh sendiri, Ma."
"Kau membutuhkan sesuatu?"
"Aku hanya membutuhkan udara segar."
Sejenak Ivy menatap puterinya lalu menghela nafas panjang sebelum akhirnya berkata, "Fine. Tapi kau harus sudah berada di apartemenmu dua jam lagi. Mama rasa dua jam cukup untuk bernafas dan berpikir jernih. Iya kan?"
"Thanks, Ma."
Thalia hendak beranjak keluar dan sebelum ia melakukannya, Ivy berkata, "Melakukan sesuatu yang bodoh tidak pernah ada di dalam kamusmu, Thalia. Mama mengatakannya hanya untuk mengingatkanmu bahwa berbuat bodoh tidak akan membawamu kemanapun kecuali hasil yang buruk. Clear your head, Li dan berpikirlah secara jernih mengenai apa yang seharusnya kau lakukan."
Thalia tidak menjawab, ia hanya melangkahkan kaki keluar dari Ballroom hotel.
⃰
Berjalan dengan mengenakan Heels memang bukan ide yang baik, tapi hal ini membuat Thalia dapat bernafas dengan lega. Thalia merasakan semilir angin malam menerpa wajahnya sekaligus merasakan hatinya mulai perih kembali.
Langkah Thalia berhenti di depan bangunan berkaca yang memantulkan bayangan dirinya. Ia melihat bahwa seorang Thalia Tjandrawinata adalah sosok wanita yang tidak menyerupai wanita. Perlahan ia mengangkat kedua tangannya dan melihat beberapa parut akibat luka pisau bedah, tubuhnya sedikit menggemuk karena sering mengkonsumsi gula di saat ia stress dengan pekerjaan dan dokumen pasien yang tidak ada habisnya.
Ia menarik nafas sembari menutup kedua matanya. Ya Tuhan, ternyata ia masih belum setangguh itu untuk bersikap baik-baik saja dan mengabaikan luka di hatinya.
Bisa kalian bayangkan bagaimana rasanya melihat pria yang kalian cintai bermesraan dengan orang lain, sementara yang bisa kau lakukan hanyalah tersenyum dan memainkan peran. Dan bisa kau bayangkan bagaimana rasanya memainkan sebuah peran di mana kau harus tersenyum seolah-olah tidak pernah merasakan sakit?
That's break you inside...
Thalia menghapus air mata yang menetes. Ia menghubungi Avelyn, seseorang yang jelas membuatnya terluka namun bagi Thalia, ia hanya memiliki Avelyn untuk menumpahkan perasaannya. Dan ketika ia mendengar suara sapaan halus dari seberang telepon, Thalia hampir saja menangis.
"Kau sedang sibuk?"
"Tentu saja tidak. Aku hanya baru saja menidurkan Max dan juga menyiapkan air hangat untuk Warren." Avelyn menjelaskannya dengan ceria. Namun ketika ia menyadari ada yang aneh, ia bertanya, "Apa kau baik-baik saja, Thalia?"
Tidak, Aku tidak sedang baik-baik saja, Lyn...
Tapi Thalia tidak akan mengatakannya, ia tidak akan membuat malam sahabatnya menjadi buruk hanya karena keluhannya. "I'm pretty fine, Lyn," jawab Thalia. Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan ucapannya. "I'm falling in love with someone..."
"Apakah aku harus mengucapkan selamat untukmu?" goda Avelyn ceria. "Boleh aku tahu seperti apa orangnya?"
"Dan sekarang aku tahu ketakutanmu saat dulu Warren mengejarmu, Lyn."
Avelyn tidak mengatakan apapun. Ia berusaha mendengarkan dengan seksama mengenai apa yang ingin di katakan oleh Thalia. "Ternyata tidak seindah dengan yang aku bayangkan, ya? Ini malah menyakitkan. Aku bodoh ketika dulu menyuruhmu untuk menerima Warren padahal aku seharusnya tahu bagaimana perasaanmu."
"Aku sekarang jadi mengetahui bagaimana perasaanmu ketika kau mengatakan baik-baik saja sementara kenyataannya berbeda. Aku jadi mengetahui seperti apa rasanya terluka bahkan walau aku sama sekali tidak sedang terluka, Lyn..."
Thalia menarik nafas panjang, kali ini ia membiarkan satu tetes air matanya mengalir di pipinya. "Lucu ya, Lyn. Ketika aku mengharapkan seseorang mencintaiku lebih dari tunangan yang pernah meninggalkanku, tapi ternyata aku malah berakhir dengan mencintai seseorang yang bahkan tidak akan pernah melirikku."
"Jatuh cinta itu memang menakutkan Li. Seperti dulu saat aku merasakannya, dan bagian yang paling menakutkan adalah karena kita tidak tahu bagaimana mengakhirinya," ucap Avelyn pelan. "Kau di mana?"
Tatapan Thalia mengedar dan menjawab, "Aku berada di depan Mandarin Oriental."
"Jangan terlalu malam. Aku akan menemuimu sebentar lagi."
"Aku baik-baik saja, Lyn. Yang aku butuhkan hanyalah—"\
"Segelas Tequila dan juga jendela di apartemenmu. Am I Right?" Ketika Thalia tidak menjawab, Avelyn berkata, "You need some space, Li. Aku akan berada di sampingmu ketika kau membutuhkannya. Itu adalah janjiku pada diriku sendiri, sama sepertimu yang selalu ada di sampingku dan sekeras apapun aku mendorongmu menjauh...I'll stand up beside you, Li."
⃰
Dulu, Thalia bersikap seperti gadis bodoh di sekolah kebanyakan. Ia menatap diam-diam pria yang mengenakan sweater abu-abu gelap dan kacamata yang bertengger malas di hidungnya yang sempurna. Thalia selalu menatap pria bermata biru itu dari balik rak buku di perpustakaan. Ini adalah tempat favorite-nya, di mana Thalia bisa menatap pria itu dengan sepuas hati sambil berpura-pura mencari buku.
Sementara pria itu hanya akan duduk di samping jendela dengan buku di tangannya. Dan Thalia tahu bahwa Earphone tidak pernah lepas dari telinga pria itu.
Thalia tahu Bryan Crawford. Thalia tahu apa yang disukai pria itu. Thalia tahu bahwa pria itu akan tersenyum ketika mendengar lagu kesukaannya di putar. Thalia juga tahu bahwa Bryan sangat menyukai pie apple. Tapi Thalia tidak pernah tahu, bahwa pria itu akan mendadak hilang begitu saja.
Bagi Thalia, pria itu adalah mataharinya. Bagi Thalia, senyum Bryan adalah sesuatu yang di cintainya. Jadi ketika ia bertemu lagi dengan pria itu dan mengetahui kenyataan bahwa Bryan menjalin hubungan dengan Avelyn... Ia tahu bahwa perasaannya harus berakhir.
Thalia menyayangi Avelyn dan Thalia mencintai Bryan Crawford. Baginya, memilih salah satu di antara mereka adalah sesuatu yang mustahil untuk di lakukannya.
Jadi Thalia memutuskan untuk mengabaikan hubungan kedua pasangan itu. Ia memutuskan untuk tetap berada di samping Avelyn walaupun hampir setiap malam ia menangis ketika Bryan datang ke apartemen Avelyn untuk bercinta.
Ia begitu ingat bagaimana melewati malam demi malam. Thalia menangis dalam diam dengan kepalanya menyandar di dinding, memaksa dirinya untuk menerima bahwa wanita yang di anggapnya sebagai sahabat tengah bergelut mesra bersama pria yang di cintainya. Dan tidak ada satu pun malam yang di lewati Thalia untuk terus mengingatkan dirinya, bahwa di cintai Bryan Crawford adalah sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi di dalam dunia nyata.
Kalau menghilangkan perasaannya pada Hugh semudah itu, kenapa hal tersebut sulit untuk di lakukannya pada Bryan?
Satu tegukan Tequila membuat kepalanya pening.
Dua tegukan berikutnya tidak memberikan dampak yang diinginkannya, malah jauh lebih buruk. Ia tidak bisa menangis. Sekeras apapun usahanya, Thalia belum bisa menangis sejak terakhir kali ia meneteskan mata setelah keluar dari Ballroom hotel.
Ia bersandar pada jendela di sampingnya sementara tatapannya terpaku pada seberapa banyak lampu di jalanan dan kumpulan manusia yang berjalan di bawah hujan deras. "It's always be you... When I saw you..." Thalia tanpa sadar melatunkan lirik yang sangat di sukainya.
Liriknya berhenti saat ia mendengar suara kenop pintu terputar dan derit pintu. Ia tahu bahwa seseorang datang namun Thalia terlalu malas untuk melihat atau sekadar mencari tahu. Matanya masih memandang jendela, dan bersamaan dengan suara langkah kaki, Thalia bisa melihat pantulan tamu-nya dari jendela di hadapannya.
Ia menutup mata sementara tangannya masih memegang segelas Tequila yang sudah di teguknya setengah. Dan Thalia mendengar teguran halus dari tamu-nya. "Sudah kubilang, Tequila tidak baik untuk tubuhmu. Kau yang seorang dokter seharusnya mengetahui hal itu dengan baik, Li."
"Kalau kau kesini hanya untuk menegurku lebih baik pulang saja, Lyn. Aku sedang tidak memiliki tenaga untuk berdebat."
"Aku tidak datang untuk berdebat."
Avelyn duduk di samping Thalia, kepalanya bersandar di punggung wanita itu. Dengan suara lembut, Avelyn bertanya, "Better?"
"I don't know," jawab Thalia berbisik.
"Dari kapan kau mencintainya?"
"I don't know..."
"Apakah aku mengenalnya?" tanya Avelyn sekali lagi. Ia tidak yakin bisa mendapatkan informasi karena terkadang Thalia bisa menjadi lebih keras kepala daripada dirinya. "Apakah... orang itu Bryan?"
Kali ini Thalia menoleh kearahnya dengan tatapan kosong tak bertenaga, bahkan Avelyn pun tidak yakin bisa membaca wanita itu dengan baik.
"Bagaimana kalau aku bilang, iya?" tanya Thalia.
"Sejak kapan?"
"Apakah itu penting?" tanya Thalia sedikit sarkastik.
"Sejak kapan?" ulang Avelyn.
Tatapan Thalia terpaku sesaat, lalu Thalia mengucapkan satu kalimat yang sudah di takuti oleh Avelyn sebelumnya. "Jauh sebelum kau berhubungan dengannya. Jauh sebelum kalian bertemu. Apakah jawaban itu memuaskanmu, Lyn?"
Avelyn diam, tak membalas ucapan Thalia. Sedikit banyaknya ia bisa melihat bagaimana rapuh hati Thalia saat ini, ia bisa menyadari bagaimana terlukanya wanita ini sekarang. Dan Avelyn tidak menyukai hal itu, tidak sama sekali. "Li...Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu..."
"Dan aku juga!" teriak Thalia frustrasi. Ia menarik nafas pelan, mengabaikan emosinya yang turun naik. "Aku juga tidak pernah bermaksud untuk mengatakannya. Aku telah bersumpah kepada diriku sendiri, Lyn, bahwa aku tidak akan pernah mengungkapkan perasaannya. Bahwa aku telah menerima kalau tidak akan pernah ada kita."
"But That's... That's hurt me a lot. This feeling kill me slowly, Lyn. This feeling... I want to throw away!" Thalia memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali mengatur nafasnya. "Aku mencintainya walaupun hanya dari kejauhan, Lyn. Aku mencintai senyumnya, aku mencintai dirinya dan aku mencintai segala hal aneh mengenai-nya. Bagaimana ia begitu senang jika lagu kesukaannya di putar, bagaimana matanya berkilat ketika melihat anak kecil..."
Avelyn merengkuh tubuh Thalia dari belakang sambal mengelus puncak kepala wanita itu dengan lembut, sementara Thalia melanjutkan ocehannya. "Aku mencintainya... dan dia tidak pernah melihatku." Thalia menoleh kearah Avelyn sambal menahan isak tangisnya dan bertanya, "Kenapa harus dia, Lyn?"
Avelyn tidak menjawab.
"Dan kenapa harus kau serta Adrian orangnya?" Racau Thalia.
Lagi-lagi Avelyn tidak menjawab.
"Kenapa harus dia yang aku cintai? Kenapa harus dia yang membuatku melupakan segala mimpi burukku mengenai Hugh? Dan..." Thalia memeluk Avelyn, menyurukkan kepalanya di leher wanita itu dan berkata lagi,"...Kenapa harus dia. Kenapa aku harus jatuh cinta kepadanya? Dan kenapa...aku harus bertemu lagi dengannya kalau memang tidak pernah ada kami?"
Tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk berbicara, Avelyn hanya bisa memeluk wanita itu dengan erat. Aneh memang, tapi kali ini ia merasakan apa yang tengah di rasakan oleh Thalia. Bagaimana selama ini ternyata wanita itu bergelut dengan perasaannya sendiri dan bagaimana wanita itu bertahan untuk terus tersenyum sementara Thalia telah menjadi saksi hubungannya dengan Bryan?
"Thalia... sebenarnya seberapa besar kau menahan luka itu?"
TBC | 13 Maret 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top